Jejak

Jejak

Rabu, 08 Juli 2015

Epong



“Gilak, kita mau makan jam segini? Gilak” Epong histeris melihat jarum jam yang masih menunjuk pukul 03.00 dini hari. Sedang kami cekikikan tiap kali mendengar ceracaunya yang menyebut gila  untuk kesekian kali.  Kami maklum, pastinya ini kali pertama bagi Epong yang keturunan Tionghoa  kristiani ikut makan sahur. Tapi masih saja terasa lucu, karena ini juga kali pertama kami makan sahur dengan yang non muslim.
Wes, ayo ikut makan aja Pong. Kita takut makanananya basi kalo besok pagi. Kan kita bawa dari rumah sejak siang. Gak ada kompor buat angetin makanan” Ijah menetralkan suasana diikuti anggukan Epong yang matanya masih kriyip-kriyip.
Kamipun makan dalam perbincangan yang seru. Seputar rencana kami selama menjalani magang satu bulan setengah di daerah perkebunan Banyuwangi, yang terpencil ini. Terutama mengenai tempat pesan makan untuk sahur dan buka puasa yang membuat kami cemas. Di daerah perkebunan, seringkali jarang ditemui adanya penjual makanan nasi lauk pauk karena penduduknya yang bekerja di pabrik atau kebun. Umumnya hanya ada penjual bakso dan rujak lontong, jumlahnya pun bisa dihitung dengan lima jari. Kondisi ini yang membuat kami berempat berembug serius demi keberlangsungan hidup selama 45 hari kedepan.   ini beneran serius.
Maka catering makanan di warung rujak milik mbak Lia jadi pilihan kami. Setiap harinya kami pesan menu yang berbeda-beda untuk sahur dan buka puasa. Jaraknya yang cukup jauh dari tempat kami tinggal, mengharuskan kami untuk bersepeda ke warung mbak Lia mengambil kudapan buka juga sahur. Epong tidak lagi ikut sahur. Kami kasihan padanya dan tidak ingin memaksakan tradisi sahur kami pada dirinya yang tidak terbiasa bangun terlalu dini. Niat kami mulia. Tapi setiap kali alarm waktu sahur berbunyi, seringkali tak ada yang bangun. Justru Epong yang mematikan alarm dan membangunkan kami sahur. 
Alarm bernada kokok ayam remiks milikku, seringkali jadi bahan kekesalan mereka, karena suaranya yang memang kurang ajar. Kamar kami berempat dibagi menjadi dua, dan seringkali membuat Epong atau Cece yang sekamar, menggebuk-gebuk tembok untuk membangunkan aku mematikan alarm. Tapi rupanya kupingku betulan bebal.
“Yem, alarmmu bunyi itu. ndang bangun, ayok ambil makan sahur!” Epong tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatku sembari ngomel. Iya, bahkan yang seringkali ngambil makan sahur selalu Epong dan satu teman lainnya. Menyusuri jalan yang gelap dan udara perkebunan yang begitu dingin membuat siapa saja malas untuk keluar. Apalagi bersepeda motor dengan mata yang sayup-sayup karena masih mengantuk. Alasan ini membuat kami seringkali saling tunjuk.
Setelah ambil makan sahur, kami makan dan Epong kembali tidur. Seperti biasanya, bagian makanan milik Epong disisihkan untuk ia sarapan. Selalu dimakan dalam kamar dengan pintu yang ditutup. Baru di hari pertama melihat kami berpuasa, ia kasihan. Sungguh anak yang baik di awal-awal. Namun di hari-hari selanjutnya pintu kamar semakin terbuka. Bahkan Epong sudah terbiasa makan di depan kami dengan muka jahilnya yang parah.
“A.. a.. Amm. Enak. wakakakaka” Suara tawa Epong membahana di ruang tengah tempat kumpul kami berempat. Satu persatu jeruk di masukannya dalam mulut sembari tertawa. Kami Cuma bisa geleng-geleng sembari menahan tawa melihat tingkahnya. Sudah terlalu besar untuk merengek karena diiming-imingi jajan saat puasa. Tujuan puasa kan untuk menahan nafsu, dan guyonan semacam ini terlihat sangat lucu. Alih-alih mengiming-imingi, justru kami merasa terhibur dengan tingkah konyolnya di waktu kosong begini.
Esoknya, mbak Lia izin untuk libur masak karena mesti ke rumah saudaranya. Maka untuk sahur kami berencana untuk memasak mie menggunakan magic com yang kami bawa dari rumah untuk menanak nasi. Kami tidur lebih awal, agar bisa bangun lebih dini untuk mempersiapkan sahur. Tapi rupanya, kokok ayam remix telah beradaptasi di telinga kami. Tak ada lagi suara gebukan tembok untuk membangunkan aku mematikan alarm. Tapi pada akhirnya, alarmku mati juga. Beberapa menit selanjutnya, suara Epong terdengar membangunkan aku, Ijah dan Cece untuk sahur. Kami bertiga tersentak kaget dan segera memeriksa jam. Jarum jam sudah mendekati waktu imsyak. Kami bergegas turun dari kasur untuk segera memasak mie. Baru saja keluar dari kamar, kami melihat pemandangan mengharukan. Sudah ada sepiring mie goreng dalam porsi banyak yang mengepul di meja tengah. Kami bertiga bengong dan bersamaan menatap Epong yang sudah kembali tidur di kasurnya. Si Cina ini betul-betul so sweet. Maka kami segera menyantap mie yang sudah disiapkan Epong untuk sahur sebelum Imsyak. Paginya, ia dihujani ucapan terimakasih dan ciuman selamat pagi untuk kelakuannya yang so sweet.  Betapa keragaman diantara kami terasa begitu indah di Ramadhan ini, terlebih karena adanya si Cina di antara kami.
Tak terasa, waktu magang selama di bulan Ramadhan sudah habis. Maka sebelum pulang ke rumah untuk merayakan lebaran, kami berpamitan dengan semua mandor dan sinder di tempat kami magang ini. Pak Busidin, seorang mandor pabrik karet yang begitu kami sayangi salah satunya. Kami berpamitan paling lama sembari bercerita ngalor ngidul perihal waktu pensiunnya yang semakin dekat juga perihal kehidupan kami selama jadi mahasiswa di kampus. Kami mendapat banyak sekali wejangan yang membuat haru.
“Bapakmu kerja apa ndug?” tiba-tiba pak Busidin bertanya padaku.
“Buka warung di rumah pak”
“Kalo bapaknya Cece?”
“Kerja di perkebunan pak”
“Kamu Jah?”
“Buka usaha temanten pak”
“Kalo Epong?”
Epong kulihat sudah menunduk sangat dalam.  Kami bertiga saling lirik takjub, melihat tingkah Epong yang tak biasa.
“Sudah gak ada pak” suaranya bergetar. Dan ketika mengangkat kepala, ada air yang mengalir dari matanya. Kami sudah tahu tentang papa mama Epong yang sudah lama tiada. Tapi, melihatnya menangis ketika ditanyai begini, aku baru melihatnya. Maka kami segera tanggap mendekat dan merangkulnya.
“Oh, maaf pong. Maafkan bapak” suara pak Busidin gelagapan, mungkin kaget juga melihat Epong yang seringkali ceria tiba-tiba menangis. Beliau segera mengelus pundak Epong. Epong meneruskan tangisnya lebih deras.
“Gak papa pak” suara Epong terdengar sangat lirih. Mendadak keharuan muncul diantara kami. Tak menyangka Epong yang seringkali tertawa jahil tiba-tiba menangis sesedih ini. Air mataku ikut turun, kembali mengingat Epong yang seringkali hidup sendirian di rumah besarnya setelah kepergian mama dan papanya. Aku gak bisa bayangkan bagaimana rasanya hidup sendiri.
“Bapak gak bermaksud jelek. Maafkan kalo menyinggung. Yang mau bapak katakan adalah hargai usaha keras orang tua kalian untuk membiayai kuliah. Jadi anak yang baik dan berbakti untuk keluarga. Epong juga harus sering doakan papa dan mamanya di surga ya” Epong menyeka air matanya sembari mengangguk. Senyumnya mengembang seketika. Mendadak aku ingin segera pulang bertemu bapak dan ibu.
Waktu hari itu cepat sekali berlalu. Kami harus bergegas pulang, agar tidak kemalaman sampai rumah masing-masing. Di pertigaan jalan, setelah jalan perkebunan yang berbatuan habis, kami berempat berpisah. Tinggal seatap dengan mereka membuatku belajar untuk menghargai setiap perbedaan dan bersyukur atas apa yang aku miliki. Terutama dari Epong, gadis Tionghoa yang tak pernah mengeluhkan hidup yang dia punya, bahkan ia selalu punya alasan untuk tertawa dan mengasihi. Terimakasih Pong, kamu terbaik! []




Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author