Sore menjelang berbuka kemarin hari, motor seorang
kawan yang akan saya bawa ke kosan rupanya bocor di jalan. Di sekitar Mastrip
saya berbalik arah menuju tambal ban dekat gerbang kampus FKG. Disana sudah ada
hingga tiga motor pengendara yang tengah menunggu bannya ditambal juga. Bapak
tukang tambal ban mengusulkan saya mencari tempat yang lain sebab antrian masih
panjang. Saya bergegas pergi mencari di depan PKM, dan mendapati tukang tambal
ban di seberang jalan depan bank. Rupanya di hari itu rejeki tukang tambal ban
sedang baik, sesampainya di tambal ban kedua saya juga harus mengantri sebab
sudah ada dua sepeda motor yang sedang ditambal bannya. Setelah saya,kemudian
datang lagi satu sepeda motor yang bannya bocor. Saya menunggu sembari duduk di
bangku panjang yang biasa jadi tempat ngopi kala siang atau malam. Mungkin
sebab sedang puasa, warung kopi ini masih tutup. Saya masih antrian ketiga dan
waktu berbuka kurang beberapa waktu lagi. Saya menikmati saja duduk sembari
memperhatikan sekitaran. Udara dingin yang segar sebab hujan habis turun dengan
derasnya dan beberapa lapak es dadakan yang mulai buka menjadi teman di senja
hari kemarin.
Di seberang jalan tepat di depan saya, sebuah motor
yang ditumpangi dua dedek mahasiswi berhenti. mereka memperhatikan sekeliling
sembari membuka kresek berwarna hitam dan mengeluarkan dua gelas es buah yang
terlihat segar. Selanjutnya mereka taruh dua gelas es buah diatas jok motor
mereka. Saya penasaran dengan apa yang mereka lakukan. ketika seorang pria
paruh baya melewati mereka, salah satu diantaranya berteriak “Pak beli es
buahnya pak” Si bapak paruh baya hanya melirik dan melewati mereka begiu saja.
Saya garuk-garuk kepala. dedeq-dedeq gemez ini sungguh punya sistem marketing
yang aneh atau ndak bondo sama sekali. Beberapa menit berikutnya, dua temannya
yang lain datang membawa senampan es buah. Saya menarik nafas lega. Rupanya
yang tadi hanya pemanasan. tak hanya senampan, tapi juga sebuah poster putih
yang tak terbaca dari jarak tempat saya duduk. Mereka berjualan khas
dedek-dedek mahasiswa di FTP fair yang menawarkan produk makanannya, berteriak
memaksa minta dibeli sembari meninggikan kualitas produk berdasarkan gizi-gizi
hasil googling (aku pisan yo ngono
mbiyen, ndab). Sudah beberapa waktu terlewat dan tak satupun melirik
dagangan mereka. Satu orang kawannya datang lagi, ikut meramaikan iklan es
buah. Tapi masih sama saja dengan penjual es di samping mereka yang juga bawa
rombongan dari sebauh organisasi sepertinya, sepi pembeli. Sedang ibu penjual
es blewah di samping saya sudah kedatangan banyak pembeli sedari tadi. Waktu
berbuka tinggal sebentar lagi. Sepertinya wajah-wajah mereka mulai resah meski
jalan di sepanjang kalimantan mulai penuh ramai.
Penjual takjil dadakan seperti mereka menjadi salah
satu pernik ramadhan kala menjelang berbuka. Salah satu ciri khas sepanjang
jalan yang membuat pengendara punya banyak pilihan untuk membeli. Entah untung
atau tidak, saya rasa bukan itu poin penting yang mereka mau. Tapi lebih karena
momen merayakan ngabuburit bersama untuk jadi kenangan yang berharga. Sebab
berjualan mendadak di pinggir jalan memang hal yang menarik untuk dilakoni.
Seperti survival game yang pernah dilaksanakan oleh matkul Kwu dulu atau seperti
FTP fair. Prosesnya memasak, berbelanja, merancang harga, marketing dan
lain-lainnya justru lebih dikenang dibandingkan penghasilan yang memang tak
seberapa. Pengalaman selalu jadi guru yang baik ya.
Masa itu telah terlewat buat saya. Sekarang sudah di tahap akhir dan rasanya banyak sekali hal
yang menguji sabar. Mungkin benar jika tahapan skripsi tak hanya bersoal perkara
itu, ada banyak cabang masalah yang mengakar darinya. Melihat dedek-dedek gemes
ini, saya jadi memikirkan apa saja yang sudah saya lakukan sebagai mahasiswa
selama ini. Bekal apa yang bisa saya bawa untuk hidup dalam masyarakat nantinya.
Kok rasanya hampir nggak ada. Perjalanan ke Surabaya kemarin, mendadak bikin
saya mikir hal-hal yang sesak. Betapa setelah ini, tak ada lagi yang menjamin
hidup saya dari rasa nyaman. Ketika menjadi seorang mahasiswa, kesalahan
sekecil apapun bisa saja dimaklumi sebab kita masih seorang mahasiwa yang
dibimbing, sedang setelah lulus nantinya tak ada yang bisa menjamin apa
kesalahan yang kita lakukan bisa ditolerir sebab kita telah jadi seorang
profesional atau minimal sarjana yang dianggap tuntas menyelesaian pendidikan. tak
ada lagi tiket masuk atau potongan harga yang lebih murah untuk pelajar. Tak
ada pemakluman dari masyarakat sekitar sebab belum mendapati pekerjaan.
Dianggap lebih dewasa menyikapi permasalahan. Dianggap lebih pandai dan harus
bersikeras untuk diri sendiri. Mesti kembali beradaptasi. Lalu muncul banyak
pertanyaan kapan lainnya setelah kapan lulus terlewati. Contohnya, kapan
menikah? Lalu sepertinya tahun ini akan jadi tahun terakhir saya menerima
angpao dari saudara dekat. hahaha. Tahun depan mestinya sudah saya yang ganti
memberikan angpao ke ponakan yang mendadak jadi bertambah banyak laki-lakinya.
Satu hal yang pasti, memberi tak boleh jadi beban dan tumbuh menjadi dewasa
dengan segala perniknya adalah keniscayaan. Baiklah, saya jadi pingin nikah
saja, adek lelah garap revisian bang. #eeeh.
Nikah juga ndak sebercanda itu, dek.
Saya ingin saja mengeluhkan beberapa hal
belakangan. Tapi sudahlah, sepertinya Tuhan memang menghendaki jalan cerita
yang rumit dan harus terus “menunggu” semacam ini. Seperti yang bu penguji katakan
“kamu pasti lama sekali menyusun skripsimu ini. beruntunglah kamu mendapat dua
pembimbing yang disiplin merevisi tulisan mahasiswa”. Saya tersenyum. Kecut.
Penderitaaan yang saya rasa malah dianggap keberuntungan oleh ibu manis yang
setiap kali ditemui mengaku selalu sibuk. Rasanya saya mau bilang juga, saya
tambah beruntung lagi sebab mendapat ibu dan pak imut sebagai penguji saya. Kantong
sabar saya mesti lebih besar dari sebelumnya. Ah, kadang hidup jadi sebercanda ini rupanya.
Tapi, iya. Mungkin saja saya memang beruntung untuk di waktu depan. Sekuat
apapun saya berusaha untuk cepat, seberapa besarpun saya berharap kalo Tuhan
belum menghendaki ya mau apalagi to selain pasrah. Toh, Allah selalu punya
skenario yang baik cum menarik hati syalala. Meski kadang terasa nyeri. Seperti
jalan ceritanya soal jarak dan waktu.
Apa saya, kamu memang sekuat itu? Apa ini Cuma permainan
hati yang ndak tau ujungnya mau kemana? Kalo untuk alasan itu saya minta
berhenti saja. Sakit lo. Menahan rindu saja sudah perih, apalagi Cuma
main-main. iya, dalam kebutaan semacam ini sepertinya kita hanya bisa
meraba-raba, menimbang, dengan terkadang-kadang memunculkan banyak keresahan,
pasrah atau hal-hal lainnya. Apa kita memang sekuat itu? Apa memang mesti tabah
menunggu?
Saya sedang lelah. Hanya butuh hujan deras hari
ini, yang berujung pelangi indah dan senyum milikmu diantaranya. Hujan di
sepanjang jalan Kalimantan kemarin serupa aromaterapi yang diramu untuk
menenangkan pikir. Tukang tambal ban, menyudahi menambal ban motor kawan saya.
“ini pakunya, mbak” si bapak menunjukkan sepotong paku berukuran sedang pada
saya. “Bolongnya dua. Untung saja masih bisa ditambal. selamet kamu, biasanya
ndak bisa mbak” beliau meneruskan lagi. Saya ndak paham sama penjelasan
bapaknya mengenai tambal ban yang habis ia lakukan. Tapi mendengar kata selamat
dari ucapannya, saya hanya tahu Tuhan telah menolong saya sore itu. Diah
menelepon saya kemudian. Lalu saya menghampirinya untuk berbuka puasa bersama
di bunderan DPR, tempat favorit kami. Mungkin karena spotnya yang menarik
menghadap air mancur atau sambalnya yang enak atau mungkin karena kawan
makannya. Saya kira karena semuanya. Saya mensyukuri semua yang sedang saya
miliki saat ini. Setelah lulus nanti, belum tentu saya masih memilikinya lagi.
Terimakasih Tuhan untuk semua yang saya punyai. Untuk banyak pelajaran. Untuk
ramadhan yang masih bisa saya jalani. []