Arsip pribadi
Selepas mendapatkan
info dari mbak Deni mengenai pantai Rowo Cangak, aku dan Dina segera mencari
informasi pantai tersebut lewat internet. Nama pantai tersebut begitu asing di telinga
teman-teman ku yang notabene tinggal di Jember, apalagi aku yang memang bukan
orang Jember. Pengetahuan ku tentang pantai yang ada di Jember hanya sebatas
papuma, payangan, Watu Ulo dan Nagelan. Dan itupun belum semuanya sempat ku
singgahi. Maka dengan bekal rasa penasaran yang akut, hari Minggu pun kami
tetapkan untuk berangkat menuju lokasi Rowo Cangak. Aku berangkat dari kosan
pukul 07.30 dengan dijemput oleh Luluk. Setelah hampir satu jam aku menunggu
akhirnya ia datang.
“hehe.. aku
baru bangun jam setengah tujuh” katanya memberitahukan alasan keterlambatannya.
Sebenarnya sejak tadi malam, kami
bersepuluh yang bisa ikut travelling,
sudah berjanji untuk kumpul di kampus jam setengah tujuh. Tapi akhirnya memang
seperti apa yang ku pikirkan, keberangkatan kami pasti akan molor beberapa jam.
Sampai di kampus, aku melihat Amin telah
berada di depan lobi kampus. Raut mukanya menggambarkan wajah yang kusut,
mungkin saja ia telah menunggu kami selama beberapa jam.
“Jarene jam setengah tujuh mbak(katanya
jam setengah tujuh mbak)” protesnya ketika aku tengah duduk di depan sekret. Aku
tersenyum geli melihat air mukanya yang ditekuk “ Hehe... iyo Min. Aku mau jek
ngenteni luluk” (iya min. Aku tadi masih nungguin luluk).
Kemudian
aku memasuki sekret, di dalamnya ada beberapa manusia yang masih tertidur. Termasuk
Arif dan Faiz yang rencananya akan ikut dalam perjalanan kami hari ini.
Mendengar keriuhan anak-anak yang mulai berdatangan yaitu Dina, Sulli,Santi dan
Desi, manusia-manusia itu pun terbangun. Arif dan Faiz segera mencuci muka. Dan kemudian
Arif pulang terlebih dahulu ke kosannya untuk berganti pakaian. Sementara
menunggu Niko dan Arif yang belum datang, orang-orang di sekret mulai jahil
menggodaku tentang tulisan yang ku posting di blog. Terdengar riuh tawa mereka
yag begitu menyebalkan. Rasa kesalku
mulai membuncah disana. Untung saja, Arif dan Niko segera datang. Kami pun
bersiap-siap untuk berangkat, dan berfoto dahulu sebelum memulai perjalanan menuju
Rowo Cangak.
Kami
sempat mengisi bensin terlebih dahulu di pom bensin sebelum meneruskan
perjalanan. Ternyata sudah ada lebih dari 20 motor yang berjejer membentuk dua lajur untuk mengantri
isi bensin. Karena ku rasa akan memakan waktu lama, maka kutinggalkan Arif,
yang memboncengku, untuk mengantri
sendirian di lajur kanan. Aku pun menuju teman-teman lainnya yang tidak ikut
mengantri isi bensin.
“Yan foto yaan” panggil Luluk
saat melihat kedatanganku yang tengah mengalungi kamera. Tujuh orang yang termasuk dalam rombongan Rowo
Cangak ini pun segera berpose beberapa kali. Kemudian Dina yang sedari tadi juga mengantri
bensin bersama Arif, sudah datang dan juga minta difoto. Selanjutnya, setelah Arif
datang kami pun melanjutkan perjalanan.
Perjalanan kami menuju desa
Ambulu cukup lancar, karena jalanan yang kami lalui adalah jalanan menuju ke
papuma yang sudah hapal di luar kepala. Kemudian beberapa kilometer sebelum
papuma, alur jalan kami berbelok ke kiri melewati sungai yang cukup panjang. Dina
sebagai pemimpin perjalanan kami hari itu, terlihat begitu meyakinkan dalam menunjukkan
arah jalan pada kami yang memang sama sekali tak tahu arah menuju Rowo Cangak. Tapi
kemudian ia berhenti dan menyapa seorang
gadis kecil di sebuah rumah. Rupanya Dina
mulai tak tahu arah jalan menuju Rowo Cangak. Setelah mendapat arah jalan, kami
pun berjalan lagi melewati jalan kecil yag berada disamping rumah gadis kecil
tadi. Tapi tak berapa lama kemudian, Dina kembali turun dari motornya dan
dengan gesitnya bertanya pada seorang ibu yang tengah duduk di teras rumah.
“Dalan sing aspal niku mau, ngiri
mbak (jalan yang beraspal tadi, kekiri mbak)” katanya dengan logat bahasa Jawa
yang cukup kental. Tenyata, jalan yang kami tempuh ini kebablasan, sehingga
kami mesti berbalik arah menuju jalan yang berasapal tadi ,dan kemudian berbelok ke kiri seperti yang di katakan ibu
itu. Perjalanan selanjutnya, kami harus melewati jembatan besi yang hanya
bermuatan 500 kg. Sehingga untuk melewatinya harus bergantian satu persatu. Ada
sungai cukup besar di bawahnya dengan aliran air yang terlihat tenang dan cukup
dalam. Rasanya deg-degan ketika mataku melihat ke bawah. Aku pun mengambil beberapa
potret sungai dari atas jembatan tersebut. Perjalanan kami selanjutnya melalui
hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan. Ada aliran sungai coklat disamping kanan
nya. Beberapa kali motor Arif hampir tergelincir karena medan jalan yang masih
berupa tanah itu banyak membentuk cekungan dan tergenang air. Sehinga kami
memperlambat gerak motor untuk berhati-hati. Di seberang sungai terdapat
beberapa truk yang terparkir, selain itu ku dengar suara generator air
bergerak. Dan ada sebuah rakit kecil yang melewati sungai. Yang menarik, ternyata jalan yang berada di
dalam hutan ini cukup ramai dilewati oleh para pengendara motor lain. Mereka membawa
berkarung-karung barang yang mereka taruh di boncengan sepeda motor miliki
mereka.
“Rame yo mbak” seloroh Arif.
‘Iyo. Kethoke iki satu-satunya akses
jalan ndk tempat mata pencaharian wong-wong ndek kene” (iya. Kayaknya ini
satu-satu nya akses jalan menuju tempat mata pencahariaan orang-orang disini) jawabku
sekenaya.
“Iyo kethoke” (iya kayaknya) jawabnya
singkat.
Beberapa kali orang-orang yang
berlalu lalang melewati kami membawa berkarung-karung muatan yang terlihat
bulat-bulat.
Selanjutnya,
rombongan kami kembali mengalami kebuntuan jalan. Ada dua cabang jalan yang
menghentikan perjalanan kami. Kami berhenti di tengah persimpangan ketika dari
arah lurus ada seorang bapak pengendara sepeda ontel terjatuh dari sepedanya
yang membawa barang-barang dalam dua karung penuh. Faiz segera berlari
menghampiri bapak tadi, disusul oleh Arif dan Amin yang ikut membantu. Sementara
ketiga lelaki itu membantu pengendara ontel, kami yang wanita mencuri waktu
untuk berfoto dengan view ditengah hutan tersebut. Beberapa menit kemudian,
mereka bertiga kembali.
“Arahnya belok
ke sini. Kalo lurus itu kebun semangka” kata Faiz. Oh, ternyata karung-karung
yang dibawa orang-orang tadi berisi semangka, gumamku dalam hati. Kemudian Bapak
yag tadi ditolongnya lewat sembari berbicara pada kami “Lewat dalan niku dek
neg bade ing Rowo Cangak. Lurus niki tebon semangka” (lewat jalan itu dek kalo
mau ke Rowo Cangak. Lurus ini kebun semangka). Kami pun mengucapkan terimakasih,
seiring kayuhan sepeda bapak yang juga berlogat Jawa tersebut. Aku baru sadar,
sejak tadi kami bertemu dengan orang-orang yang berlogat bahasa Jawa.
“Wong kene
tibak’e Jowo-an yo Rif. Gak maduraan” (orang sini ternyata Jawa ya Rif. Gak Madura)
“Iyo mbak. Bocah
cilik sing ndk mau di takoni karo mbak Dina kan jawabe yo gae boso jawa alus (kromo
inggil)” (iya mbak. Anak kecil yang tadi ditanyain sama mbak Dina kan jawabnya
pake bahasa jawa halus)
“Unik pisan yo
Rif. Biasane kan maduraan”
“Hehe.. iyo. Tapi
ngene ki aku bingung mbak. Aku ngerti boso Jowo, tapi gak iso ngomong boso
alus. iso sithik tog” aku tersenyum mendengar pengakuannya. Wajar sajalah,
karena Arif memang berasal dari Probolinggo yang kebanyakan berbahasa Madura.
Kenyataan
menemukan bahasa Jawa disini, nyatanya menjadi hal yang cukup unik. Karena sepengetahuanku,
biasanya di daerah pedalaman Jember, khususnya di daerah pinggir pantai
kebanyakan orang-orang nya adalah orang Madura yang tentu saja berbahasa Madura.
Aku cukup bersyukur, tentu saja hal ini memudahkan kami yang mayoritas orang
Jawa untuk bertanya pada orang-orang yang lewat, saat kami tak tahu kemana lagi
harus berbelok. Namun jika orang-orang disini mayoritas adalah orang Madura, sebenarnya
kami juga tidak akan kesulitan. Karena ada Shanti dan Arif yang bisa berbahasa
Madura. Ya, rombongan kami yang berjumlah sepuluh ini dilengkapi oleh suku Jawa
dan suku Madura. Sehingga tak perlu mengkhawatirkan komunikasi dengan
masyarakat setempat.
Kami melanjutkan
perjalanan, dan harus berkali-berkali terhenti karena menemukan persimpangan
jalan yang begitu membingungkan. Kami harus menebak jalan mana yang harus kami
lalui dan tentu saja hal ini beresiko menyesatkan jalan. Namun, beberapa kali
juga kami diuntungkan dengan orang-orang pengendara sepeda motor yang membawa
semangka-semangka dalam karung. Sehingga dengan keyakinan hati, kami pun
berjalan mengikuti arah mereka. Kami tiba pada sebuah jembatan yang tersusun
dari potongan-potongan kayu. Tingginya kira-kira hanya sekitar 50 cm dari
permukaan sungai. Tidak ada pegangan di
bagian pinggirnya, dan paku-paku yang melekatkan susunan potongan kayu tersebut,
beberapa sudah terlepas dari dasarannya. Karena sedikit ngeri dan tak mau amil
resiko jatuh, akhirnya aku, luluk, shanti, suli dan desi yang dibonceng motor
turun. Sedangka para pengendara motor kami yaitu Arif, Niko, Dina, Amin dan
Faiz satu persatu bergerak menyeberangi jemnatan kayu tersebut. Sedangkan aku
dan empat orang lainnya berjalan kaki menyusuri jembatan tersebut. Kamera yang
tengah kupegang, segera ku arahkan untuk membidik view jembatan yang terlihat
rindang karena beberapa pohon yang tertanam di pinggiran sungai. Di ujung
jembatan, kami kembali naik motor masing-masing. Disini kami menanyakan arah
Rowo cangak pada bapak-bapak penjaga jembatan kayu ini, karena di depan kami
ada tiga cabang jalan. Dina sempat salah jalan, ia berjalan ke arah yang lurus.
Untung saja bapak-bapak yang kami tanyai tadi segera berteriak membenarkan
jalan yang kami lalui. Ternyata semestinya kami bergerak ke arah kanan untuk
menuju Rowo Cangak, seperti yang dilalui oleh para pengendara motor yang
mengangkut semangka dalam karung.
Setelah hampir
20 menit kami melewati jalanan yang terjal, perasaankuku sempat disinggahi kekhawatiran
yang berlebih, karena jalan yang kami lalui seperti jalanan misteri tak
berpenghuni. Bahkan konyolnya, bayangan film “Pencarian Terakhir” ikut
menggerayangi pikiranku. Dimana, ternyata para pendaki gunung sarangan itu
masuk ke dalam dimensi lain dan tak bisa ditemukan. Membayangkannya saja sudah
cukup membuatku tak berhenti komat-komat. Dan akhirnya, kami semua patut lega karena
menemukan perumahan penduduk disitu. Faiz pun segera mengisikan bensin nya yang
hampir habis sembari menanyakan arah menuju Rowo cangak. Kami bergerak kembali
ke arah yang ditujukan ibu penjaga toko tadi. Yang kami tidak tahu, ternyata
jalan didepan kami bercabang lagi. dan faiz hanya tahu bahwa setelah ini kami
berbelok kiri namun tak tahu belokan kiri yag sebelah mana karena ada banyak
persimpangan jalan yang mesti kami lewati. Akhirnya kami kembali turun untuk
bertanya pada seorang bapak tua yang tengah duduk diatasa sepeda motornya. Arif
yang orang madura tengah menanyakan jalan pada bapak yang ternyata berbahasa
Krama. Kami tertawa kecil. “kudune sing takon awakmu yan” kata Dina padaku. Aku
tersenyum saja.
“Niki lurus
terus. Mari iki wonten dalan ngidul, nganan teruuuuuuuuus. Teruse wonten dalan
cilik menggok kiri” (ini lurus terus. Habis itu ada jalan ke kanan teruuus. Habis
itu ada jalan kecil belok kiri). Diam-diam aku bersyukur Arif mengerti ucapan
bapak yag memberi arah jalan pada kami itu.
Kami bergerak
kembali, dan rasanya perjalanan yang kami lalui selanjutnya, serupa perjalanan
panjang yang tak memiliki ujung. Kami melewati jalan yang begitu kecil yang
seterusnya bertambah semakin kecil. Ternyata kami telah sampai dijalan pematang
sawah. Kami berhenti karena kebingungan dengan jalan yang kami lewati tersebut.
“Iki teko ndi?
Hahaha... gak enek ujung’e ki” Seloroh faiz diiringi gelak tawa kami yang
semakin bingung.
“tanya orang
dah. Iku enek panganan ndk gubuk. Berarti enek wonge” (tanya orang deh. itu ada
makanan di gubuk. Berarti ada orang) kata Arif mencoba jadi detektif. Ia pun
menuju ke gubuk, sementara kami menunggu dijalan kecil ini.
“iyo iku enek
panganan” (itu ada makanan) ujar Amin kemudian
“duduk
panganane min. Wonge sing digoleki (bukan makanannya Min. Orangnya yang
dicariin)” sanggah faiz membuatku geli.
“Wonge kok doh
men. Gak enek sopo-sopo ki” seru Arif pada kami.
Kemudian ada
seorang bapak lewat, Niko pun segera menghentikan bapak tadi untuk bertanya. Ternyata
jalan yang kami lewati ini benar. Jalannya masih lurus terus. Kami pun berjalan
lagi dan menemukan hutan kembali. Kami kembali dibingungkan pada arah jalan yang
begitu membingungkan.
“lewat ngiri
mbak” celetuk Arif padaku. Sedangkan teman-teman yang lainnya mengambil lajur
kanan. Namun ternyata lajur kanan berbelok-belok membingungkan dan tembusanya
pun dilajur kiri.
“Bener aku to”
seloroh Arif, ada nada kemenangan dari suara nya.
“Kami terus
berjalan dan mendapati beberapa pengandara motor yang membawa semangka. Hingga akhirnya,
kami melihat ada beberapa buah truk yang terparkir di depan. Kami terus
berjalan lurus ke arah truk-truk yag tenyata mengangkuti semangka tersebut.
“Mau kemana
dek?” seorag bapak menghentikan laju sepeda motor kami.
“mau ke rowo
cangak pak” jawab Niko yang berada di depan kami.
“Oh. Masuknya bayar
lima ribu/ motor. ” ada perasaan sedikit curiga pada bapak yang memunguti uang
masuk ini. Karena setahu kami, tak ada pungutan dana untuk masuk ke Rowo cangak
karena memang pantai nya masih virgin dan belum dikelola oleh pemerintah. Namun
kami tak ingin berdebat, segera kami kumpulakan uang lima ribuan dan
memberikannya pada bapak tadi.
“gak parkir
disini saja dek? Biar aman. Terus nanti kalian jalan dari sini” lanjut bapak
itu. Kami pun mengiyakan karena tak mau ambil resiko kehilangan sepeda. Setelah
memakirkan sepeda di warung tersebut, kami sempat membeli semangka pada truk
yang membawa semangka. Nyatanya Luluk kena tipu karena mendapatkan semangka
dengan harga yang lebih mahal dari umumnya. Semestinya untuk harga semangka
yang didapatkan dari kebun memiliki harga yang lebih murah dari harga pasaran. Namun,
semangka yang kami dapatkan malah lebih mahal dari harga pasaran. Tapi masa
bodoh, kami pun segera meneruskan perjalanan kami dengan berjalan kaki menuju
pantai Rowo cangak yang suara debur ombaknya terdengar menghempas karang. Tapi disini
kami kembali ragu pada jalan yang kami lewati, karena kembali menemui jalan
yang bercabang. Kata seorang bapak yang lewat, kami diberi pencerahan. Katanya,
kalo mau pantai yang viewnya bagus belok ke kiri. Kalo mau jalan yang lebih
dekat lewat jalan lurus. Maka, karena teman-teman sudah capek, kami pun
mengambil jalan lurus yang katanya lebih dekat tersebut.
“Arek-arek iki
senengane milih sing elek” kelakar Amin yang sudah terlanjur belok ke kiri
dengan ku. Aku hanya tertawa mendengar celoteh nya. Maka kami pun berpacu untuk
segera menuju bibir pantai. Pasir-pasir dibawah kaki kami terasa menggigit. Panas
nya matahari benar-benar memanggang kulit. Tapi cukup terbayar, ketika mataku
mulai bercumbu dengan birunya laut yang diselingi ombak bergelung tinggi. Perjalanan
kami sampai diujung bibir pantai Rowo Cangak, pantai ndlesep yang memiliki sejuta kisah dalam alur panjangnya []