Teman-teman
saya punya guyonan baru di kampus. Di tengah-tengah candaan usil mereka,
sesekali mereka menyebut jilboobs untuk menggoda beberapa kawan yang jadi bahan
bully. Hanya guyonan. Saya paham, apalagi saat ini fenomena mengenai Jilboobs
sedang marak di Indonesia. Bagi anda yang belum tahu, jilboobs adalah sebutan
untuk menyindir wanita yang mengenakan jilbab tapi tetap berpakaian ketat
hingga lekuk tubuh terlihat jelas dan jilbab yang dikenakannya pun tidak
menutupi dada. Saya tahu istilah ini dari beberapa berita online dan postingan kawan-kawan
di sosmed.
Sejujurnya, sebagai seorang wanita yang juga
mengenakan jilbab saya merasa tersinggung dengan istilah semacam ini. Meskipun
kawan-kawan saya hanya guyon atau sekedar men-share kan berita semacam itu di
sosmed mereka, rasanya sangat tidak etis. Saya tahu firman Allah dalam surat
Al-Ahzab ayat 59, juga surat An-Nuur ayat 31 tentang perintah pemakaian
jilbab. Dan saya tak bermaksud
membenarkan cara kawan-kawan sejenis ataupun saya sendiri berjilbab dengan cara
yang belum benar atau yang mereka sebut dengan istilah kasar-jilboobs. Hanya
saja semua itu butuh proses. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, memulai hidup
dengan berjilbab itu sedikit sulit. Saya pernah menceritakan awal mula saya
berjilbab di blog ini. Hanya saja yang paling sulit adalah istiqomah dalam
menjaga jilbab. Tak dipungkiri jaman sekarang fashion terus berkembang dan
merebak ke segala penjuru, tak terkecuali dengan fashion hijab yang notabene
identik dengan wanita muslim. Ini jadi semacam godaan yang sulit sekali
dihindari. Menjaga keistiqomahan dengan berjilbab syar’i makin sulit, tapi tak
dipungkiri banyak wanita yang kini mulai ikut berhijab. Meskipun niat awal
karena fashion, tapi bukankah itu sebuah permulaan yang baik untuk menjadi
pribadi yang lebih baik? Denagan munculnya istilah semacam Jilboobs seperti
ini, bukankah bisa saja membuat seseorang yag ingin memulai berjilbab menjadi
mundur karena takut terkena istilah yang tidak pantas.
Berjilbab
butuh proses kawan. Memang tak mudah. Banyak sekali cobaan untuk wanita yang
ingin memantapkan diri untuk mulai berjilbab. Saya sangat mengapresiasi
kawan-kawan saya yang sebenarnya sangat cantik dengan rambut indah mereka, tapi
tetap berjilbab. Ada juga yang sepertinya masih belum cukup siap untuk
istiqomah dalam berjilbab, sehingga sering kali bongkar pasang jilbabnya. Ada.
Bisa jadi banyak di sekitar kita. Tapi untuk saya, setidaknya dia telah
berusaha mencoba untuk berjilbab. Meskipun sekali lagi, sejujurnya saya tak
pernah membenarkan ini. Dan urusan semacam jilbab sudah termasuk Habluminalloh.
Urusan manusia dengan Tuhannya. Biarlah urusan semacam ini ditanggung sendiri
oleh manusia yang berpenampilan semacam apa. Mengingatkan itu baik, tapi juga
harus dengan cara yang baik. Saya setuju dengan pernyataan Ustadz Riza di
sebuah acara gosip di televisi. Dia bilang, wanita berjilbab yang belum syar’i
ini masih berproses. Tidak bisa disalahkan sepenuhnya, dan sebenarnya baik
sebagai permulaan. Hanya saja proses itu tidak unlimited. Harus ada batas
waktunya. Jangan selamanya berjilbab semacam itu. Bertahap dari level satu,
tidak serta merta naik ke level lima. Belajar mengenakan jilbab dari yag tidak
syar’i menjadi syar’i. Kira-kira kata-kata itu yang beliau ucapkan, meski tak
saya kutip secara masif.
Yang namanya
mengingatkan pun mesti dengan cara yang baik karena hal ini berhubungan dengan
keikhlasan hati juga pemantapan iman. Nabi Muhammad saja tak pernah memaksa
kaum kafir untuk masuk Islam. Cukup menyentuh hati mereka dengan kemuliaan
sikapnya. Kenapa kalian, yang belum tentu sempurna begitu mudahnya menjudge
para wanita muslim yang masih berproses untuk menjadi lebih baik, dengan
sebutan yang tidak pantas semacam itu? Proses itu mahal harganya. Jangan
menambah masalah pada orang yang tengah berproses. Sejatinya, saya juga tidak
sempurna dalam berjilbab. Saya masih belajar. Masih suka memakai celana jeans.
Masih suka berjilbab dengan menyelampirkan ujungnya ke pundak untuk masalah
kepraktisan. Iya. Tapi saya tengah belajar istiqomah untuk tak pernah
meninggalkan jilbab. Terus belajar dan masih saja belum sempurna. Terkadang
masih kerepotan harus memakai jilbab lebih dulu meskipun hanya keluar rumah
sebentar. Tapi tetap saya paksakan. Lebih tepatnya karena dorongan bapak.
“Hormati dirimu sendiri sebagai seorang wanita, nduk” sindiran halus bapak
waktu saya terlalu malas mengambil jilbab. Faktor gerah dan semacamnya memang
masih saja ada meskipun telah bertahun-tahun memakainya. Tapi saya tahu bapak
benar. Meskipun sulit, istiqomah harus tetap dipelajari. Dan saya pikir,
istilah jilboobs jadi semacam duri tajam dalam proses untuk menuju pribadi yang
lebih baik. Ya, Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mampu menyadari
kekurangan diri sendiri. Selamat berproses kawan-kawan. Sejatinya manusia
memang terlalu sulit mendekati sempurna ya?[]