Jejak

Jejak

Senin, 05 Desember 2016

SWAG


Gelap itu ada. Sepi itu nyata.
Kau tak punya lilin kah Nay? Sini kupinjamkan buat kau. Tak usah berperan seolah kau sedang terluka begitu.
Aku memang lagi luka. Kau tak lihat sayatannya?
Nggak. Aku cuma lihat kau sedang tersenyum manis sekali di tiap sudut ruang.
Itu cuma pencitraan. Seperti katakata yang bisa jadi ditulis dengan indah, penulis cuma berusaha menghidupkan karya. Kau jangan banyak percaya.
Lantas apa yg mesti aku percaya?
Sini. Duduk saja denganku. Jangan bertanya pada lainnya. Cukup denganku, dan kau bisa baca apa yang ada dan tak ada.
Aku mau.
Aku juga.
Nay, apa di tiap pertemuan harus ada perpisahan?
Bisa jadi, ya.
Apa harus berucap salam?
Mungkin tidak perlu.
Apa lantas ketulusan bisa hilang?
Tidak ke. Tapi aplikasi ketulusn ga pernah bisa murni sebab akan selalu ada yang bikin keruh. Tergantung kamu.
Aku ga ngerti.
Masalahmu itu.
Nay, aku suka dekat kamu.
Jangan. Nanti aku geer.
Kenapa begitu?
Perempuan gampang bikin geer. Ramah dibilang suka. Senyumnya saja bisa dianggep caper. Kamu ga mau gitu kan?
Jadi perempuan melelahkan Nay.
Iya kali. Makanya, ga usah jadi perempuan.
Batasannya banyak.
Iya. Tapi kamu mesti kuat.
Aku mau tetep jadi perempuan.
Okelah. Terserah kamu.
Nay, aku pergi ya?
Kemana?
Ke tempat kamu yang utuh.
Iya. Sini.
Oke. See you, Nay. At the right place.
Continue Reading...

Sabtu, 03 Desember 2016

Pilihan


        Ku dengar, manusia yang bisa menghargai kebahagiaan adalah ia yang pernah merasakan sakit. Bukankah semua manusia pernah merasakan sakit dari benturan-benturan dalam hidup? Sakit dan tangis adalah syarat kita mengingat diri sebagai manusia. Lalu rupanya hanya beberapa yang sanggup belajar dari kesedihan dan menghargai bahagia dengan sebaik-baiknya. Menjadi dewasa dan menentukan pilihan-pilihan yang menyertainya tak pernah punya ruang wisuda hingga liang lahat menyambut. Kemudian kita kebingungan menentukan pilihan yang baik untuk dijalani. Lebih baik tidak memilih sebab terlihat tak memiliki konsekuensi apapun. Kata Leila. Tapi seperti katamu Leila, memilih adalah jalan hidup yang berani.
      Jika dewasa selalu punya penawaran pada pilihan-pilihan yang sulit, pantaslah Tuhan selalu dilibatkan dalam setiap penentuan. Kita perlu menjaga kewarasan dan tetap tenang di tengah dunia nyata ataupun maya yang semakin kacau. Hidup tak pernah melulu semanis potret dalam sosmed kan? Kebencian saat ini sanggup ditebar dengan lebih mudah hanya sebab tafsir masing-masing atau perkara yang diyakini sendirian. Menjadi diri sendiri bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti meski dunia beralih jauh lebih bising dari sebelumnya. Sebab pada kenyataannya jalan hidup akan melulu begitu, dihinggapi sakit dan tangis. Segalanya perlu disiapkan dengan benar sebelum dilindas chaos yang sebenar-benarnya.
        Maka, ketika pada akhirnya aku perlu menjadi satu manusia denganmu dalam menghadapi dunia, biarlah kita berjalan dengan damai meski tak sebising kisah lainnya. Sederhana saja. Saling menjadi telinga tanpa mesti perlu berpura-pura. Menjadi kuat untuk bertahan dalam situasi sakit dan airmata. Aku masih berjuang menjadi aku yang akan selalu disampingmu suatu hari. Masih saja menjadi manusia yang tak akan pernah bisa sempurna dan bisa seringkali menoreh luka buatmu. Tapi aku tahu pada akhirnya kita perlu mengerti makna saling pada apapun, sebab komitmen akan membuat dunia kita terjaga selamanya. Aku yakin kau lebih paham akan hal itu. Selamat berkembang dan menemukan banyak hal. Semoga Tuhan tak keberatan mempertemukan kita dalam waktu dan ruang yang sebaik-baiknya. Di hari itu tiba, semoga kita telah tuntas dengan masa lalu masing-masing. []
Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author