Jejak

Jejak

Senin, 14 April 2014

Menuju Pantai “ndlesep” Rowo Cangak-Jember

Share it Please
Arsip pribadi


Selepas mendapatkan info dari mbak Deni mengenai pantai Rowo Cangak, aku dan Dina segera mencari informasi pantai tersebut lewat internet. Nama pantai tersebut begitu asing di telinga teman-teman ku yang notabene tinggal di Jember, apalagi aku yang memang bukan orang Jember. Pengetahuan ku tentang pantai yang ada di Jember hanya sebatas papuma, payangan, Watu Ulo dan Nagelan. Dan itupun belum semuanya sempat ku singgahi. Maka dengan bekal rasa penasaran yang akut, hari Minggu pun kami tetapkan untuk berangkat menuju lokasi Rowo Cangak. Aku berangkat dari kosan pukul 07.30 dengan dijemput oleh Luluk. Setelah hampir satu jam aku menunggu akhirnya ia datang.
“hehe.. aku baru bangun jam setengah tujuh” katanya memberitahukan alasan keterlambatannya. Sebenarnya sejak  tadi malam, kami bersepuluh yang bisa ikut travelling, sudah berjanji untuk kumpul di kampus jam setengah tujuh. Tapi akhirnya memang seperti apa yang ku pikirkan, keberangkatan kami pasti akan molor beberapa jam.  Sampai di kampus, aku melihat Amin telah berada di depan lobi kampus. Raut mukanya menggambarkan wajah yang kusut, mungkin saja ia telah menunggu kami selama beberapa jam.
“Jarene jam setengah tujuh mbak(katanya jam setengah tujuh mbak)” protesnya ketika aku tengah duduk di depan sekret. Aku tersenyum geli melihat air mukanya yang ditekuk “ Hehe... iyo Min. Aku mau jek ngenteni luluk” (iya min. Aku tadi masih nungguin luluk).
                Kemudian aku memasuki sekret, di dalamnya ada beberapa manusia yang masih tertidur. Termasuk Arif dan Faiz yang rencananya akan ikut dalam perjalanan kami hari ini. Mendengar keriuhan anak-anak yang mulai berdatangan yaitu Dina, Sulli,Santi dan Desi, manusia-manusia itu pun terbangun.  Arif dan Faiz segera mencuci muka. Dan kemudian Arif pulang terlebih dahulu ke kosannya untuk berganti pakaian. Sementara menunggu Niko dan Arif yang belum datang, orang-orang di sekret mulai jahil menggodaku tentang tulisan yang ku posting di blog. Terdengar riuh tawa mereka yag begitu menyebalkan.  Rasa kesalku mulai membuncah disana. Untung saja, Arif dan Niko segera datang. Kami pun bersiap-siap untuk berangkat, dan berfoto dahulu sebelum memulai perjalanan menuju Rowo Cangak.
                Kami sempat mengisi bensin terlebih dahulu di pom bensin sebelum meneruskan perjalanan. Ternyata sudah ada lebih dari 20 motor yang  berjejer membentuk dua lajur untuk mengantri isi bensin. Karena ku rasa akan memakan waktu lama, maka kutinggalkan Arif, yang memboncengku, untuk  mengantri sendirian di lajur kanan. Aku pun menuju teman-teman lainnya yang tidak ikut mengantri isi bensin.
“Yan foto yaan” panggil Luluk saat melihat kedatanganku yang tengah mengalungi kamera.  Tujuh orang yang termasuk dalam rombongan Rowo Cangak ini pun segera berpose beberapa kali.  Kemudian Dina yang sedari tadi juga mengantri bensin bersama Arif, sudah datang dan juga minta difoto. Selanjutnya, setelah Arif datang kami pun melanjutkan perjalanan.
Perjalanan kami menuju desa Ambulu cukup lancar, karena jalanan yang kami lalui adalah jalanan menuju ke papuma yang sudah hapal di luar kepala. Kemudian beberapa kilometer sebelum papuma, alur jalan kami berbelok ke kiri melewati sungai yang cukup panjang. Dina sebagai pemimpin perjalanan kami hari itu, terlihat begitu meyakinkan dalam menunjukkan arah jalan pada kami yang memang sama sekali tak tahu arah menuju Rowo Cangak. Tapi kemudian ia berhenti dan menyapa  seorang gadis kecil di sebuah rumah.  Rupanya Dina mulai tak tahu arah jalan menuju Rowo Cangak. Setelah mendapat arah jalan, kami pun berjalan lagi melewati jalan kecil yag berada disamping rumah gadis kecil tadi. Tapi tak berapa lama kemudian, Dina kembali turun dari motornya dan dengan gesitnya bertanya pada seorang ibu yang tengah duduk di teras rumah.
“Dalan sing aspal niku mau, ngiri mbak (jalan yang beraspal tadi, kekiri mbak)” katanya dengan logat bahasa Jawa yang cukup kental. Tenyata, jalan yang kami tempuh ini kebablasan, sehingga kami mesti berbalik arah menuju jalan yang berasapal tadi ,dan kemudian  berbelok ke kiri seperti yang di katakan ibu itu. Perjalanan selanjutnya, kami harus melewati jembatan besi yang hanya bermuatan 500 kg. Sehingga untuk melewatinya harus bergantian satu persatu. Ada sungai cukup besar di bawahnya dengan aliran air yang terlihat tenang dan cukup dalam. Rasanya deg-degan ketika mataku melihat ke bawah. Aku pun mengambil beberapa potret sungai dari atas jembatan tersebut. Perjalanan kami selanjutnya melalui hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan. Ada aliran sungai coklat disamping kanan nya. Beberapa kali motor Arif hampir tergelincir karena medan jalan yang masih berupa tanah itu banyak membentuk cekungan dan tergenang air. Sehinga kami memperlambat gerak motor untuk berhati-hati. Di seberang sungai terdapat beberapa truk yang terparkir, selain itu ku dengar suara generator air bergerak. Dan ada sebuah rakit kecil yang melewati sungai.  Yang menarik, ternyata jalan yang berada di dalam hutan ini cukup ramai dilewati oleh para pengendara motor lain. Mereka membawa berkarung-karung barang yang mereka taruh di boncengan sepeda motor miliki mereka.
“Rame yo mbak” seloroh Arif.
‘Iyo. Kethoke iki satu-satunya akses jalan ndk tempat mata pencaharian wong-wong ndek kene” (iya. Kayaknya ini satu-satu nya akses jalan menuju tempat mata pencahariaan orang-orang disini) jawabku sekenaya.
“Iyo kethoke” (iya kayaknya) jawabnya singkat.
Beberapa kali orang-orang yang berlalu lalang melewati kami membawa berkarung-karung muatan yang terlihat bulat-bulat.
Selanjutnya, rombongan kami kembali mengalami kebuntuan jalan. Ada dua cabang jalan yang menghentikan perjalanan kami. Kami berhenti di tengah persimpangan ketika dari arah lurus ada seorang bapak pengendara sepeda ontel terjatuh dari sepedanya yang membawa barang-barang dalam dua karung penuh. Faiz segera berlari menghampiri bapak tadi, disusul oleh Arif dan Amin yang ikut membantu. Sementara ketiga lelaki itu membantu pengendara ontel, kami yang wanita mencuri waktu untuk berfoto dengan view ditengah hutan tersebut. Beberapa menit kemudian, mereka bertiga kembali.
“Arahnya belok ke sini. Kalo lurus itu kebun semangka” kata Faiz. Oh, ternyata karung-karung yang dibawa orang-orang tadi berisi semangka, gumamku dalam hati. Kemudian Bapak yag tadi ditolongnya lewat sembari berbicara pada kami “Lewat dalan niku dek neg bade ing Rowo Cangak. Lurus niki tebon semangka” (lewat jalan itu dek kalo mau ke Rowo Cangak. Lurus ini kebun semangka). Kami pun mengucapkan terimakasih, seiring kayuhan sepeda bapak yang juga berlogat Jawa tersebut. Aku baru sadar, sejak tadi kami bertemu dengan orang-orang yang berlogat bahasa Jawa.
“Wong kene tibak’e Jowo-an yo Rif. Gak maduraan” (orang sini ternyata Jawa ya Rif. Gak Madura)
“Iyo mbak. Bocah cilik sing ndk mau di takoni karo mbak Dina kan jawabe yo gae boso jawa alus (kromo inggil)” (iya mbak. Anak kecil yang tadi ditanyain sama mbak Dina kan jawabnya pake bahasa jawa halus)
“Unik pisan yo Rif. Biasane kan maduraan”
“Hehe.. iyo. Tapi ngene ki aku bingung mbak. Aku ngerti boso Jowo, tapi gak iso ngomong boso alus. iso sithik tog” aku tersenyum mendengar pengakuannya. Wajar sajalah, karena Arif memang berasal dari Probolinggo yang kebanyakan berbahasa Madura.
Kenyataan menemukan bahasa Jawa disini, nyatanya menjadi hal yang cukup unik. Karena sepengetahuanku, biasanya di daerah pedalaman Jember, khususnya di daerah pinggir pantai kebanyakan orang-orang nya adalah orang Madura yang tentu saja berbahasa Madura. Aku cukup bersyukur, tentu saja hal ini memudahkan kami yang mayoritas orang Jawa untuk bertanya pada orang-orang yang lewat, saat kami tak tahu kemana lagi harus berbelok. Namun jika orang-orang disini mayoritas adalah orang Madura, sebenarnya kami juga tidak akan kesulitan. Karena ada Shanti dan Arif yang bisa berbahasa Madura. Ya, rombongan kami yang berjumlah sepuluh ini dilengkapi oleh suku Jawa dan suku Madura. Sehingga tak perlu mengkhawatirkan komunikasi dengan masyarakat setempat.
Kami melanjutkan perjalanan, dan harus berkali-berkali terhenti karena menemukan persimpangan jalan yang begitu membingungkan. Kami harus menebak jalan mana yang harus kami lalui dan tentu saja hal ini beresiko menyesatkan jalan. Namun, beberapa kali juga kami diuntungkan dengan orang-orang pengendara sepeda motor yang membawa semangka-semangka dalam karung. Sehingga dengan keyakinan hati, kami pun berjalan mengikuti arah mereka. Kami tiba pada sebuah jembatan yang tersusun dari potongan-potongan kayu. Tingginya kira-kira hanya sekitar 50 cm dari permukaan sungai.  Tidak ada pegangan di bagian pinggirnya, dan paku-paku yang melekatkan susunan potongan kayu tersebut, beberapa sudah terlepas dari dasarannya. Karena sedikit ngeri dan tak mau amil resiko jatuh, akhirnya aku, luluk, shanti, suli dan desi yang dibonceng motor turun. Sedangka para pengendara motor kami yaitu Arif, Niko, Dina, Amin dan Faiz satu persatu bergerak menyeberangi jemnatan kayu tersebut. Sedangkan aku dan empat orang lainnya berjalan kaki menyusuri jembatan tersebut. Kamera yang tengah kupegang, segera ku arahkan untuk membidik view jembatan yang terlihat rindang karena beberapa pohon yang tertanam di pinggiran sungai. Di ujung jembatan, kami kembali naik motor masing-masing. Disini kami menanyakan arah Rowo cangak pada bapak-bapak penjaga jembatan kayu ini, karena di depan kami ada tiga cabang jalan. Dina sempat salah jalan, ia berjalan ke arah yang lurus. Untung saja bapak-bapak yang kami tanyai tadi segera berteriak membenarkan jalan yang kami lalui. Ternyata semestinya kami bergerak ke arah kanan untuk menuju Rowo Cangak, seperti yang dilalui oleh para pengendara motor yang mengangkut semangka dalam karung.  
Setelah hampir 20 menit kami melewati jalanan yang terjal, perasaankuku sempat disinggahi kekhawatiran yang berlebih, karena jalan yang kami lalui seperti jalanan misteri tak berpenghuni. Bahkan konyolnya, bayangan film “Pencarian Terakhir” ikut menggerayangi pikiranku. Dimana, ternyata para pendaki gunung sarangan itu masuk ke dalam dimensi lain dan tak bisa ditemukan. Membayangkannya saja sudah cukup membuatku tak berhenti komat-komat.  Dan akhirnya, kami semua patut lega karena menemukan perumahan penduduk disitu. Faiz pun segera mengisikan bensin nya yang hampir habis sembari menanyakan arah menuju Rowo cangak. Kami bergerak kembali ke arah yang ditujukan ibu penjaga toko tadi. Yang kami tidak tahu, ternyata jalan didepan kami bercabang lagi. dan faiz hanya tahu bahwa setelah ini kami berbelok kiri namun tak tahu belokan kiri yag sebelah mana karena ada banyak persimpangan jalan yang mesti kami lewati. Akhirnya kami kembali turun untuk bertanya pada seorang bapak tua yang tengah duduk diatasa sepeda motornya. Arif yang orang madura tengah menanyakan jalan pada bapak yang ternyata berbahasa Krama. Kami tertawa kecil. “kudune sing takon awakmu yan” kata Dina padaku. Aku tersenyum saja.
“Niki lurus terus. Mari iki wonten dalan ngidul, nganan teruuuuuuuuus. Teruse wonten dalan cilik menggok kiri” (ini lurus terus. Habis itu ada jalan ke kanan teruuus. Habis itu ada jalan kecil belok kiri). Diam-diam aku bersyukur Arif mengerti ucapan bapak yag memberi arah jalan pada kami itu.
Kami bergerak kembali, dan rasanya perjalanan yang kami lalui selanjutnya, serupa perjalanan panjang yang tak memiliki ujung. Kami melewati jalan yang begitu kecil yang seterusnya bertambah semakin kecil. Ternyata kami telah sampai dijalan pematang sawah. Kami berhenti karena kebingungan dengan jalan yang kami lewati tersebut.
“Iki teko ndi? Hahaha... gak enek ujung’e ki” Seloroh faiz diiringi gelak tawa kami yang semakin bingung.
“tanya orang dah. Iku enek panganan ndk gubuk. Berarti enek wonge” (tanya orang deh. itu ada makanan di gubuk. Berarti ada orang) kata Arif mencoba jadi detektif. Ia pun menuju ke gubuk, sementara kami menunggu dijalan kecil ini.
“iyo iku enek panganan” (itu ada makanan) ujar Amin kemudian
“duduk panganane min. Wonge sing digoleki (bukan makanannya Min. Orangnya yang dicariin)” sanggah faiz membuatku geli.
“Wonge kok doh men. Gak enek sopo-sopo ki” seru Arif pada kami.
Kemudian ada seorang bapak lewat, Niko pun segera menghentikan bapak tadi untuk bertanya. Ternyata jalan yang kami lewati ini benar. Jalannya masih lurus terus. Kami pun berjalan lagi dan menemukan hutan kembali. Kami kembali dibingungkan pada arah jalan yang begitu membingungkan.
“lewat ngiri mbak” celetuk Arif padaku. Sedangkan teman-teman yang lainnya mengambil lajur kanan. Namun ternyata lajur kanan berbelok-belok membingungkan dan tembusanya pun dilajur kiri.
“Bener aku to” seloroh Arif, ada nada kemenangan dari suara nya.
“Kami terus berjalan dan mendapati beberapa pengandara motor yang membawa semangka. Hingga akhirnya, kami melihat ada beberapa buah truk yang terparkir di depan. Kami terus berjalan lurus ke arah truk-truk yag tenyata mengangkuti semangka tersebut.  
“Mau kemana dek?” seorag bapak menghentikan laju sepeda motor kami.
“mau ke rowo cangak pak” jawab Niko yang berada di depan kami.
“Oh. Masuknya bayar lima ribu/ motor. ” ada perasaan sedikit curiga pada bapak yang memunguti uang masuk ini. Karena setahu kami, tak ada pungutan dana untuk masuk ke Rowo cangak karena memang pantai nya masih virgin dan belum dikelola oleh pemerintah. Namun kami tak ingin berdebat, segera kami kumpulakan uang lima ribuan dan memberikannya pada bapak tadi.
“gak parkir disini saja dek? Biar aman. Terus nanti kalian jalan dari sini” lanjut bapak itu. Kami pun mengiyakan karena tak mau ambil resiko kehilangan sepeda. Setelah memakirkan sepeda di warung tersebut, kami sempat membeli semangka pada truk yang membawa semangka. Nyatanya Luluk kena tipu karena mendapatkan semangka dengan harga yang lebih mahal dari umumnya. Semestinya untuk harga semangka yang didapatkan dari kebun memiliki harga yang lebih murah dari harga pasaran. Namun, semangka yang kami dapatkan malah lebih mahal dari harga pasaran. Tapi masa bodoh, kami pun segera meneruskan perjalanan kami dengan berjalan kaki menuju pantai Rowo cangak yang suara debur ombaknya terdengar menghempas karang. Tapi disini kami kembali ragu pada jalan yang kami lewati, karena kembali menemui jalan yang bercabang. Kata seorang bapak yang lewat, kami diberi pencerahan. Katanya, kalo mau pantai yang viewnya bagus belok ke kiri. Kalo mau jalan yang lebih dekat lewat jalan lurus. Maka, karena teman-teman sudah capek, kami pun mengambil jalan lurus yang katanya lebih dekat tersebut.
“Arek-arek iki senengane milih sing elek” kelakar Amin yang sudah terlanjur belok ke kiri dengan ku. Aku hanya tertawa mendengar celoteh nya. Maka kami pun berpacu untuk segera menuju bibir pantai. Pasir-pasir dibawah kaki kami terasa menggigit. Panas nya matahari benar-benar memanggang kulit. Tapi cukup terbayar, ketika mataku mulai bercumbu dengan birunya laut yang diselingi ombak bergelung tinggi. Perjalanan kami sampai diujung bibir pantai Rowo Cangak, pantai ndlesep yang memiliki sejuta kisah dalam alur panjangnya []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author