Jejak

Jejak

Minggu, 01 April 2018

Suatu Hari

Suatu hari kamu akan terbangun dan mendapati ada yang hilang. Separuh mimpi-mimpi yang pernah kamu tulis dan impikan. Lalu menyadari kenyataan bahwa apa yang kamu ingin sulit sekali untuk digapai. Lalu kamu berusaha diam dan memejamkan mata barang sebentar. Mencari apa yang salah dan kosong.

Menghitung...

Kamu merasa tak cukup meski ada keluarga yang begitu mencintaimu hingga ujung kuku. Kamu masih tak merasa cukup meski punya kekasih yang tulus menyayangimu. Kamu masih juga tak cukup meski Tuhan selalu melindungimu.

Terpekur...

Lalu kamu tersadar bahwa yang tak mencukupi adalah rasa syukur yang tak pernah penuh. Rasa haus akan ilmu yang kini sulit kau temui. Bukan. Batinmu yang sedang tertutupi mungkin. Menyadari banyak waktu berlalu satu demi satu tanpa bisa kau lakukan apapun.
Kadangkala kamu hanya ingin menangis saja. Meyesal atas banyak hal yang telah terbuang sia-sia.

Menangis saja. Tak apa.
Biar airmata yang membuatmu lupa setelahnya. 


Continue Reading...

Senin, 05 Desember 2016

SWAG


Gelap itu ada. Sepi itu nyata.
Kau tak punya lilin kah Nay? Sini kupinjamkan buat kau. Tak usah berperan seolah kau sedang terluka begitu.
Aku memang lagi luka. Kau tak lihat sayatannya?
Nggak. Aku cuma lihat kau sedang tersenyum manis sekali di tiap sudut ruang.
Itu cuma pencitraan. Seperti katakata yang bisa jadi ditulis dengan indah, penulis cuma berusaha menghidupkan karya. Kau jangan banyak percaya.
Lantas apa yg mesti aku percaya?
Sini. Duduk saja denganku. Jangan bertanya pada lainnya. Cukup denganku, dan kau bisa baca apa yang ada dan tak ada.
Aku mau.
Aku juga.
Nay, apa di tiap pertemuan harus ada perpisahan?
Bisa jadi, ya.
Apa harus berucap salam?
Mungkin tidak perlu.
Apa lantas ketulusan bisa hilang?
Tidak ke. Tapi aplikasi ketulusn ga pernah bisa murni sebab akan selalu ada yang bikin keruh. Tergantung kamu.
Aku ga ngerti.
Masalahmu itu.
Nay, aku suka dekat kamu.
Jangan. Nanti aku geer.
Kenapa begitu?
Perempuan gampang bikin geer. Ramah dibilang suka. Senyumnya saja bisa dianggep caper. Kamu ga mau gitu kan?
Jadi perempuan melelahkan Nay.
Iya kali. Makanya, ga usah jadi perempuan.
Batasannya banyak.
Iya. Tapi kamu mesti kuat.
Aku mau tetep jadi perempuan.
Okelah. Terserah kamu.
Nay, aku pergi ya?
Kemana?
Ke tempat kamu yang utuh.
Iya. Sini.
Oke. See you, Nay. At the right place.
Continue Reading...

Sabtu, 03 Desember 2016

Pilihan


        Ku dengar, manusia yang bisa menghargai kebahagiaan adalah ia yang pernah merasakan sakit. Bukankah semua manusia pernah merasakan sakit dari benturan-benturan dalam hidup? Sakit dan tangis adalah syarat kita mengingat diri sebagai manusia. Lalu rupanya hanya beberapa yang sanggup belajar dari kesedihan dan menghargai bahagia dengan sebaik-baiknya. Menjadi dewasa dan menentukan pilihan-pilihan yang menyertainya tak pernah punya ruang wisuda hingga liang lahat menyambut. Kemudian kita kebingungan menentukan pilihan yang baik untuk dijalani. Lebih baik tidak memilih sebab terlihat tak memiliki konsekuensi apapun. Kata Leila. Tapi seperti katamu Leila, memilih adalah jalan hidup yang berani.
      Jika dewasa selalu punya penawaran pada pilihan-pilihan yang sulit, pantaslah Tuhan selalu dilibatkan dalam setiap penentuan. Kita perlu menjaga kewarasan dan tetap tenang di tengah dunia nyata ataupun maya yang semakin kacau. Hidup tak pernah melulu semanis potret dalam sosmed kan? Kebencian saat ini sanggup ditebar dengan lebih mudah hanya sebab tafsir masing-masing atau perkara yang diyakini sendirian. Menjadi diri sendiri bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti meski dunia beralih jauh lebih bising dari sebelumnya. Sebab pada kenyataannya jalan hidup akan melulu begitu, dihinggapi sakit dan tangis. Segalanya perlu disiapkan dengan benar sebelum dilindas chaos yang sebenar-benarnya.
        Maka, ketika pada akhirnya aku perlu menjadi satu manusia denganmu dalam menghadapi dunia, biarlah kita berjalan dengan damai meski tak sebising kisah lainnya. Sederhana saja. Saling menjadi telinga tanpa mesti perlu berpura-pura. Menjadi kuat untuk bertahan dalam situasi sakit dan airmata. Aku masih berjuang menjadi aku yang akan selalu disampingmu suatu hari. Masih saja menjadi manusia yang tak akan pernah bisa sempurna dan bisa seringkali menoreh luka buatmu. Tapi aku tahu pada akhirnya kita perlu mengerti makna saling pada apapun, sebab komitmen akan membuat dunia kita terjaga selamanya. Aku yakin kau lebih paham akan hal itu. Selamat berkembang dan menemukan banyak hal. Semoga Tuhan tak keberatan mempertemukan kita dalam waktu dan ruang yang sebaik-baiknya. Di hari itu tiba, semoga kita telah tuntas dengan masa lalu masing-masing. []
Continue Reading...

Kamis, 03 November 2016

Dengar Nay

Nay, kau tahu kan?
Suatu hari mungkin aku akan menyesali banyak hal.
Suatu hari mungkin aku cuma bisa mengenang
Sebuah kota yang di dalamnya sesak oleh kenangan
Nay, kau sedang apa?
Maaf aku belum bisa menemuimu.
ada yang begitu beku dan layu.
Nay ini bukan puisi. Ini cuma, entahlah. Kau bisa menyebut apapun tentang ini.
Nay. tadi aku bertemu manusia yang pernah kulukai hatinya tanpa bermaksud
Nay, Nay?
Kau dengar aku?
Baiklah. Aku mau tidur saja. 
Continue Reading...

manjah

        Nay, maghku kambuh. Ini sakit sekali. Sangat sakit sampai-sampai rasanya aku mau menangis, tapi malu Nay. Aku pernah merasa sakit sekali sama seperti ini, dua tahun yang lalu. Waktu itu karena acara pelantikan yang berjalan dua hari diisi makan mie instan, besoknya waktu pulang aku magh parah. Ini juga sakit Nay. Aku habis makan mangga kecut tadi pagi di kosnya Bening. Aku lupa kalo semalam maghku kambuh karena kebanyakan makan pedas. Lebih tepat ngelupa sih, Nay. Aku gak bisa nolak mangga yang dengan baik hati mempersilahkan tubuhnya untuk dinikmati. Lalu, siangnya dia marah padaku. Ia, perut manja ini berulah lebih garang dari biasanya. Membuatku menggeliat kesakitan. Lalu ibu telpon. Ku kira benar ia punya ikatan batin denganku, lalu mau marah-marah kalo tahu ini. Ternyata beliau cuma tanya tentang kereta.
        Nay, aku bandel dan memang masih saja berego tinggi. Aku mau tidur tapi gak bisa tidur. Nay, aku bingung. Aku selalu mau menangis tapi tak bisa menangis. Sedang merasa bodoh dan lemah. Nay, jadi dimana posisi manusia berhati jembar yang  bisa kupercaya dan berbagi segala dengannya? Apa itu kau, Nay? []

Continue Reading...

Rabu, 02 November 2016

Sin

      Simbah sakit bu. Kata Mbak Esti, dokter mendiagnosa jantungnya bengkak dan akan sulit disembuhkan sebab faktor usia pula. Ibu tak tahu ya? Mereka bilang, jangan kabarkan ini dulu ke ibu. Takut kepikiran, padahal anaknya yang telat lulus ini mau diwisuda. Lalu, aku juga diminta untuk tak mengabarimu lebih dulu. 
      Bu beberapa waktu yang lalu, waktu aku sedang menonton tv bersama bapak, layar kaca itu memperlihatkan potongan cerita tentang orang tua dan anaknya. Aku lupa itu cerita tentang apa dan aku lupa saat itu bicara apa ke bapak, yang kuingat hanya perkataan bapak kemudian. Dia minta aku bersyukur sebab masih punya orang tua yang lengkap, yang masih sehat. Dia juga mengakui perasaannya sebagai yatim piatu, lalu bola matanya berkaca-kaca. Iya. Bapak yang baru sekali dalam seumur hidup kulihat menangis, itupun ketika lebaran beberapa tahun lalu, bahkan bapak tak menangis ketika ibunya meninggal atau aku saja yang tak tahu. Hari itu, kulihat lagi matanya berkacakaca. Mungkin ia sedang berusaha kuat menahan bulir air di depanku. Aku cuma bisa tersenyum dan lirih mengucap iya untuknya. Besoknya bu, kutemui tulisan bertanggal di balik pintu warung. Nama kedua orang tua bapak berikut tanggal wafatnya. 
       Waktu wisuda sudah dekat bu. Aku sudah memberimu kebanggaan apa? apa wisudaku cukup membuatmu bahagia? Kurasa tidak. Kau bilang, merasa biasa-biasa saja menyambut wisudaku sebab sudah pernah merasai wisudanya mbak Lia. Iya. Kau juga tentu tahu bahwa wisuda tak menjamin anakmu ini menjadi manusia yang luar biasa. Dia hanyalah seremoni pembebasan dari skripsi yang kala itu membuatku banyak menangis. Hanya itu yang bisa kubanggakan mungkin atau tak ada satupun alasan yang layak kusebut. Kini, dia justru jadi simbol keegoisanku padamu. Hanya berkat seremoni yang menghabiskan waktu kau harus menunda untuk menjenguk ibumu yang sakit, satu-satunya orangtua milikmu. Maaf ya bu. Aku tak bisa berbuat banyak selain menahan diri. Entahlah, apa wisuda memang spesial buatku. Tapi aku mau, kau di dekatku. 
       Bu, ini bulan lahirmu. Semoga kau senantiasa berbahagia dengan belahan jiwa dan anak-anakmu ini. Terimakasih untuk banyak kesabaran dan kekuatan selalu bertahan. Semoga simbah masih punya banyak waktu. Semoga aku punya banyak kebahagiaan buatmu. []

Continue Reading...

Jumat, 28 Oktober 2016

Pingin ditulis

         Satu minggu yang nggladrah . Berangkat ke Sidoarjo hari Senin malam dengan tujuan menuju briefing magang dan cari buku di Book Fair Surabaya. Selasanya, berangkat ke Big Bad Wolf tapi hasilnya nihil. Sampai di tujuan, hujan sangat deras sudah mengucapkan selamat datang. Sa mesti ngiyup dari seberang Jatim Fair tempat acara tersebut berlangsung selama satu jam. Betenya lagi, gak ada yang menarik hati dari sekian puluhan juta buku yang dipamerkan disana. Sorenya beranjak ke Surabaya dengan kawan, dan dengan bodohnya menyadari kalo lupa bawa helm di kota besar. Kami nekat menembus belantara motor dan beberapa polisi di pinggiran. Jantung yang juga gak karuan sebab si Mahdaningrum yang gak punya SIM. Salah satu keberuntungan warbiyasa yang pernah sa rasai. Sampai di lokasi yang direncanakan untuk magang, rupanya tempatnya gak sesuai dan gak meyakinkan sama sekali. Akhirnya sa melepaskan kesempatan itu di waktu magrib dengan latar langit yang sudah gelap. Kami berbalik pulang mencari tempat makan yang punya wifi sebab perlu test online di jam yang sudah mepet. Makan disambi garap soal yang berkali-kali diloncati karena kehabisan waktu.  Sa pulang lagi ke Sidoarjo. Lalu nomer 3 mati, semua kontak hilang termasuk nomernya ibu dan ATM yang rupanya keblokir. 
          Dapat bbm jadwal glasi resik dan yudisium fix di hari Jumat. Rasanya percuma berangkat jauh-jauh ke kota ini dan gak mendapatkan apapun. Ngabisin duit aja, lagi kere juga. Akhirnya mesti balik lagi ke Jember naik kereta dan terpaksa mendengar perbincangan SARA dua manusia di bangku samping. Rupanya komen-komenan menjijikan di sosmed mengenai isu SARA benar-benar ada di dunia nyata. Sa kira itu cuma komputer yang disetting sedemikian rupa. Bahh, kuping sa panas sungguhan. Kamisnya mengikuti gladi resik yang molor gak karuan, dicueki kawan yang entah punya salah apa sa ini. Jumatnya, gak bisa telpon ibu sebelum yudisium sudah bikin uring-uringan seharian. Semua penjual pulsa di muka bumi kayak bikin kongsi untuk tak mendukung sa di hari ini. Kemudian dengan baju putih yang rupanya sedikit kebesaran dan pantofel yang pinjam sebab segalanya kelupaan, berangkat yudisium adalah keniscayaan di pagi hari ini. Lalu pulsa baru masuk di detikdetik sudah dipanggil masuk ruangan. Sa sms ibu. Lalu hape dimatikan. Menunggu segalanya dimulai. Iya, hari ini. Segala titik kesialan akhirnya bertemu di puncaknya. Ini semacam adegan ending dalam film fantasi. Ketika segala agen kesialan di minggu ini berjalan, memutar, merayap melewati jalan-jalan dari tiap penjuru kota dan berkumpul di titik pusaran black hole yang tiba-tiba saja membuka di tengah perhelatan yudisium. Mereka, seluruhnya masuk ke dalam lubang. Lalu dengan sebuah simbol pelepasan jas almamater yang rupanya media kunci, pintu black hole menutup dan meraup segala yang benar-benar menyebalkan selama-lamanya. Selamat melepaskan diri dari dunia maya, begitulah katanya dan decit suara pintu yang tak biasa menutup dengan sempurna. Lega. 
           Tapi, rupanya sisa-sisa kesialan masih tertinggal di lorong meja bekas kosan. Mungkin sebab pintu black hole yang terlalu cepat menutup? Aneh kan. Biasanya dalam film-film itu, segala roh jahat yang tersedot, bakal masuk dengan sempurna tanpa terkecuali. Tapi di hidup sa kok masih punya sisa-sisanya. Oh, rupanya sa masih ngantuk. Magh yang menyerang hari ini bikin halusinasi yang gak bisa dibendung. Sa rindu. Tapi ia cuma bagian dari sisa-sisa yang ikut tertinggal di lorong meja. Dan tahukah apa yang paling benar? Iya, ini hanyalah persiapan menyambut tamu bulanan yang datang. Hati-hati. []
Continue Reading...

Sabtu, 22 Oktober 2016

Koentji

"Kamu boleh jadi apapun. Kemanapun" 
Semacam dengungan kepercayaan di telinga waktu mendengar jawaban ibu. Sebelumnya saya iseng-iseng tanya ke beliau, ingin anaknya ini kerja apa, boleh kerja dimana dan dengan yakinnya beliau menjawab kalimat itu. 
"Tapi kalo kamu jadi wartawan, ibu kurang sreg" Saya cuma diam mendengar ucapannya, lalu ibu meneruskan alasan jawabannya yang tanpa perlu saya tanyakan. Beliau punya beberapa kekhawatiran. Entahlah apa yang sebenar-benarnya ada dalam benaknya itu. Sebelumnya, ibu pernah menantang saya jadi wartawan. Itu dulu. Tapi seiring waktu bergulir, jawabannya berubah lagi. Saya nggak bisa berdebat banyak dengannya. Sebab belum pernah tau juga kondisi seperti apa yang sebanar-benarnya bakal ditemui seorang wartawan yang sesungguhnya. Dan gak ingin juga berdebat banyak dengannya, sebab seringkali tiap saya keukeuh dengan pilihan saya yang tak ia suka sesuatu pasti terjadi. 
         Trauma paling membekas terjadi waktu saya masih SD. Saat itu, hari Jumat tengah hari. Saya berencana main barbie di rumah teman yang rumahnya mesti melewati empang. Saya dan dua orang kawan melewati jalan empang yang rupanya saat itu entah sedang dilakukan apa,  mungkin sedang pembersihan lumpur dari dalam empang yang kemudian dibuang di pinggirannya (ngawur), sehingga tanahnya bisa serupa lumpur yang mampu menghisap tubuh kecil kami. Sungguh itu momen paling membekas seumur hidup. Semacam ada tangan dari dalam tanah yang mampu menarik tubuh kami masuk ke dalam tanah, sandal-sandal yang gak bisa diangkat oleh kaki dan malah tertinggal dalam lumpur. Kami panik, dan secara brutal menangis dan berteriak-teriak histeris sedang lumpur terus menyedot makin dalam. Untungnya, ada dua orang dewasa yang saat itu sedang berjaga di sekitaran empang. Kami tertolong hari itu, lalu gak jadi menyebrang empang dan berbalik pulang. Sampai di rumah, dengan jantung yang masih berdebar gak karuan, saya berbicara dengan nada berbisik di samping ibu. menceritakan apa yang saya alami tadi yang pungkasnya beliau jawab dengan nada gusar "Dibilangin suruh tidur siang. Jangan main. Kalo Ibu gak ridho, Alloh juga gak ridho" Setelah itu, saya cukup kapok. 
        Tapi dewasa ini, banyak bukti kembali saya rasakan lagi. Waktu itu pernah mendaftar mau ikut penjelajahan ke Papua selama satu minggu. Segala macam pengorbanan sa kira sudah cukup dilakukan, segalanya terasa sudah di depan mata. Tiap ada orang papua lewat, rasanya pingin saya sapa tapi malu. hehehe. Tapi rupanya, persetujuan ibu yang bilang iya-iya aja di telinga saya, gak sesuai dengan apa yang di hatinya. Dan benar apa yang saya tebak, sebenar-benarnya Ibu gak pernah meridhoi niat itu. Yasudahlah gak akan bisa didebat. Makanya tiap ibu lagi marah, saya takut bantah. Omongannya itu semacam bertuah. Huhu...
         Sekarang sa sudah lulus. Hampir wisuda deng tepatnya. Mau jadi apa ya? Kan bingung. Dasar mahasiswa abal-abal saya ini. Katanya Sam si penulis Catatan Akhir Kuliah di blognya, lulusan yang baik itu bukan yang cepat lulusnya, tapi yang tahu habis lulus mau kemana. Duh kakak, saya mah tahu dong habis lulus pinginnya kemana. 

Nikah! *senyum pepsodent*. Tapi sayang, jodohnya belum ketemu. Ugh, bang toyib.  

Yasudah, kerja dulu aja adek bang meski belum tau dimana. Pinginnya di luar kota, biar mengenal daerah, manusia dan budaya barunya. Pinginnya. Tapi pasrah saja sih. Wong Alloh selalu bikin rencana hidup yang Maha misterius kok. Hanya saja, ada sesuatu yang seringkali bikin melo.

Sebagai anak rantau kadang saya suka mikir, kapan lagi setelah ini ada waktu panjang hidup sebagai bagian dari keluarga di rumah. Yang setiap harinya tau rutinitas bapak, ibu dan dedeque. Melihat senyum mereka setiap hari, dimarahi, makan tanpa bayar, dan rutinitas lainnya yang orang lain anggap biasa-biasa saja. Lima tahun hidup di Jember, baru kemarin 2 bulan benar-benar tinggal di rumah dan rasanya seperti mengenal lagi masing-masing manusia yang hidup dalam rumah itu. Habis ini kerja. Kalo nanti bisa dapat kerja di luar kota, sa akan ngekos lagi. Ibu bilang, orang tua memang harus selalu ikhlas melepas anaknya. Semacam kalimat pasrah yang tulusnya gak main-main. Tingkatan cinta yang warbiyasah bisa kau lihat pada mereka.
          Hidup memang mesti berjalan.. Buat mereka juga sa mau berjuang. Tapi ya semacam jodoh kan, kerja juga punya waktu dan momentumnya sendiri. 

"The right person,

the right moment,
and the right way."


Bersabar adalah koentji. Selamat bejuang dan menemukan apa-apa yang terbaik dalam hidup.  []



Continue Reading...

Sabtu, 10 September 2016

Under Blue



Aku curiga sesuatu yang aneh telah terperangkap dalam tubuhku. Ia bertubuh kecil, punya sayap dan menyusup lewat pori-pori kulitku yang makin lama terlihat jadi membesar. Atau jangan-jangan sebenarnya aku adalah bagian dari mereka yang bukan manusia atau memang benar yang dituduhkan ibu dan dokter bodoh itu bahwa aku mengidap mental disorder. Ah, sulit dipercaya. Semua keanehan dalam hidupku ini bermula ketika aku menemani Tristan bermain dengan crayonnya. Anak dari Mbak Lina, bocah penderita autis yang memiliki kemampuan imajinasi luar biasa cerdasnya. Aku mengagumi cara Tristan membuat bentuk-bentuk kartun yang terkadang abstrak dan selesai menjadi gambar yang menarik. Sudah kubilang imajinasinya liar. Seperti saat itu, tiba-tiba Tristan menarik ujung bajuku dan menunjukkan retakan tembok rumahnya yang bergaris-garis dengan semburat. 
“Ini pegasus, mbak” jari mungil Tristan berjalan mengikuti alur membentuk pegasus seperti dalam benak pikirnya. Entah sebab imajiku yang sudah lapuk dimakan angka-angka, problema dan ego yang semrawut sehingga aku tak mampu mengikuti jalur imaji Tristan. Kepalaku cuma bisa mengangguk untuk pura-pura mengerti.
“Yang ini bentuknya kayak pohon bunga sakura.  Bunganya jatuh”
“Ohh”
“Yang ini gajah”
“Belalainya mana?”
“Ini” dengan mantap Tristan menunjuk retakan berkelok yang kuamini benar sebagai bentuk belalai. Menemukan satu bentuk imaji yang sama dengan Tristan, membuatku bersemangat juga menemukan bentuk-bentuk lainnya dari retakan tembok itu. Beberapa menit selanjutnya kami sibuk dengan imaji masing-masing, dengan susah payah pun akhirnya bisa kutemukan sebentuk wajah dalam retakan tembok. Kemudian entah kenapa satu gambar yang kutemukan tadi sanggup membayangi di tiap waktu hingga Mbak Lina telah datang, lalu aku pulang, tidur dan sosok itupun ikut masuk dalam tidurku. Tepatnya masuk dalam mimpi, atau aku yang telah masuk dalam dunia lain. Entahlah.
Dalam mimpi itu, mimpi anehku yang pertama, atau dalam dunia lain yang entahlah, aku memperhatikannya dari jarak yang sangat dekat sebenarnya. Sekitar jarak baca normal atau sekitar 30 cm dari tempat ia berdiri memetik portulaca. Tapi ia tak menyadari keberadaanku. Tubuhku terjepit diantara ilalang berwarna biru mengkilat yang tinggi menjulang bak rerumpunan bambu. Sosok wajah itu milik bayi mungil yang punya bulu mata luar biasa lentik dengan iris mata berwarna biru bening dan bibir mungilnya yang merah merekah.  Dia masih bayi seumur Neina mungkin, sekitar 2 atau 3 minggu, tapi mampu berdiri sigap dengan sayap kecil yang mengepak di sisi kanan kiri tubuhnya. Gila. Belum lagi aku bisa mengidentifikasi manusiakah atau makhluk jenis lainnya yang ada di depanku ini, sesuatu yang sangat besar bergerak di atasku. Gerakannya lamban serupa pesawat yang baru landing di bandara. Dengan kadar takut yang makin tinggi, kalut dan rasa penasaran yang tak habis-habis kudongakkan kepalaku melihat langit. Seekor bison (yang punya sayap!) terbang melintas di atas kepalaku. Macam surealisme dalam video klip Up & Up Coldplay! Bedanya, aku yakin sanggup menyentuhnya secara nyata jika saja ia terbang agak rendah. Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi  saat itu. Sekuatnya kucubit pipi dan kedua lenganku, berharap ini cuma mimpi konyol dan akan hilang perlahan bahkan lupa selama-lamanya setelah bangun dari tidur. Tapi cubitanku sungguh terasa sakit dan herannya aku masih berada diantara ilalang biru dan seorang (atau seekor) bayi yang masih mengusik liukan portulaca yang berkilauan. Chaos. Aku tak tahu tengah berada di belahan bumi atau galaxi yang mana. Bagaimana caraku sampai di tempat itu. Yang kuingat sebelumnya, aku hanya sedang tertidur di di kasur beludruku setelah menemai Tristan bermain lalu tercebur dalam air gelembung semacam soda dan jatuh diantara ilallang-ilalang warna biru itu.
Kemudian segalanya mendadak sirna semacam bekas ingatan liburan semester ketika ada seseorang yang menepuk bahuku.  Rasanya seperti tersedot dalam mesin penyedot debu dan aku telah kembali lagi di atas kasur beludru. Ibuku yang telah membangunkanku dari mimpi Maha absurd dan mendapati tubuhku berkeringat dan bernapas dengan susah payah.
Tak hanya sekali dua kali mimpi itu muncul seperti nyata kualami. Dan kemudian bukan juga kutemui dalam mimpi, tapi masuk dalam dunia nyataku. Mereka memperlihatkan sosoknya secara frontal dan gilanya Cuma aku yang bisa melihatnya! Tidak ibu, tidak dokter bodoh yang selalu meyakinkan ibu bahwa aku telah mengalami halusinasi parah akibat mental disorder yang kuidap. Awalnya aku hampir percaya bahwa yang kualami ini memang sebab penyakit mental yang tak tersembuhkan mungkin. Tapi di suatu hari, ketika keluarga besar kami tengah makan bersama termasuk juga Tristan keponakanku, sosok bayi mungil beriris mata biru itu muncul dari balik meja. Ia tersenyum ke padaku dan selanjutnya pecah menjadi partikel-partikel kecil yang berterbangan ke arahku. Makanku bertambah lahap, aku mulai takut pada diriku sendiri. Tapi tetap berusaha menyimpan rapi segala yang kulihat di sekelilingku atau aku akan dicap gila oleh keluarga besar. Selanjutnya ketika semua piring telah tandas tak bersisa dan diangkut menuju dapur untuk dicuci, orang-orang telah beranjak menuju ruang tivi ataupun halaman, menyisakan aku dan Tristan yang masih mematung di tempat duduk masing-masing. Kami saling bertatapan dan Tristan tersenyum.
“Aku lihat apa yang kamu lihat mbak”
“Ah?”
“Aku juga lihat dia pecah jadi partikel-partikel kecil lalu masuk dalam tubuhmu melalui pori-pori kulit”
Aku diam mematung. Belum juga selesai takjub dengan apa yang kulihat tadi, cara bicara Tristan yang menjadi normal pun ikut membuatku bertambah frustasi memikirkannya.
“Mbak gak percaya tadi Tristan lihat Vregi juga?”
“Tristan, Vregi itu apa?”
“Iya yang tadi masuk ke tubuh mbak itu, namanya Vregi. Dia makan banyak ya mbak”
Aku bergidik ngeri. Sepertinya aku sedang berhalusinasi parah dan perlu dibangunkan dengan segera sebelum muncul bison terbang lagi atau hal-hal yang membuatku lebih gila dari ini.
---- bersambung----

Continue Reading...

Sabtu, 06 Agustus 2016

Boleh Main

        Katanya di peringatan antariksa hari ini, langit malam bakal terlihat cantik ditaburi miliaran bintang pada pukul 20.00-21.00. Saya yang sedang menemui kebuntuan nginstall wordpress di hosting jadi bersemangat naik ke lantai tiga, dan sialnya cuma menemui kegelapan dan tak ada bintang satupun. -_-  Akhirnya sa mesti balik lagi ke kamar, menemui hostinger, menjajal log in cpanel dan gagal lagi. 
       Ah. Kotak baru yang saya inginkan belum jadi. Nama domainnya belum bisa berubah sebab terkendala login cpanel dan penggunaan template yang masih seadanya. hehe. Tapi kamu boleh berkunjung untuk sekedar mengintip pembangunannya. Silahkan mampir  ke bolehmain.wordpress.com. Maaf ya lantainya masih kotor, belum dicat baru, dan belum punya perkakas yang bisa menunjang keperluan rumah tangganya. Makanya, kamu boleh meninggalkan kritik, saran atau sekedar bercuap di kotak main saya yang baru itu. 
       Sa lagi kecanduan ngulik blog. Porsinya mungkin hampir sama kayak rindu yang seringkali hadir. Untuk bintang-bintang yang saat ini entah sedang mengindahkan malamnya siapa, hadir juga ke lantai tiga kosan saya dong. Atau muncul dari balik jendela kamar juga lebih baik. Sa mau nitip rindu sebentar []
Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author