Jejak

Jejak

Senin, 09 Mei 2016

Annoying

Pernah tidak kamu merasa takut menjadi dirimu sendiri?
Saya pernah.
dan rasanya,
perih...

          Beberapa waktu yang telah lalu, seorang pria membuka obrolan yang saya rasa cukup absurd di dengar oleh seorang perempuan. Meski mungkin saja jujur. Ia membeberkan sedikit cerita bagaimana sekumpulan pria yang tengah cangkruk membicarakan teman wanitanya. Memberitahukan berbagai istilah yang baru ini saya dengar dan tak cukup pantas sebab entah untuk bercandaan atau sungguhan, buat saya istilah-istilah itu termasuk pelecehan verbal. Ia juga mengatakan itu. 
"Maka kuberitahukan ini padamu agar hati-hati" ucapnya. Beberapa nasihat, potongan cerita dan tukar pikir cara pandang dengannya mengiringi penghabisan bakso di mangkok.
"Perempuan itu makhluk lemah. Kasihan. Makanya setiap perempuan mesti punya amunisi untuk melindungi diri" 
         Saya jelas tak akan mencerna semua ucapannya hari itu. Saya percaya, pria yang baik itu masih ada. Hanya mendapat sudut pandang baru dan beberapa hal yang ia ucapkan tak bisa saya terima tentunya. Ia yang dari setiap ucapannya seolah selalu beranggapan mampu menilai segala sesuatunya, termasuk menganggap perempuan hanyalah objek lemah yang tak punya kuasa. Saya sejujurnya tak menyukai itu. Sebab jelas, perempuan bukanlah objek. Kami juga subjek sebagaimana lelaki. Kami pun bagian dari keping puzzle yang sama dengan laki-laki. Bukankah Tuhan bilang, semua manusia di hadapan-Nya adalah sama? Pria bukan memiliki derajat yang lebih tinggi (terlepas dari tugasnya sebagai pemimpin). Laki-laki dan perempuan hanya mengemban tugas dan peran masing-masing yang telah Tuhan tentukan. Di hadapan-Nya kita adalah sama, sebagai makhluk yang begitu -Dia kasihi
            Sayangnya menjadi perempuan di negeri ini tak cukup nyaman, duh Gusti. Semakin banyak saya membaca kasus perkosaan, membuat saya semakin takut. Kasus Yuyun disusul munculnya kasus-kasus pemerkosaan yang lain, ditambah stigma masyarakat terhadap korban pemerkosaan yang justru dianggap kotor sebab tak lagi perawan. Tak peduli alasan ia tak lagi perawan sebab diperkosa, derajatnya telah turun di masyarakatnya. Lalu anak yang terlahir disebut haram. Jahat sekali, Gusti. 
          Lalu sekarang saya mesti memikirkan ulang apa yang saya inginkan sebab saya sesungguhnya pun dalam bahaya di luar. Membaca kasus pemerkosaan seringkali bikin mata sembab. Sesungguhnya semua perempuan dalam bahaya kan? Saya baru benar-benar sadar kenapa ibu dan bapak seringkali bilang punya anak perempuan tanggung jawabnya besar. Betapa ngomelnya ibu setiap teleponnya tak saya angkat sebab tak dengar deringnya. Betapa khawatirnya ibu ketika pernah saya tak ada kabar beberapa hari karena tak ada signal. Maafkan saya pak, buk. Pasti butuh banyak mental untuk menjadi orangtua. Suatu hari mungkin Tuhan juga akan melimpahkan kekhawatiranmu itu padaku sebab tak kunjung mendapat kabar dari anakku yang tak mendengar dering teleponnya berbunyi. Duh Gusti, apa sanggup saya menanggung kekhawatiran semacam itu. 
        Kekerasan seksual. Pelecehan seksual. Banyak sekali terjadi di bumi ini. Saya kerap menemukan artikel kasus pelecehan seksual terjadi pada anak-anak. Pembentukan LGBT pun kebanyakan timbul akibat masa kecilnya yang pernah disodomi oleh orang dewasa. Seorang kawan saya pernah bercerita, ketika mengikuti jurnalisme keberagaman ia duduk sebangku dengan seorang pelaku homo. Katanya, yang menyebabkan ia menjadi homo sebab masa kecilnya yang pernah disodomi oleh abang salah seorang tetangganya. Ia kerap kali melakukannya, menjadi  penasaran lalu seringkali menjajali kembali sehingga kecanduan dan tumbuhlah menjadi homo. Miris. Masa anak-anak adalah masa tumbuhnya berbagai penciptaan rasa saya kira. Penasaran, mulai suka, percaya diri, dan hal-hal lain yang jelas membentuk kepribadiannya menjadi apa. Saya ingat ketika SD sedang bermain di rumah bude, mas sepupu saya kedatangan seorang temannya yang laki-laki juga. Ia melihat saya begitu lama, dan bilang ke mas sepupu saya jika adiknya ini cantik. Anak kecil seperti saya ketika itu sepertinya jelas tidak merasakan apa-apa saat dipuji. Kemudian ia yang mungkin gemas atau punya niatan lain (no body knows), mencium pipi saya. Sejak saat itu, saya takut bertemu dengan teman mas sepupu saya itu. Entah kenapa raut wajahnya terpatri kuat di ingatan. Seram. Saya kecil seringkali menghindar meski selanjutnya kami cuma berpapasan tanpa sengaja dan tak ada hal lain yang ia lakukan.  Saya jadi ingat kejadian masa kecil ini sebab habis membaca sebuah postingan di fb tetang pelecehan seksual yang pernah dialami seorang perempuan di masa kecilnya. Pelecehan seksual saat kita masih kecil mungkin tak kita sadari dan entah kenapa jadi teringat saat telah dewasa. Apa yang saya alami mungkin bukanlah bagian dari pelecehan seksual seperti apa yang dialami oleh perempuan di fb tersebut. Tapi saya percaya bahwa ingatan seorang anak begitu kuat dan perasaannya yang murni bisa dengan mudah jadi semburat. 
           Perempuan cantik, anak-anak dan orang tua adalah prioritas bagi tentara pasukan khusus Si Jin, seorang tokoh tentara ganteng yang diperankan oleh So Joong Ki di drama Korea Descendent of the Sun. Semua perempuan yang menonton dramanya itu dibuat meleleh oleh pesonanya yang charming di film. Melindungi, mengayomi dan pesona-pesona yang seharusnya perlu dihapus sebab menciderai akal perempuan yang bisa jadi menyebabkan adanya ekspektasi yang tinggi pada kekasih. Tapi yang pasti, seberapapun tangguhnya seorang perempuan ia tetap butuh seorang pria untuk bersandar dan menjaganya. #kodekeras
             Tulisan ini sebenarnya jauh dari ekspektasi. Ada banyak hal yang saya pikirkan malam ini , tentang segala cemas dan miris yang seringkali timbul tenggelam sebab tulisan-tulisan di media online mengenai perempuan dan kasus-kasus pemerkosaan yang keji, juga tulisan Pramoedya Ananta Toer di buku "perawan remaja dalam cengkeraman militer" yang belum habis saya baca. Ditambah banyaknya gambar-gambar anak korban Aleppo, Syria yang membuat dada kalang kabut tiap muncul di beranda facebook. Saya membayangkan adik kecil saya, si Ilham. Ah.. Melihat orang kecelakaan yang kecilnya seadik saya saja, saya pernah ikut nangis histeris. Ditambah lagi jadwal sidang yang mundur (woles), revisi skripsi yang jadi lebih banyak, ditambah kalimat eksotis dari pembimbing "Sepertinya sidangmu bakal ramai Radhiyyan" atau ucapan penguji imut yang ngantar saya sampai pintu ruangannya "Sudah semester sepuluh kan kamu, masak mau nambah lagi?" senyumnya pak imut manis sekali sampek bikin slilit. Subhanalloh, caemnya bapak-bapak ini. 
               Terus kamunya gimana? Kapan mau nyemangati saya juga? Sudah ribuan purnama lewat, dan jarak masih terasa saja. Jangan kacau ya. Hari ini teruslah berkembang dan mengumpulkan banyak hal. Jika hari ini kesibukanmu begitu menyita waktu, jangan lupa makan dan tidur barang sebentar. Saya ingin kamu mengajari banyak hal, menunjukkan duniamu, menemani bahagiaku yang cukup dengan kamu suatu saat nanti. Lalu biar kita tumbuh bersama menjadi manusia dewasa dengan segala problematikanya. Saling mencinta, menabur banyak ketulusan, kasih dan maaf yang mungkin susah tapi harus kita coba. Saya cuma ingin bertumbuh dewasa denganmu. Kamu mesti sabar ya. Perempuan memang tersusun dari kode-kode rumit yang selalu minta dipecahkan. Banyak perempuan memang menyukai cokelat dan bunga. Tapi, kami lebih mencintai kepastian, kekasih (baca: pemilik tulang rusuk). Jangan membuat saya resah. Paragraf terakhir kok ndak nyambung sih []
               
Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author