Jejak

Jejak

Senin, 21 Desember 2015

Pekat



“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya" 
Pramoedya Ananta Toer


      Saya mengamininya. Kemudian hanya berusaha menyederhanakan segala kemungkinan dalam hidup. sejujurnya saya sedang berada di tingkat kejenuhan yang pekat. Dalam semua hal rasanya mengalir datar, biasa-biasa saja. Tapi saya dipaksa fokus pada skripsi. ih.
     Katanya jadi dewasa itu rumit. Mungkin saja tidak. Jika saya bisa berhenti khawatir pada kebiasaan manusia dewasa pada umumnya. Misalnya saja, berhenti ikut berlomba pada sesuatu yang sudah pasti didapat. Kebiasaan tak selalu benar kan? Kadang saya pikir rasanya hidup ini lucu sekali. Saya lupa bahwa setiap manusia punya alurnya masing-masing yang hanya perlu diterima dan disyukuri. Mungkin saja, dewasa bukan perkara telah mendapatkan banyak hal dalam hidup. Saya pikir itu nilai plus. 
      Ah terlalu banyak tafsir. Saya jenuh. Egoisnya saya ingin berhenti peduli pada hal yang melulu begitu. Dalam waktu yang terus bergulir, ia mengajari saya untuk merenungi banyak hal. Perkara cita yang secara kasar sudah terpikirkan. Setidaknya, ada yang perlu saya capai. Perkara cinta yang sudah semestinya dipikirkan ulang. Dia tak akan peduli.
       Rasanya saya ingin segera menuju antah berantah menuju kesahajaan para manusia jika Tuhan mengijinkannya. Memulai pengenalan dari awal. Bertemu manusia baru. Bertumbuh jadi perempuan yang anggun dan istimewa ( berkawan dengan make up salah satunya. Cepat atau lambat, saya sadar perihal merepotkan itu mesti dilakukan). Mencintai dengan sederhana. Lalu sesekali merindukan kota manis yang punya banyak kenangan ini. Saya tahu akan begitu suatu hari nanti.  []
        

Jember, Desember 2015
Kepala saya pusing
Continue Reading...

Jumat, 11 Desember 2015

Say it with Flower


Aster (sumber : breaflorist.com)

Hydrangea (sumber : pinterest.com)


Say it with flower-
Entah siapa yang mengatakan itu pertama kali. Bunga bisa lebih bermakna ketimbang hanya sekedar kata-kata. Sepertinya begitu.  Saya sendiri sudah cukup banyak kali mendapat bunga dalam beberapa momen. Kebanyakan dari teman pria yang ngasih bunga sewaktu mengungkapkan perasaannya. Hahaha. Atau  dari teman-teman sebagai sebuah ucapan. Saya bukan perempuan yang alergi bunga sih, atau tidak terlalu fanatik juga padanya. Saya hanya pengagum kecantikan bunga dan sangat menghargai apa yang orang persembahkan buat saya. Feeling special gitu ketika mendapat sekuntum mawar atau bucket bunga yang cantik. Bukan cuma bunga sih, semua hadiah dalam hidup saya sangat berarti dan jelas bikin saya merasa special juga. Perempuan mudah luluh pada hal-hal yang manis bukan?  *wiingg
                Kemarin, saya ngobrol sama mbak Exti tentang kembang kelahirannya di bulan Desember. Lalu, jadi tertarik untuk tahu simbol bunga di bulan September. Beberapa artikel menyebut bunga ester atau daisy sebagai simbol bunga September. Ia seringkali dihargai karena kesederhanaannya. Menurut tokobungahias.com, di zaman dahulu para gadis menggunakan bunga aster sebagai penghias rambut mereka untuk menunjukkan kepolosan dan kesederhanaan seorang remaja. Bunga aster yang dihadiahkan oleh seorang gadis juga dianggap sebagai penghormatan dan tanda kasih sayang. Ia sering digunakan untuk mengekspresikan bahasa cinta dengan cara yang spesial. #Uweleh Menurut cerita mitologi Yunani, bunga ini terbentuk ketika dewi Asterea Yunani menangis, sehingga bunga ini dianggap sebagai pesona cinta yang memiliki kekuatan mistik.
                Kalo menurut Libra, bunga saya Hydrangea atau Ajisai. Dari mitologi Yunani, dewi Themis yang sering disimbolkan untuk Libra. Seorang dewi keadilan. Saya kira, hydrangea dan ester punya kemiripan. Sama-sama dianggap sebagai bunga yang penuh kasih, perhatian, cinta dan embel-embel menye-menye yang manis. Begitu juga kesamaan pada dua dewi Yunani dalam mitologi Yunani. Thermis kan ibunya si Asterea, jadi sangat mungkin mereka punya karakter hampir serupa. Gitu ya? Haha.
Intinya apa? Saya bukan jenis manusia yang percaya pada ramalan bintang atau terlalu mengiyakan segala macam yang tertulis di artikel, misalnya mengenai simbol-simbol beginian. Nggaak kok. Cuma setelah baca-baca kilat akibat kepo sama jenis bunganya September, saya jadi  berharap punya karakter baik yang sama dengan bunga atau dewi-dewi Yunani ini. Perhatian, sederhana, baik hati, romantis dan penuh cinta wahahahahha. Jelek-jeleknya gak usah. Gak tahu juga sih jeleknya apa. Tapi tentu saja gak bakal mau punya kisah poligami yang dialami si Themis. Iyuhh.
Betewe, pengetahuan saya soal bunga cetek banget. Soal keahlian bercocok tanam juga tidak begitu baik. Tapi, pingin ah punya bunga aster atau hydrangea. Siapa tahu suatu hari bisa ke sen-pon-ajisai-rodo. Amiin banter ! []
Continue Reading...

Kamis, 03 Desember 2015

Salju, Itadakimasu

Salju di Jepang masih turunkah din? 

         Jember sedang sering ditimpali hujan. Aku senang. Semoga saja hujan tak jenuh kujadikan tempat penghabisan risau. haha. Dalam hujan, akan muncul petrichor yang melewati jendela dan ventilasi untuk membaur dengan udara kamarku, juga memenuhi sepanjang jalan Kalimantan. Hampir tiap hari aku menungguinya turun untuk bersama dalam lamunan atau dijadikan teman dalam satu selimut. Seperti menunggumu pulang ke Jember Din, untuk kembali kita habiskan waktu untuk ngopi. Bercerita apapun hingga isi cangkir tak bersisa. 

        Apa salju juga menarik seperti halnya hujan, Din? Semoga ia mampu membekukan potongan kenang yang tak sanggup dibaca lagi, juga luka yang menyertainya. Mereka bilang, kerinduan semacam ampas kopi yang mengendap ikhlas tanpa diteguk. Disana, kamu sering minum kopi instan ya Din? kopi instan tanpa ampas mestinya bisa mewakili hatimu. Bukan karena tak lagi rindu, hanya saja karena kerinduan itu sudah gak perlu. hwehehehe.

         Hari ini H-15 waktu pulangmu ya Din? sepertinya kamu sudah tak sabar untuk segera kembali ke kotamu yang manis ini. Bertemu banyak manusia yang mampu mencairkan sosok Dina dari sisi cool nya yang menarik. hihi. Oh iya, mumpung salju sedang turun Din. Bawa saja banyak bola salju dalam kresek hitam ke dalam labmu. Kupikir kau perlu untuk melempari teman-teman labmu dengan es yang berceceran di sana. Biar ceceran kebekuan itu menyatu kembali dengan kebekuan para manusianya. Sesekali buat kegaduhan dalam ruang-ruang yang bersekat itu, atau jebol saja dinding-dindingnya, Din. Biar kalian bisa bersama-sama menyanyikan lagu doraemon atau fukai mori. Lalu seperti pelajaran bahasa Jepang di SMAku, saling berkenalan satu persatu di depan kelas sembari bergiliran maju mengucapkan hajimimasite, watashiwa ...

Ah, aku ngelantur. Jangan dihiraukan...

Aku lagi jenuh Din. Rupanya skripsi adalah serangkaian perjalanan membosankan yang mesti segera dihabisi. Agar keresahan dan cecunguk yang mnenyertainya cepat terbebaskan. Apalagi saat-saat semacam ini. Ketika panelis terlatihku tak bisa dihubungi dan mesti menunggu kesempatan yang datangnya tak pernah tentu. Ah, mereka jadi bukti tambahan bahwa menunggu tak pernah menyenangkan.

        Cepat pulang Din. Aku punya tempat ngopi baru yang bisa kita jadikan selingan. Aku punya tumpukan rencana dan cerita yang perlu dibahas untuk menghabiskan isi cangkir di atas meja. Juga siap mendengar hari-hari salju atau guguran daun milikmu. Aku ingin menghabiskan waktu di Jember dengan baik. Di kotamu ini, tentu saja sudah tak lagi hitungan tahun buatku. hehe.

Semoga 15 hari terakhirmu disana menyenangkan ya Din. Aku mau makan siang dulu sambil menyesapi resah yang mendadak muncul di atas meja lab PB soedirman. Duh, kesehatanku.

Itadakimasu! []


Continue Reading...

Senin, 30 November 2015

Catatan Akhir November

Perempuan akan selalu di bawah laki-laki, kalau yang diurusi hanya baju dan kecantikan
-Soe Hok Gie-

      "Perempuan itu makhluk yang istimewa nduk. Harus dihormati, disayangi. Punya anak perempuan juga harus disyukuri. Tapi masih ada orang yang kalo anaknya lahir perempuan malah gak suka. Dibedakan perlakuannya antara anak perempuan dan laki-laki" kata bapak di waktu yang lalu. Entah karena obrolan semacam apa antara saya dan bapak tiba-tiba beliau membicarakan hal ini. Saya lupa. Di rumah, intensitas obrolan kami tak sebanyak seperti halnya saya dengan ibu. Yang jelas, kalimat bapak yang satu ini sanggup membuat saya merasa bahagia jadi anak perempuannya. hehe
      Akhir November 2015, saya berangkat ke Sidoarjo untuk menemui keluarga saya di kontrakan barunya mbak Lia. Bukan perjalanaan yang istimewa sebab tak sesuai rencana awal saya. Saya dan ibu menginap dari Sabtu sampai Minggu, sedang bapak dan kedua bocah bandel pulang ke Madiun. Mulai minggu pagi, ketika sore ibu berencana pulang dan saat mbak Lia dan mas ipar saya belanja, ibu menangis seharian menatap cucu pertamanya. Bayi dua bulan yang setiap hari ikut ibu momong sewaktu di rumah dan hal-hal lain yang ibu pikirkan. Entah apa. Waktu ibu pamitan, saya dengar ibu dan mbak Lia bicara penuh air mata. Aduh, saya gak tahu mesti menuliskannya semacam apa. Ini ikatan batin antara seorang ibu dan anak pertamanya yang telah tumbuh jadi seorang ibu juga. Pada kekhawatiran ibu yang meninggalkan mbk Lia mengemong anaknya di kota asing yang belum ia kenal. Kekhawatiran ibu pada cucu pertamanya yang nantinya akan di momong pengasuh sebab mbak Lia dan mas ipar bekerja. Dan banyak hal lain, yang juga ikut saya khawatirkan dan pikirkan jangka panjang. Ya Robbi. Ini tentu saja persoalan umum. Semua anak  baik laki-laki atau perempuan tentu saja suatu saat akan berpisah dengan orang tuanya. Membentuk keluarga barunya sendiri. 
     Tapi melihat ibu dan mbak Lia yang kini tumbuh jadi seorang ibu, saya baru benar-benar sadar, betapa istimewa dan tangguhnya seorang perempuan. Entah kenapa begitu repot menuliskannya. Terlalu banyak rasa yang sulit saya urai satu-satu. 
        Selain hal di atas, sewaktu di Sidoarjo saya mengutarakan sedikit kekecewaan pada ibu. Atas sebuah harapan yang begitu saya inginkan, ibu bilang diijinkan namun pada kenyataannya, di dalam hatinya paling dalam ibu gak merelakan. 
"Ibu bilang iya, tapi dalam hati rasanya gak rela. gimana terus? meskipun berdoa, tapi rasanya ibu gak sreg nduk" 
Duh, ridho Alloh ridhonya orang tua sih. Seberapapun niat dan usahanya, kalo Ibu gak ridho, pasti gak akan bisa. Saya menyesal bu, maafkan anakmu yang suka minta hal-hal nyeleneh. Maafkan anakmu yang suka bikin khawatir. Maafkan anakmu yang suka jarang kasih kabar. Saya gak akan berharap penuh lagi pada hal-hal yang nggak ibu suka atau membuatmu khawatir. 
       Ibu bilang, punya anak perempuan itu tanggung jawabnya besar. Bukan bermaksud membandingkan. Tapi, sebab anak perempuan mesti dianggap makhluk lemah, banyak kerentanan dan bahaya yang gak bisa setiap waktu diawasi. Pelecehan seksual misalnya. Alhamdulillah, sepanjang hidup saya gak pernah dan gak pingin mendapat perlakuan gak senonoh. Tapi kejadian kecil kemarin bikin saya mikir betapa jadi perempuan itu butuh kewaspadaan penuh. Waktu perjalanan pulang ke Jember dari Sidoarjo kemarin, saya duduk di samping seorang pemuda dari Bali. Kami mengobrol tentang hal-hal menarik di Bali, salah satunya tentang Trunyan, sebuah pulau mayat di Bali. Setelah asyik mengobrol, lalu saya tidur. Pemuda yang duduk di samping saya ini duduk di sebelah jendela. Saya yang tertidur cukup pulas tiba-tiba merasakan sesuatu di bahu saya. Eh.. rupanya pemuda di samping saya dengan nyamannya tidur nyender di bahu saya. Meski bukan bersandar penuh kayak orang pacaran. ihh. Tapi tentu saja bikin risih. Duh, gak berniat suudzon sih. Mungkin orang ini bener kelelahan sampai keenakan tidur. Tapi gak cuma sekali dua kali, akhirnya saya mesti duduk tegap tanpa bersandar di bangku. Kemeng cong! Bajidul bener nih orang. Dan beberapa kejadian di sepik di kereta memang sangat mengganggu. Selebihnya di luar hal-hal itu saya cinta kereta ketimbang bis.
        Hal-hal kecil begini sama perempuan juga mesti dipikirkan. Haduh perempuan, riwayatmu sejak dulu. Makanya saya pikir Quote Gie diatas, sudah semestinya dihayati dengan penuh.
       Kemarin, setelah perjalanan dari Sidoarjo, sorenya saya dan teman-teman angkatan ke Situbondo berangkat melayat ke rumah teman. Di perjalanan berangkat, kami mengiyup di depan emperan toko yang tutup. Cuma berempat, dua teman laki-laki, satu teman perempuan dan saya. Tiba-tiba seorang bocah kecil menghampiri kami. Sejak kedatangannya pertama saya merasa agak gimana gitu melihat anak ini. Dalam kondisi basah, ia berhenti ikut mengiyup dengan kami. Bocah perempuan ini melihat kami. Tanpa sadar, saya melihatnya dari kaki hingga kepala. 
        Maaf, kata-kata selanjutnya agak vulgar. Saya heran, bocah ini punya bentuk dada yang sudah membentuk tapi dia tak mengenakan minimal miniset dan bajunya menerawang. Oh, di desa ini mungkin biasa saja pikir saya. Saya ditegur seorang kawan saya yang laki-laki karena melihat bocah ini sedemikian rupa. Gak sopan katanya. Baiklah, saya menyesal. Karena sungguh tanpa sadar memperhatikannya dengan begitu heran. Lalu kawan saya yang pria itu berbincang dengan bocah perempuan ini. dari obrolan mereka, saya tahu anak ini masih SD kelas tiga. Cara bicaranya ceplas-ceplos dan dari pertanyaan yang ia lontarkan sangat polos. Sesekali ia menengok ke jalan dan menyapa seorang pria paruh baya yang lewat dan ikut melambai ke arahnya. hal selanjutnya, terjadi percakapan dengan kami berempat.
"mas ini pacare mbaknya ya?" ia menunjuk saya. Kemudian tanpa menunggu jawaban, ia melirik teman saya yang lain, yang punya perawakan tinggi dan mancung.
"Mas yang ini pacarku nih. Ganteng, hidungnya mancung" 
Bahkan kata teman perempuan saya, ia sempat mendengar bocah ini mengatakan i love you. Yak ampun bocah. kegenitan bocah ini mulai menajdi-jadi. ia pegang tangan teman-teman saya yang laki-laki
"mas minta uang" katanya kemudian. Disini saya baru ngeh. Tapi kami gak menggubrisnya. Beberapa kali ia mengatakannya, meminta uang tapi kami cuma menggelenng. Saya makin heran sama anak ini ketika ia tiba-tiba (duh maaf) memegangi s*s*nya sendiri. Saya masih berusaha berpikir jernih. ah, masih bocah mungkin efek basah, bajunya membuat gatal. Lah, bocah ini semakin menjadi, mengeluarkan isinya satu dan memperlihatkannya pada kami. Secara reflek kami melihat arah yang lain. Astaghfirulloh bocah. Selanjutnya, ia berjalan ke arah teman saya yang laki-laki dan mencium tangannya. 
"Ini ajalah pacarku" katanya. teman saya itu kaget dan reflek mencabut tangannya yang dicium. Bocah perempuan itu meminta uang lagi, tak kami gubris lagi. Kemudian kawan-kawan saya yang lain datang, dan ia pergi. 
      ya Robb. Bocah sekecil itu, saya gak sanggup menahan lebih lama. Mata sudah berkaca-kaca dan kebingungan menahannya. Detik itu saya bersyukur untuk banyak hal yang saya punya. Bersyukur telah tumbuh menjadi seorang perempuan dalam lingkaran keluarga ini. Ada yang saya sesali, mungkin sama seperti ibu yang sampai sekarang masih menangis karena ingat cucunya. Saya telat mengeluarkan isi dompet untuk sekedar  membiarkan ia beli permen. Ketika uang di tangan dan motor saya melaju, ia telah masuk jauh dalam gang. Maafkan Tuhan, saya selalu saja bergerak lambat untuk hal-hal yang semestinya. Terlalu banyak mikir dan berakhir dengan penyesalan panjang. Kini cuma berharap, suatu hari saya bisa bertemu lagi dengannya. Untuk sekedar tahu ceritanya atau hal-hal lain yang lebih baik.
      Dek, kamu masih terlalu kecil untuk melakukan hal-hal rusak semacam itu. jangan dilakukan lagi dek. Sana main boneka sama temanmu. Atau sekali-kali main kelereng sama teman laki-lakimu. Tapi mereka jangan kamu goda. Mungkin saja mereka gak paham sama kelakuan genitmu. Juga gak punya uang receh untuk njajani kamu. Tumbuhlah jadi perempuan yang tangguh, anggun dan baik hati. Mbak mau nangis dulu, karena gak bisa mengucapkan itu untukmu. Duh Gusti... []


*tulisan ini bisa saya sunting suatu waktu untuk hal-hal yang dirasa tidak tepat
Continue Reading...

Kamis, 26 November 2015

syukasyuka

Butuh niat, sejumput nyali dan takdir yang berkehendak. Mari menempuh trotoar mencari kitab kenangan. 

         Niat sudah berkumpul. Nyali perlu diperkuat lagi untuk melawan rasa takut yang nyempil. ihh. Soal takdir, ehm dia juga belum bilang kepastiannya bagaimana. Yang pasti, jika rencana ini berhasil akan jadi perjalanan panjang sendirian paling menarik sepanjang umur 21 ini. 22 kan baru mulai :p Semua sudah saya rencanakan setengah matang. Kalo terlalu matang, nanti gagal saya jadi yang kerepotan. 
         Sebut saja perjalanan refleksi. Untuk memikirkan ulang apa yang sebenarnya saya inginkan. Itu juga kalo Tuhan mengijinkan. Saya sedang bosan akut. Ngajak ngopi kamu juga malah begitu. Baiklah, saya tahu kamu gak peduli. Jadi yasudahlah. 
         Entah bakal bertemu apa. siapa. Entah setelah ini akan berpikir apa. Dalam perjalanan selalu ada hal-hal tak tertebak yang kadang mengesankan kadang juga biasa-biasa saja. Saya cuma khawatir satu sih, sebab tubuh saya kecil orang-orang di perjalanan selalu menganggap saya anak sekolahan yang sedang ditelantarkan orang tuanya berangkat sendirian. Sumpah, anggapan ini mengganggu sekali. Menurunkan rasa percaya diri jehh. Betewe, jadi ingat mamas keren yang pernah ngopeni saya selama di bis. Mamas entah yang mendadak muncul bak superhero. Kayaknya saya lupa bilang terimakasih ya selain senyum saya dari jauh waktu si mamas mendadak turun. Beh... pokoknya sedikit cemas banyak bingungnya.Terimakasih Ya Robb sudah turunkan malaikat waktu itu.
        Lah, belum dilakoni kok wes nyeriwis disik. Pokoknya, suka-suka saya. Lagian ini blognya saya sih. Mau tidur lah. Ngantuk. Selamat merancang mimpi.
Continue Reading...

Senin, 23 November 2015

Stereotip

      Sebagai pembuka, saya ingin mengingat bahwa tulisan sebelum ini telah saya hapus dari wajah blog. Karena, entah mengapa membuat saya sedih sendiri mendapati diri saya yang berusaha sok tegar padahal, yah. jelas masih saja mengingat kamu.
*tariknafaspanjangbacksonglapangdada*

Oke, skip. 

pict taken by Gozalli
     Lihat boneka mungil itu? Saya tengah duduk dalam sebuah seminar hasil kawan saya ketika mendadak melihat gantungan flashdisk milik teman menggantung lucu ditangannya. Saya pinjam, dan lama saya perhatikan dengan seksama. Kemudian muncul persepsi begini, kok boneka ini saya banget. Selain lagu di atas kapal kertas milik Banda Neira, saya punya representasi baru tentang seorang saya pada boneka ini. Rasanya seperti bertemu seorang saya yang lain di depan kaca. Mendadak begitu. Terlepas dari hidungnya yang juga mungil, haha saya melihat ia begitu semaunya. Namun terlihat kaku dengan penampilan glamour yang ia kenakan. Kenapa begitu terpaksa, sayang? Lepaskan saja jika itu sangat mengganggumu. Kita tak akan pernah bisa terlihat baik di mata semua orang, jadi berusaha setulusnya saja untuk terlihat baik di mata Tuhan. Aman. Jika disuruh pilih miniatur boneka yang menggambarkan diri sendiri, saya merasa bukan barbie. Saya hanyalah boneka kecil yang begitu adanya. Ah, sulit menjelaskan, lebih enak makan sosis depan kedai kampus.
      Saya sedikit miris pada pandangan orang belakangan. Seringkali memandang seseorang secara personal dari stereotip yang ia miliki. Padahal gak selalu begitu dalam beberapa aspek. Semisalnya saja, seorang kawan saya pernah cerita bahwa temannya yang easy going itu rupanya salah satu anggota organisasi islam yang saya kategorikan garis keras. Gak menyangka saja. Saya pernah berkenalan dengannya, dan ia tak terlihat fanatik dari luar. Ramah dan tak memberi sekat klasik "laki kiri, perempuan kanan". Menarik. 
       Pun, akhir-akhir ini sebuah organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia tengah mendapat cacian disana-sini. Saya punya banyak kawan dekat yang dulu satu kontrakan dengan saya tergabung dalam organisasi besar tersebut. Ya, saya tahu hubungan pertemanan kami ketika itu seperti dibatasi sekat tak terlihat. Dekat tapi berbatas. Semacam itulah.  Sebabnya, karena saya berada dalam organisasi yang begitu menjunjung tinggi independensi dan tak suka pada manusia-manusia berkepentingan kelompok. Kami, semacam dua kubu yang bertentangan. Meski dasarnya dalam lubuk hati saya paling dalam, tak pernah secara personal membawa hal itu dalam hubungan pertemanan kami. Namun pernah juga berpikiran sangat kecewa akibat sikap-sikap mereka yang begitu golonganable. Tapi saya pikir lagi sekarang, mungkin saja saya terlalu didoktrinasi stereotip yang mereka punya sepertinya. Mereka orang-orang yang baik pada saya. 
      Jadi, begitulah. Pikiran kita rupanya mudah sekali terdoktrinasi ya pada stereotip yang dimiliki seseorang. Saya kira ini gak adil untuknya. Diluar kepentingan politik dari kelompok dan hal-hal politik yang dia bawa lo ya. Saya polos soal itu. Saya cuma membicarakan hal-hal personal dalam hubungan sosial pertemanan. 
      Saya jadi ingat peristiwa sadis tahun 1965-1966. Pembantaian jutaan jiwa manusia yang dianggap komunis di masa orde baru. Peristiwa yang terlahir dari stereotip yang dibentuk pemimpinnya. Para perempuan yang dianggap gerwani dilucuti satu persatu pakaiannya kemudian diperkosa dengan begitu keji  dan sangat tak manusiawi. Saya suka cengeng tiap kali membaca artikel soal penyiksaan dan pemerkosaan gerwani, atau ketika pertama kali melihat film The Act of killing dan Senyap. Cerita bagaimana para penjagal itu membunuhi orang-orang yang dianggap PKI dengan sangat sadis. Sangat miris dan ketika ingat film itu, saya langsung bertanya pada bapak ketika pulang. Apa kakek saya seorang penjagal PKI? Saya begitu lega ketika bapak menjawab tidak memiliki hubungan apapun dengan itu. Saya takut menanggung rasa bersalah ketika mendengar jawaban iya. Saya membayangkan peristiwa ketika itu begitu perih. Saya merasa tanggal lahir saya begitu salah, dikenang sebagai kekejaman PKI. Hiks, wong saya itu orange gampang nangis kok dianggep kejam. Emoh aku. 
       Stereotip. Kata-kata ini entah kenapa begitu menggelitik buat saya. Seseorang bisa membenci teman karena streotip golongan yang ia punya. Bisa jadi, sikapnya sedikit banyak dipengaruhi cara pikir dalam golongannnya. Tapi terlepas dari itu, kawan-kawan saya masih asik. Kami tak pernah membahas apapun soal organisasi masing-masing. Hingga saat ini, kami cukup nyaman dengan hubungan pertemanan ini. 
      Sama halnya dengan sekelompok perempuan yang suka bergosip. Misalnya, salah satu dari mereka bermasalah dengan perempuan lain diluar mereka. Kemudian ia menceritakan perihal masalahnya pada kelompok kemudian mereka bergunjing, munculah banyak pandangan, banyak gosip tentang perempuan lain itu. Semua anggota dalam kelompok akhirnya membenci satu orang itu yang tadinya cuma bermasalah sama satu orang dalam kelompok. Solidaritas tinggi mamen.  Bahkan jika gosip tadi menyebar ke seluruh penjuru dan si pendengar tak bisa memilah dengan baik dan menelan mentah-mentah berita yang ia dapat, mampus sudah satu perempuan yang bermasalah tadi. Ia punya "label" baru. Jahat sekali ya. 
      Katanya mau hidup damai dalam keberagaman. Wong menerima perbedaan pilihan orang lain saja ndak bisa, gimana mau tentram. Masak semua orang disuruh punya pikiran yang sama kayak kita. Haha. Metaok yan
       Jangan dikira saya suci, gak pernah bergosip. Halah, itu makanan perempuan kebanyakan. haha. Duh dek. Padahal kadang kalo lagi genah, saya suka mikir bergosip itu perilaku jahat yang merugikan orang. Ya karena itu tadi, lewat bergunjing kita jadi ikutan gak suka sama keburukan yang orang lain perbuat. Suka lupa bercermin boroknya diri sendiri. 
      Maka itu perlunya menyaring informasi. Jika orang tersebut tak pernah berlaku buruk padamu, ngapain ikut membenci? Toh nggak pernah menyaksikan sendiri atau melakukan perbuatan buruknya pada kita. Jangan mudah terdoktrinasi. Apalagi gosip murahan. Duh, kesehatanmu lo. 
      Sebagai penutup, itu cuma saran klasik yang sebenarnya juga banyak dipikirkan orang lain namun masih saja sering dilupakan. Saya cuma mengingatkan barangkali lupa dan juga menjelaskan bahwa saya bukan manusia baik hati suci berseri sepanjang hari yang gak suka bergosip. Duh, jangan sampai terdoktrinasi oleh tulisan saya ini. haha. Tulisan ini saja hasil peraduan pikir untuk menyindir saya sendiri yang masih suka kemakan stereotip dan gosip murahan. Baiklah saya mau mandi dan berangkat menuju harapan. Mau nitip salam dulu sama cahaya pagi yang mulai terang, untuk tuan rembulan penuh disana. 

Selamat pagi, sam. Saya rindu kamu. Kamu iya nggak? *penutup yang gak nyambung* []
Continue Reading...

Senin, 16 November 2015

Usaha menghapus Rindu


Yaaannn ibu ngantuk

           Sebuah pesan tiba-tiba masuk ke hape saya kemarin malam. Pengirimnya Ibuk. Hla tumben sms. Langsung saja beliau saya telpon. Jadilah kami ngerumpi malam-malam, bercerita tentang apapun. Termasuk rahasia saya ketika beberapa waktu lalu mengangkat telepon ibu dengan nada sangat santun. *hehehe* 
            Akhir November ini ibu ulang tahun. Sepertinya saya gak pulang, atau jika bisa akan menemuinya di Surabaya saja barengan mbak Lia pindah kontrakan. Kado untuk beliau sudah datang. Antologi cermin yang di salah satu ceritanya adalah karangan saya. Pasalnya di dalam tulisan itu ada satu kalimat persembahan untuk beliau. Jadi waktu dengar tulisan saya di Antologi ada persembahannya, ibu jadi salah satu orang paling heboh yang minta segera dikirimin bukunya. Saya gak terlalu minat untuk pesan. Waktu pulang Februari lalu, ibu saya bawakan buku antologi cerpen Manifest yang ada cerpennya saya juga. Tapi yang ditanyain masih saja buku antologi cermin itu. Akhirnya setelah beberapa waktu yang lama, saya pesan juga. Entah kenapa keingat terus sama pesanan ibu. Rupanya, ruwet bin mblegedes proses pesannya. Sudah satu bulan lebih dari waktu pemesanan buku ini baru datang. Saya cuma mau kasih tunjuk satu kalimat di barisan paling bawah ke ibu. Isinya kayaknya jangan. Entar beliau malah ngomel-ngomel, karena karakter ibu yang saya gambarkan bukan beliau. haha.. nggak mungkin ngomel juga sih.
           Bu, percaya gak kalo senyummu itu candu? Saya suka lihat senyummu terus-terusan. Maafkan anakmu yang sering lalai angkat telepon karena gak dengar. Terus lupa balik telepon ketika pulsa habis. hehe. Lalu saat besoknya begitu lagi, bisa dipastikan kau mengomel saat telepon berhasil kuangkat. Maaf buukk. hihi. 
          November rain, bu. Di Jember hujan terus. Di rumah juga ya?  Sekali dua kali hujan bikin anakmu galau. Pingin pulang saja menghapus resah sambil nyium gemes si Azam. Lalu berbincang denganmu di dapur atau ruang tamu atau sesaat sebelum tidur. Hhh... kangen. 
          Bu, saya gak punya banyak kata puitis sebagai persembahan. Kata gak akan kuat menampung rasa yang saya punya  buatmu. Biar kecupan di pipi kanan kiri nanti, mewakili semuanya. Semoga November tahun ini memberimu kebahagiaan berlipat ganda, dan diikuti oleh bulan-bulan selanjutnya. Selama-lamanya. 
          Bu, anakmu mau telpon karena kangen, tapi takut menganggu istirahatmu karena sudah malam. Jadilah, tulisan ini sebuah usaha menghapus rindu. Sehat selalu ya. Mari selalu mewujudkan cita untuk terus bisa melihat kau, aku, kita semua, bahagia. Selamat malam, bu []



Waktu pertengahan November, 2015
Continue Reading...

Sabtu, 07 November 2015

Dialog kami

      Sore tadi saya gak bertemu hujan. Jendela tertutup sejak sebelum hujan turun, makanya petrichor gak cukup berkeliaran di kamar saat titik-titik air datang. Saya menikmati tidur sore tadi. Bangun dari tidur hujan sudah reda, tinggal gerimis sangat tipis yang tersisa. Karena lapar, dan entah kenapa sangat ingin, saya beranjak ganti baju untuk keluar kosan lalu berjalan sendirian menerobos titik-titik air. Mau cari makan dan berbincang dengan sisa hujan. 
       Jalanan sepi. Hanya ada beberapa motor dan satu dua orang berjalan pulang. Sebab waktu hampir maghrib dan tentu saja karena gerimis yang masih nyeriwis kecil. Saya bersyukur sih, karena lebih menikmati jalan sore tadi. Saya dan sisa hujan pun berjalan seiringan sambil berbincang. Hujan bilang, dia sedang rindu pagi. Bertemu senja yang sering disebut romantis nyatanya tak membuat ia senang, atau bisa menghilangkan rindunya pada pagi. Lalu saya sarankan padanya, datang saja besok saat mentari muncul. Terkadang saya pikir, pagi butuh ditemani karena banyak manusia masih tertidur saat ia datang. Tapi sisa hujan malah menggeleng pelan. Entahlah, saya gak paham sama air ini. Maka saya biarkan obrolan kami menggantung di langit kelabu. Kami cuma diam melanjutkan perjalanan.
      Sepulang dari warung, sisa hujan masih menanti saya di gang. Kami berjalan seiringan lagi. Giliran saya yang cerita. Kemarin malam saya bertemu seorang pria bertubuh kecil di depan Indomaret. Anak lelaki ini memanggil saya dan Cece yang baru saja keluar dari Indomaret membeli sekantong snack untuk melihat wayang. Saya berhenti Jan, mengambil snack untuknya karena saya pikir ia tengah lapar atau entahlah karena wajahnya yang terlihat lusuh dan keletihan. Tapi pemberian saya ditolak. Anak lelaki itu bilang dia menjual kaos (yang tidak saya lihat dimana kaos yang ia maksudkan). "saya butuh uang buat bayar kosan mbak. Saya jual kaos, itupun kalo mbak mau beli" katanya menambahkan. Saya terperangah mendengarnya. Selain bingung karena tak melihat satupun kaos yang dimaksud, juga karena ia yang menolak pemberian saya. 
         Saya jadi ingat film Rayya, Jan. Ada adegan ketika Rayya ditolak ketika membeli karak dengan uang lebih. Kita hanya punya kesamaan situasi. Dengan pemaknaan yang berbeda-beda tentu saja. Dalam Rayya, ada makna untuk menjunjung martabat disana. Sedangkan dalam situasi saya, mendadak sadar, saya berubah. Berubah dalam artian banyak hal. 
        Proses hidup akan terus berjalan hingga ajal. Sebab hidup tak hanya soal makan, tidur dan buang air, maka sudah semestinya sebagai manusia kita bergerak sambil menemukan makna. Supaya tak menjalaninya dengan kosong. Kata Arya dalam Rayya:

hidup itu bukan tentang apa yang kamu cari. tapi tentang apa yang kamu temukan. seluruh usia nggak akan cukup, mana sempat mau cari?

       Seringkali, saya sibuk mencari hingga lupa caranya menemukan, Jan. Saya menyesali ini. Melewatkan banyak hal hanya untuk sibuk mencari. Banyak potongan kisah mendadak muncul di kepala saya Jan. Mereka tak membuat saya sedih kok. Tenang saja. Mereka cuma hadir untuk memaafkan, lalu membiarkan saya hanyut dalam ketenangan yang tak bisa saya jelaskan. Entah ketenangan muncul karena saya lagi denganmu, atau ada hal-hal lain. Tapi saya menyukainya. Berharap mereka terus ada untuk mengingatkan saya. 
         Kemarin lusa, saya bertemu dengan seseorang Jan. Seorang pria yang begitu menyayangi, dan entah sekarang. Sudah cukup lama sejak ia menyatakan kalimatnya, lalu seringkali menghindari tatapan mata saya. Dia bilang, gelas yang retak tak mungkin kembali utuh. Dia benar Jan. Persahabatan kami sudah tak bisa utuh. Canda tawa kami pergi menuju penghabisan.
          Perubahan datang begitu cepat, manusia yang tersenyum bersamamu kemarin mampu membuat tangisan di pipimu hari ini. Sebab tak ada yang tau nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing kata Chairil.  Jadi tenanglah, Yan. Jangan panik melihat banyak perubahan bergerak di sekelilingmu. Hujan memberi saya waktu untuk terseyum. 

Terimakasih Jan, telah setia menemani dan tetap nyeriwis hingga kosan. 

         Sisa hujan kemudian berlalu sembari membawa pesan yang saya titipkan untuk seseorang. Tuan dari tahu enam, tempe dua, hongkong dua dan bulan yang indah malam itu. Meski tinggal sisa-sisa, hujan tadi masih menyimpan angin yang bisa mengabarkan pesan ke penjuru kota ini. Termasuk ke sudut hati. Kamu. 
         Ketika angin sisa hujan mengetuk pintu kamarmu, tolong maafkan. Saya menitipkan sekantong rindu dan rasa yang sulit dijelaskan. Saya sedang tak cukup kuat menikamnya sam.[]


           
Continue Reading...

Rabu, 04 November 2015

Magh dan Weekend lalu

kami manjat diatas gua pict taken by Yuni (dok.milik pribadi)


        Saya, Fika sama Alfiah berangkat ke rumah Kadita Sabtu lalu. Kami menginap dirumahnya untuk sekedar melepas kangen dan menghabiskan weekend bersama. Sore hari ketika mendadak perut saya sakit, kami berencana mengejar senja di Payangan. Sampai di perempatan Ambulu, motor yang saya dan Kadita naiki jatuh karena menginjak botol susu yang masih isi. Berkat insiden itu, akhirnya kami berempat mengurungkan niat ke Payangan dan malah berdiam di depan Indomaret, menikmati senja di situ sembari mengenang kebodohan saya waktu insiden jatuh tadi. Pasalnya helm antiknya Kadita yang saya pakai, melorot hingga menutupi mata saya. Alhasil saya gak melihat kejadian apa-apa di depan saya. Tahu-tahu, ketika saya angkat helm sudah ada mamas keren membantu meminggirkan motor kami, lalu setelah memastikan kami baik-baik saja, dia berlalu sambil pesan hati-hati. *eaaa. Sementara anak-anak masih asyik menertawakan kecengohan saya tadi, perut saya makin berontak sakitnya. Magh saya kambuh. 
       Lalu kami segera pulang. Setelah sekian lama perut saya kembali gak bisa diajak kompromi. Magh yang absurd sebab saya gak merasa telat makan atau habis makan mie atau makan pedas yang berlebihan. Kadita menyiapkan secangkir teh panas tanpa gula yang saya pesan dan baiknya, ia juga menyiapkan botol yang diisi air hangat untuk di urut di perut. Perut saya mulai membaik, malamnya kami menonton jaranan. Sejujurnya ini pertama kalinya saya lihat jaranan. hehe. Sebelum jaranan dimulai, ada aneka tari-tarian seperti gandrung. Yang menarik perhatian saya adalah seorang pria sepuh ngeremo dengan berdandan sanggul dan berkebaya seperti seorang wanita. Ia menari lama dengan gerakan pelan dan monoton. Lalu saya baru paham, ia akan turun setelah dapat saweran. Lalu naik seorang lelaki membawa selembar uang dan menggoda penari sepuh ini. Riuh sorak penonton menggoda mereka. Saya kasihan sama penari sepuh ini, mendadak loncat ingat keluarganya di rumah. Segitu besarnya perjuangan seorang ayah untuk menghidupi keluarga. Jadi beban mentalkah buatnya? Semoga sehat selalu pak penari. 
       Kami gak menonton sampai acara habis. Bahkan saya belum lihat atraksi-atraksi yang katanya sampai makan beling atau ayam mentah itu. Penasaran sih, tapi Ferdi-adiknya Kadita yang seringkali penasaran dan tanya kenapa alis saya tebal -_-, mulai ngantuk. Jadilah kami pulang duluan saat si penari jaranan mulai dirasuki roh dan menari dengan begitu mistis. Malamnya, kami bikin nasi goreng. Perempuan seringkali menghindari makan tengah malam sebab takut gendut. Tidak selalu begitu, tapi kebanyakan perempuan bisa membenarkan. haha. Kami melanggar pakem ini. Makan nasi goreng di waktu hampir tengah malam sambil cekikikan. menertawai apapun. Kebersamaan bareng mereka lagi sering saya rindukan. Jadi ingat waktu dulu masih ngontrak bareng di rumah Bu Jum. waktu saya ulang tahun, mereka bikin kejutan di tengah malam dan gak lupa sadisnya, tubuh diikat tali kemudian ditaruh dibawah pancuran dengan mnyiramkan berbagai formula gila. saya kangen! atau ketika rujakan tengah malam dengan sambal yang rasanya biadab. haha. Atau teriak barengan ketika setannya di film muncul dalam keadaan lampu kamar dimatikan dan sudah tengah malam. Cekikikan begini, bikin rindu meski formasi kami gak lengkap bersepuluh. Cuma cukup mengobati rindu.
          Esoknya, perut saya belum netral. Masih sedikit sakit meski gak separah kemarin. Kami berangkat ke rumah neneknya Kadita, sebab mau main ke air terjun dekat rumah neneknya. Saya khilaf, makan pencit :( cuma sedikit dan rupanya berefek hingga kemudian hari. Istirahat sebentar dan menaruh barang-barang kami pun lanjut ke air terjun ditemani oleh saudaranya Kadita. saya gak tahu nama air terjun ini apa. Kadita cuma bilang tentang air terjun dekat rumah neneknya. Medan jalan yang menarik diantara pepohonan jati dan cukup menyeramkan buat saya. bodohnya, karena gak tahu medan jalan yang ditempuh seekstriim itu, saya boncengan sama Fika yang punya kemampuan naik motor yang sama. Cemen. Kami berdua cuma bisa ngempet ketawa sambil mbibrik doa kenceng dalam hati. Kerennya kita sampai kok tanpa lecet ataupun insiden jatuh :D 
           Jalan sebentar, menaiki puncak sampailah kami di sumber air yang dimaksud. Lokasinya sangat sepi. Ketika kami datang, hanya ada tiga anak yang saya tebak anak-anak penduduk sekitar situ yang kemudian pulang karena kehadiran kami mungkin. Saya pikir sumber air ini bukan salah satu air terjun semacam tancak yang jadi objek tujuan wisata alam. Jadi maafkan, saya gak bisa kasih info dimana letaknya, hanya tahu didaerah Wuluhan-Ambulu. Penampakannya hanyalah air terjun kecil dengan sebuah gua di atasnya dan beberapa batu besar dengan air yang mengaliri permukannya. Tapi cukup melegakan perjalanan karena airnya yang segar. Kami berempat gak bisa menahan diri untuk naik ke gua di atas. Jadilah kami nekat memanjat. Memang mereka termasuk kawan-kawan yang patut di pertahankan. Meski kami seringkali gak sepaham. Tapi kawan-kawan yang punya kadar waras dan kenekatan yang sama selalu bisa buat kamu jadi apa adanya. Kumpul sama mereka, seringkali bikin saya yakin kalo jaga image itu basi.

berhasil memanjat gua (pict taken by Yuni)

kami berhasil (pict taken by Yuni)

bersandar pada batu besar (pict taken by Kadita)

cuma pose (pict taken by Rafika)

Y Robb maafkan, kami dilarang gaduh, tapi melanggar hehe (pict taken by Rafika)

i love it (pict taken by Rafika)

berhenti di tengah jalan. foto disini bagus (pict taken by rafika)
           Selepas terawa dan gila, kami pulang ke rumah neneknya Kadita. Tidur dulu sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Jember. Bangun-bangun perut saya tambah sakit. Kembali ke Jemberpun masih sakit. Hingga tiga hari magh saya gak kunjung sembuh. Saya baru sadar, magh saya kemarin termasuk golongan gak sederhana berdasarkan pengalaman sebelumnya. tsaah. Saya jadi kayak anak bayi yang setiap hari makan bubur,susu ditambah vitamin juga minum air putih yang banyak. 
           Mendadak akhir-akhir ini saya rentan sakit. Mungkin kebanyakn mikir skripsi kali.  *mikiropotonduk* Semalam saja, saya terbangun tengah malam dengan kondisi tubuh yang demam tapi menggigil kedinginan. Maka usaha paling membosankan yaitu makan bubur dan minum susu kayak Azam untuk jaga kondisi tubuh. Sehat itu murah nak. Sakitnya yang mahal, mending kalo dokternya kerenan. Jangan lupa jaga kesehatan dan pola makan wahai anak kosan Ingat IMR mu. Duh! []
Continue Reading...

Senin, 26 Oktober 2015

Wulan

        Saya dapat kabar sahabat SD saya meninggal hari ini. Feri Tri Wulandari, namanya. Kami sudah cukup lama tidak berkomunikasi intensif. Terakhir kali mungkin saat masih kelas 3 SMP atau awal-awal SMA. Sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Tapi kenangan bersamanya di SD dan juga SMP, meski intensitasya tak sesering waktu SD, masih melekat di ingatan saya. 
       Wulan ketika SD adalah sosok kawan yang sangat baik, sabar dan perhatian. Dia seringkali jadi bahan bullyan teman laki-laki di SD karena kulitnya yang hitam legam. Tapi dia tak pernah membalas olokan mereka atau bersedih karena itu. Hanya sekali Wulan pernah menangis, saya lupa karena apa, yang pasti karena diganggu anak laki-laki di kelas saya yang nakalnya gk karu-karuan. 
       Kami berteman karib. Dia seperti seorang kakak buat saya ketika itu, karena kepribadiannya yang hangat dan suka ngemong. Saya suka main ke rumahnya, meski gak setiap hari. Seringkali bermain lempung yang kemudian dibuat jadi alat masak-masakan lalu kami jemur hingga kering. Wulan anak yang kreatif saya pikir. Disaat teman-teman yang lain beli mainan masak-masakan, dia bikin sendiri. Makanya saya suka ke rumahnya. Karena ada saja yang dia lakukan. Pertama kali tahu cara buat mie juga bareng Wulan di rumah Nanda ketika itu. Saya ingat waktu ibu buat mie, cairannya banyak. Saya gak berpikir cairan itu air. Maka kami tuangkan minyak sebanyak mungkin untuk merebus mienya. Keren ya. hahaha. Untung saja ibunya Nanda datang lalu segera mengganti minyak dengan air. Kenangan lainya yang paling melekat adalah tentang kami berdua yang suka sekali berkirim surat untuk bercerita tentang apapun, misalnya keinginan kami untuk masuk SMP yang sama, keinginan Wulan yang ingin punya rambut panjang atau hal-hal lain yang sialnya saya lupa.
        Lulus dari SD, kami tidak berada dalam SMP yang sama.Tapi agenda bertukar surat masih jadi agenda rutin. entah bagaimana cara kami saling memberikan surat ketika itu. Kok saya lupa. Mungkin waktu dia mampir toko ibu saya, atau ketika sesekali saya main kerumahnya. Isi suratnya di SMP masih saya samar-samar saya ingat. Ia mulai bercerita mengena cinta pertamanya. Dia menyukai seorang laki-laki di sekolahnya yang tak lain sahabatnya sendiri. Atau ketika dia dicemburui oleh gadis lain. Atau dia yang cemburu karena saya sudah punya kawan-kawan baru. Kami selayaknya pacar yang suka saling cemburu kalo salah satu diantra kami main dengan kawan-kawan baru. Dikenang begini, rasanya lucu juga bagaimana lebaynya kita memperbincangkan masalah kecemburuan kita saat itu. 
         Lalu, semakin sibuknya kita di UNAS, semakin banyak teman disekitar yang silih berganti, membuat spasi panjang pada kita. Tak pernah lagi bertemu, hanya saling titip salam ketika aku bertemu ibumu atau kamu yang bertemu ibuku. Saling bertanya kabar dan posisi dimana sekarang lewat mereka. Seingatku, kita terakhir kali bertemu selulus SMA ketika kamu akan berangkat kerja di Jakarta ya? Ah.. sudahlah. Saya melewatkan banyak hal sepertinya. 
        Wulan, kita tak bisa lagi menyambung surat seperti dulu. menrima surat kertas darimu dan membacanya. surat-surat yang jumlahnya sangat banyak itu saya simpan di dompet biru. Entah kemana dompet itu sekarang. Maafkan saya Wulan. Andai saja saat itu saya bisa lebih bisa menghargai bukti sebuah kenangan. saya cuma bisa mengirim surat doa buatmu saat ini. Tenanglah disana, kawan. Tak akan ada yang mengolokmu si kulit hitam disana. Semoga semua amal ibadahmu diterima di sisiNya. Saya sayang kamu dan semua masa kecil kita yang indah. Terimakasih ya :')
Continue Reading...

Sabtu, 24 Oktober 2015

Ngelindur Pagi Bolong



Sepagi tadi ibu telpon. Beliau bilang bapak semalam gak bisa tidur, karena di daerah Saradan ada seorang mahasiswi yang dibunuh. Dalangnya seorang wanita juga kata ibu, dan beliau bikin praduga kalo kemungkinan motif pembunuhan karena rebutan pacar. Ah, sudah gak kaget ya. Namanya juga jaman edan. Tapi bukan ini poinnya. Poinnya adalah bapak gak bisa tidur karena kepikiran kondisi saya disini. Mendadak bapak mau main ke Jember lihat kondisi tempat saya menuntut ilmu.Beliau  ampai gak bisa tidur. Ah bapak...
Saya ingat betapa bahagianya momen pertama kali diantar bapak ke Jember. Dari kami berempat  yang diterima di kampus ini, Cuma saya yang diantarkan bapak daftar ulang. Bapak gak pernah bilang alasannya mau ikut mengantar, padahal jelas saya ada teman yang-teman yang juga berangkat sendirian. Di Jember, bapak Ikut mengantar mengantri sampai seharian. Hari itu, sangat melelahkan akibat ngantri dari pagi sampai magrib. Saya Cuma sarapan dan belum makan. Selesainya daftar ulang, bapak sudah di berada di halaman UMC yang saat itu jadi tempat periksa kesehatan. Setelahnya kami pulang. Waktu saya bilang lapar, bapak bilang bapak juga belum makan karena ingat saya pasti belum makan juga. Ah bapak...  
Pulangnya, seingat saya bapak sedikit demam. Mungkin akibat faktor usia sehingga mendapati perjalanan jauh membuat ketahanan tubunya berkurang. Mungkin saja . Meski saya tahu bapak orang yang kuat.  Ingatan ini yang buat saya gak tega kalo bapak mesti menengok jauh-jauh kemari. Saya Cuma diam mendengarkan kabar ibu. Saya bilang, bapak nggak usah kemari nanti bapak kecapekan. Tapi sudahlah, saya tau bapak. Keresahannya gak akan pudar sampai beliau selesai memastikan. Ah Bapak, putrimu  baik-baik saja. Masih manis dan berjuang menyelesaikan skripsi. Berita di Saradan itu, jangan mengecoh ketrentamanmu. Saya baik saja-saja pak.
Saya seringkali egois belakangan ini. Saya lupa lihat ke bawah, dan terus memaksakan kehendak seenaknya. Maafkan Tuhan. Saya sering rancu dalam memilah hal-hal yang baik atau buruk. Selanjutnya saya bingung, hidup yang benar itu seperti apa Tuhan? Anggap saja saya bertanya dari sisi perempuan. Kenapa pikiran saya mbulet njelimet ya? Gak bisa buat perencanaan yang istimewa. Misalnya kawan-kawan saya sekarang ini, disamping  sibuk garap skripsi dan memikirkan jodoh kemudian setelah lulus ingin bekerja lalu menikah. Atau seperti mantan yang ingin segera menyelesaikan kuliah selanjutnya pergi ke luar Jawa dan bekerja disana. Sedangkan saya entahlah mau kemana. Rasanya ingin sekali melakukan pencarian meaning of life di tanah antah berantah, lalu entah menemui ajal atau kebosanan akut atau sungguhan bertemu arti hidup. Saya nggak tahu kenapa kepikiran ikut program yang katanya setiap tahun ada saja korbannya. Entah tenggelam karena tidak bisa berenang atau hal lain. Serem? Iya lah. Siapa yang gak takut ketemu resiko nyawa melayang apalagi manusia kecil, cengeng, baperan dan banyak nimbun dosa kayak saya.
Seiring waktu berjaan, niat ini timbul tenggelam dalam hati dan pikiran. Misalnya kalo sedang garap skripsi, saya gak fokus yang lainnya kecuali barang membosankan ini segera selesai. Hahaha. Tapi saingannya banyak lo. Kok mahasiswa di kota-kota besar itu tertarik ya mengabdi di pedalaman? Lantas kenapa di universitas saya ini, gak ada woro-woro program ini sama sekali? Ah, biar rumput yang goyang-goyang itu menjawab.
Selanjutnya, rencana saya sama. Bekerja dan menciptakan keluarga sendiri. Dengan bekal yang saya punya, lalu menciptakan keluarga sederhana yang romantis, bahagia, sentosa sampai akhir hayat. Biar kami,  hidup yang sebenarnya hidup.  Biar hidup saling cinta dan menghargai. Begitulah. Sama saja seperti mimpi-mimpi yang lainnya.
Alasan lain kenapa ingin pergi ke antah berantah, karena saya ingin memuaskan dahaga masa muda. Kayaknya saya kurang  piknik deh. Gak pernah lihat ke bawah, sehingga seringkali kurang bersyukur. Suka mengeluhkan hidup yang gini-gini aja. Ya Robb, hambamu ini gini-gini terus. Maafkan terus ya Robb.
Selanjutnya, ketika ada yang bertanya apa kamu yakin? Nyali saya langsung saa ciyut. Hanya karena pertanyaan sebaris saja sudah begitu, gimana mau menghadapi tantangan di antah berantah? Saya sering menertawai diri sendiri. Kayaknya saya kegedean mimpi, padahal badannya kecil. Mana kuat mikul? Semua rencana akan tetap jadi wacana jika tidak ada skenario Tuhan yang dirancang segaris dengan apa yang kamu mimpikan. Maka saya nggarap skripsi saja sekarang. Sambil sesekali ngikuti mode anak muda yang suka nongki dan ngerumpi. Kalo muak, saya diam di kosan dan merenung. Hidup gitu-gitu aja sih. Nothing special. Coba pinter kayak Dina, mungkin sekarang saya sedang cari warung ngopi bareng dia di Jepang. Hai Dina, sudahkah ketemu warung kopi? Saya rindu pikiran cerdasmu. Hehehehe.
Saya manusia yang kuno sekali. Suka canggung di tempat elite dan sering merasa risih ngikuti mode sekarang karena bukan saya banget. Jadi sebenarnya, kalo ada yang bilang perempuan itu ribet, dia harus lihat dulu manusianya. Yang bikin ribet itu mode, karena wanita ingin cantik sesempurna mungkin. Nggak salah kok. Kodratnya wanita pingin selalu tampil cantik. Tapi saya salut sama perempuan yang suka tampil apa adanya. Gak pedulikan bedak atau baju cantik. Be natural dan cuek. Kok berani, di jaman yang sekarang ini banyak artis dadakan muncul di IG atau sosmed-sosmed lain. Lalu suka takjub lihat lelaki yang melihat wanita apa adanya begitu. Ah, betapa beruntungnya mereka ketika memiliki  satu sama lain.
Lah, cuapan saya jadi nggeladrah kemana-mana. Oh iya, mau saya tanyakan lagi. Ya Robbku sayang, jadi apakah perencanaan hidup ruwet saya dibenarkan? Saya seringkali menyalahkan idealisme ini. sering menyalahkan mimpi. biasabiasa saja lah jadi manusia. Mengikuti alur Tuhan kemana Dia arahkan. Sederhana saja. Gak usah dipikir ruwet. Tapi, ehmm. Sebenarnya saya gak berpikir ruwet-ruwet amat sih untuk rencana ini. Biasa saja. Diijinkan Alhamdulillah, nggak diijinkan pun saya punya pilihan lain yang pasti. Bekerja misalnya.  Karena terkadang, hidup ini suka terbolak-balik. Manusia yang punya perncanaan hidup sederhana saja, malah punya liku kehidupan yang luar biasa asyik. Sedangkan yang punya rencana ini itu mentok-mentoknya malah punya alur yang standar saja. Jadi begitulah. Kata Thole, hidup saja disaat ini. nggak perlu memikirkan kembali masa lalu atau masa depan. Ehm, kadang saya mau tanya sama dia. Apa itu artinya, dilarang bikin perencanaan hidup atau pasang-pasang target? Ah, biar Tuhan, Thole dan udara di sekitar yang tahu.
Terpenting, ingat empat  falsafah jawa ini. Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo getunan, ojo aleman. Maknanya dalem. Artinya cari sendiri di google ya. Udah panjang tulisannya. Saya malas jelaskan. Hahaha.
Oh iya, Bapak, panjenengan sampun ngertos kulo bade tumut program niku to? InsyaAlloh lo pak. Namanya wacana pak. Siapa tahu putrimu ini seiring berjalnnya waktu makin kehilangan nyali lalu bablas hilang, jadi sekedar mimpi sesaat. Yang jadi pertanyaan Dian satu, kalo seandainya nanti Dian jadi ikut lalu ditempatkan di Papua, bapak gak kepikiran untuk menengok kesana juga kan? Hehhe. Kecup jauh buatmu, pak. Sehat selalu.
Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author