“Gilak, kita mau makan jam
segini? Gilak” Epong histeris melihat jarum jam yang masih menunjuk pukul 03.00
dini hari. Sedang kami cekikikan tiap kali mendengar ceracaunya yang menyebut
gila untuk kesekian kali. Kami maklum, pastinya ini kali pertama bagi
Epong yang keturunan Tionghoa kristiani
ikut makan sahur. Tapi masih saja terasa lucu, karena ini juga kali pertama kami
makan sahur dengan yang non muslim.
“Wes, ayo ikut makan aja Pong. Kita takut makanananya basi kalo
besok pagi. Kan kita bawa dari rumah sejak siang. Gak ada kompor buat angetin
makanan” Ijah menetralkan suasana diikuti anggukan Epong yang matanya masih kriyip-kriyip.
Kamipun makan
dalam perbincangan yang seru. Seputar rencana kami selama menjalani magang satu
bulan setengah di daerah perkebunan Banyuwangi, yang terpencil ini. Terutama
mengenai tempat pesan makan untuk sahur dan buka puasa yang membuat kami cemas.
Di daerah perkebunan, seringkali jarang ditemui adanya penjual makanan nasi
lauk pauk karena penduduknya yang bekerja di pabrik atau kebun. Umumnya hanya
ada penjual bakso dan rujak lontong, jumlahnya pun bisa dihitung dengan lima
jari. Kondisi ini yang membuat kami berempat berembug serius demi
keberlangsungan hidup selama 45 hari kedepan.
ini beneran serius.
Maka catering
makanan di warung rujak milik mbak Lia jadi pilihan kami. Setiap harinya kami
pesan menu yang berbeda-beda untuk sahur dan buka puasa. Jaraknya yang cukup
jauh dari tempat kami tinggal, mengharuskan kami untuk bersepeda ke warung mbak
Lia mengambil kudapan buka juga sahur. Epong tidak lagi ikut sahur. Kami
kasihan padanya dan tidak ingin memaksakan tradisi sahur kami pada dirinya yang
tidak terbiasa bangun terlalu dini. Niat kami mulia. Tapi setiap kali alarm
waktu sahur berbunyi, seringkali tak ada yang bangun. Justru Epong yang
mematikan alarm dan membangunkan kami sahur.
Alarm bernada
kokok ayam remiks milikku, seringkali jadi bahan kekesalan mereka, karena
suaranya yang memang kurang ajar. Kamar kami berempat dibagi menjadi dua, dan
seringkali membuat Epong atau Cece yang sekamar, menggebuk-gebuk tembok untuk
membangunkan aku mematikan alarm. Tapi rupanya kupingku betulan bebal.
“Yem, alarmmu
bunyi itu. ndang bangun, ayok ambil makan sahur!” Epong tiba-tiba saja sudah
berdiri di dekatku sembari ngomel. Iya, bahkan yang seringkali ngambil makan
sahur selalu Epong dan satu teman lainnya. Menyusuri jalan yang gelap dan udara
perkebunan yang begitu dingin membuat siapa saja malas untuk keluar. Apalagi
bersepeda motor dengan mata yang sayup-sayup karena masih mengantuk. Alasan ini
membuat kami seringkali saling tunjuk.
Setelah ambil
makan sahur, kami makan dan Epong kembali tidur. Seperti biasanya, bagian
makanan milik Epong disisihkan untuk ia sarapan. Selalu dimakan dalam kamar
dengan pintu yang ditutup. Baru di hari pertama melihat kami berpuasa, ia
kasihan. Sungguh anak yang baik di awal-awal. Namun di hari-hari selanjutnya
pintu kamar semakin terbuka. Bahkan Epong sudah terbiasa makan di depan kami
dengan muka jahilnya yang parah.
“A.. a.. Amm.
Enak. wakakakaka” Suara tawa Epong membahana di ruang tengah tempat kumpul kami
berempat. Satu persatu jeruk di masukannya dalam mulut sembari tertawa. Kami
Cuma bisa geleng-geleng sembari menahan tawa melihat tingkahnya. Sudah terlalu
besar untuk merengek karena diiming-imingi jajan saat puasa. Tujuan puasa kan
untuk menahan nafsu, dan guyonan semacam ini terlihat sangat lucu. Alih-alih
mengiming-imingi, justru kami merasa terhibur dengan tingkah konyolnya di waktu
kosong begini.
Esoknya, mbak
Lia izin untuk libur masak karena mesti ke rumah saudaranya. Maka untuk sahur
kami berencana untuk memasak mie menggunakan magic com yang kami bawa dari rumah untuk menanak nasi. Kami tidur lebih awal, agar bisa
bangun lebih dini untuk mempersiapkan sahur. Tapi rupanya, kokok ayam remix
telah beradaptasi di telinga kami. Tak ada lagi suara gebukan tembok untuk
membangunkan aku mematikan alarm. Tapi pada akhirnya, alarmku mati juga.
Beberapa menit selanjutnya, suara Epong terdengar membangunkan aku, Ijah dan
Cece untuk sahur. Kami bertiga tersentak kaget dan segera memeriksa jam. Jarum
jam sudah mendekati waktu imsyak. Kami bergegas turun dari kasur untuk segera
memasak mie. Baru saja keluar dari kamar, kami melihat pemandangan mengharukan.
Sudah ada sepiring mie goreng dalam porsi banyak yang mengepul di meja tengah.
Kami bertiga bengong dan bersamaan menatap Epong yang sudah kembali tidur di kasurnya.
Si Cina ini betul-betul so sweet.
Maka kami segera menyantap mie yang sudah disiapkan Epong untuk sahur sebelum
Imsyak. Paginya, ia dihujani ucapan terimakasih dan ciuman selamat pagi untuk
kelakuannya yang so sweet. Betapa keragaman diantara kami terasa begitu
indah di Ramadhan ini, terlebih karena adanya si Cina di antara kami.
Tak terasa,
waktu magang selama di bulan Ramadhan sudah habis. Maka sebelum pulang ke rumah
untuk merayakan lebaran, kami berpamitan dengan semua mandor dan sinder di
tempat kami magang ini. Pak Busidin, seorang mandor pabrik karet yang begitu
kami sayangi salah satunya. Kami berpamitan paling lama sembari bercerita
ngalor ngidul perihal waktu pensiunnya yang semakin dekat juga perihal
kehidupan kami selama jadi mahasiswa di kampus. Kami mendapat banyak sekali
wejangan yang membuat haru.
“Bapakmu kerja apa ndug?”
tiba-tiba pak Busidin bertanya padaku.
“Buka warung di rumah pak”
“Kalo bapaknya Cece?”
“Kerja di perkebunan pak”
“Kamu Jah?”
“Buka usaha temanten pak”
“Kalo Epong?”
Epong kulihat sudah menunduk
sangat dalam. Kami bertiga saling lirik
takjub, melihat tingkah Epong yang tak biasa.
“Sudah gak ada pak” suaranya
bergetar. Dan ketika mengangkat kepala, ada air yang mengalir dari matanya.
Kami sudah tahu tentang papa mama Epong yang sudah lama tiada. Tapi, melihatnya
menangis ketika ditanyai begini, aku baru melihatnya. Maka kami segera tanggap
mendekat dan merangkulnya.
“Oh, maaf pong. Maafkan bapak”
suara pak Busidin gelagapan, mungkin kaget juga melihat Epong yang seringkali
ceria tiba-tiba menangis. Beliau segera mengelus pundak Epong. Epong meneruskan
tangisnya lebih deras.
“Gak papa pak” suara Epong
terdengar sangat lirih. Mendadak keharuan muncul diantara kami. Tak menyangka
Epong yang seringkali tertawa jahil tiba-tiba menangis sesedih ini. Air mataku
ikut turun, kembali mengingat Epong yang seringkali hidup sendirian di rumah
besarnya setelah kepergian mama dan papanya. Aku gak bisa bayangkan bagaimana
rasanya hidup sendiri.
“Bapak gak bermaksud jelek.
Maafkan kalo menyinggung. Yang mau bapak katakan adalah hargai usaha keras
orang tua kalian untuk membiayai kuliah. Jadi anak yang baik dan berbakti untuk
keluarga. Epong juga harus sering doakan papa dan mamanya di surga ya” Epong
menyeka air matanya sembari mengangguk. Senyumnya mengembang seketika. Mendadak
aku ingin segera pulang bertemu bapak dan ibu.
Waktu hari itu
cepat sekali berlalu. Kami harus bergegas pulang, agar tidak kemalaman sampai
rumah masing-masing. Di pertigaan jalan, setelah jalan perkebunan yang
berbatuan habis, kami berempat berpisah. Tinggal seatap dengan mereka membuatku
belajar untuk menghargai setiap perbedaan dan bersyukur atas apa yang aku
miliki. Terutama dari Epong, gadis Tionghoa yang tak pernah mengeluhkan hidup
yang dia punya, bahkan ia selalu punya alasan untuk tertawa dan mengasihi. Terimakasih
Pong, kamu terbaik! []