Jejak

Jejak

Kamis, 21 Agustus 2014

Bicara Jil... ups !



Teman-teman saya punya guyonan baru di kampus. Di tengah-tengah candaan usil mereka, sesekali mereka menyebut jilboobs untuk menggoda beberapa kawan yang jadi bahan bully. Hanya guyonan. Saya paham, apalagi saat ini fenomena mengenai Jilboobs sedang marak di Indonesia. Bagi anda yang belum tahu, jilboobs adalah sebutan untuk menyindir wanita yang mengenakan jilbab tapi tetap berpakaian ketat hingga lekuk tubuh terlihat jelas dan jilbab yang dikenakannya pun tidak menutupi dada. Saya tahu istilah ini dari beberapa berita online dan postingan kawan-kawan di sosmed.
 Sejujurnya, sebagai seorang wanita yang juga mengenakan jilbab saya merasa tersinggung dengan istilah semacam ini. Meskipun kawan-kawan saya hanya guyon atau sekedar men-share kan berita semacam itu di sosmed mereka, rasanya sangat tidak etis. Saya tahu firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59, juga surat An-Nuur ayat 31 tentang perintah pemakaian jilbab.  Dan saya tak bermaksud membenarkan cara kawan-kawan sejenis ataupun saya sendiri berjilbab dengan cara yang belum benar atau yang mereka sebut dengan istilah kasar-jilboobs. Hanya saja semua itu butuh proses. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, memulai hidup dengan berjilbab itu sedikit sulit. Saya pernah menceritakan awal mula saya berjilbab di blog ini. Hanya saja yang paling sulit adalah istiqomah dalam menjaga jilbab. Tak dipungkiri jaman sekarang fashion terus berkembang dan merebak ke segala penjuru, tak terkecuali dengan fashion hijab yang notabene identik dengan wanita muslim. Ini jadi semacam godaan yang sulit sekali dihindari. Menjaga keistiqomahan dengan berjilbab syar’i makin sulit, tapi tak dipungkiri banyak wanita yang kini mulai ikut berhijab. Meskipun niat awal karena fashion, tapi bukankah itu sebuah permulaan yang baik untuk menjadi pribadi yang lebih baik? Denagan munculnya istilah semacam Jilboobs seperti ini, bukankah bisa saja membuat seseorang yag ingin memulai berjilbab menjadi mundur karena takut terkena istilah yang tidak pantas.
Berjilbab butuh proses kawan. Memang tak mudah. Banyak sekali cobaan untuk wanita yang ingin memantapkan diri untuk mulai berjilbab. Saya sangat mengapresiasi kawan-kawan saya yang sebenarnya sangat cantik dengan rambut indah mereka, tapi tetap berjilbab. Ada juga yang sepertinya masih belum cukup siap untuk istiqomah dalam berjilbab, sehingga sering kali bongkar pasang jilbabnya. Ada. Bisa jadi banyak di sekitar kita. Tapi untuk saya, setidaknya dia telah berusaha mencoba untuk berjilbab. Meskipun sekali lagi, sejujurnya saya tak pernah membenarkan ini. Dan urusan semacam jilbab sudah termasuk Habluminalloh. Urusan manusia dengan Tuhannya. Biarlah urusan semacam ini ditanggung sendiri oleh manusia yang berpenampilan semacam apa. Mengingatkan itu baik, tapi juga harus dengan cara yang baik. Saya setuju dengan pernyataan Ustadz Riza di sebuah acara gosip di televisi. Dia bilang, wanita berjilbab yang belum syar’i ini masih berproses. Tidak bisa disalahkan sepenuhnya, dan sebenarnya baik sebagai permulaan. Hanya saja proses itu tidak unlimited. Harus ada batas waktunya. Jangan selamanya berjilbab semacam itu. Bertahap dari level satu, tidak serta merta naik ke level lima. Belajar mengenakan jilbab dari yag tidak syar’i menjadi syar’i. Kira-kira kata-kata itu yang beliau ucapkan, meski tak saya kutip secara masif.
Yang namanya mengingatkan pun mesti dengan cara yang baik karena hal ini berhubungan dengan keikhlasan hati juga pemantapan iman. Nabi Muhammad saja tak pernah memaksa kaum kafir untuk masuk Islam. Cukup menyentuh hati mereka dengan kemuliaan sikapnya. Kenapa kalian, yang belum tentu sempurna begitu mudahnya menjudge para wanita muslim yang masih berproses untuk menjadi lebih baik, dengan sebutan yang tidak pantas semacam itu? Proses itu mahal harganya. Jangan menambah masalah pada orang yang tengah berproses. Sejatinya, saya juga tidak sempurna dalam berjilbab. Saya masih belajar. Masih suka memakai celana jeans. Masih suka berjilbab dengan menyelampirkan ujungnya ke pundak untuk masalah kepraktisan. Iya. Tapi saya tengah belajar istiqomah untuk tak pernah meninggalkan jilbab. Terus belajar dan masih saja belum sempurna. Terkadang masih kerepotan harus memakai jilbab lebih dulu meskipun hanya keluar rumah sebentar. Tapi tetap saya paksakan. Lebih tepatnya karena dorongan bapak. “Hormati dirimu sendiri sebagai seorang wanita, nduk” sindiran halus bapak waktu saya terlalu malas mengambil jilbab. Faktor gerah dan semacamnya memang masih saja ada meskipun telah bertahun-tahun memakainya. Tapi saya tahu bapak benar. Meskipun sulit, istiqomah harus tetap dipelajari. Dan saya pikir, istilah jilboobs jadi semacam duri tajam dalam proses untuk menuju pribadi yang lebih baik. Ya, Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mampu menyadari kekurangan diri sendiri. Selamat berproses kawan-kawan. Sejatinya manusia memang terlalu sulit mendekati sempurna ya?[]

Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author