Jejak

Jejak

Senin, 05 Desember 2016

SWAG


Gelap itu ada. Sepi itu nyata.
Kau tak punya lilin kah Nay? Sini kupinjamkan buat kau. Tak usah berperan seolah kau sedang terluka begitu.
Aku memang lagi luka. Kau tak lihat sayatannya?
Nggak. Aku cuma lihat kau sedang tersenyum manis sekali di tiap sudut ruang.
Itu cuma pencitraan. Seperti katakata yang bisa jadi ditulis dengan indah, penulis cuma berusaha menghidupkan karya. Kau jangan banyak percaya.
Lantas apa yg mesti aku percaya?
Sini. Duduk saja denganku. Jangan bertanya pada lainnya. Cukup denganku, dan kau bisa baca apa yang ada dan tak ada.
Aku mau.
Aku juga.
Nay, apa di tiap pertemuan harus ada perpisahan?
Bisa jadi, ya.
Apa harus berucap salam?
Mungkin tidak perlu.
Apa lantas ketulusan bisa hilang?
Tidak ke. Tapi aplikasi ketulusn ga pernah bisa murni sebab akan selalu ada yang bikin keruh. Tergantung kamu.
Aku ga ngerti.
Masalahmu itu.
Nay, aku suka dekat kamu.
Jangan. Nanti aku geer.
Kenapa begitu?
Perempuan gampang bikin geer. Ramah dibilang suka. Senyumnya saja bisa dianggep caper. Kamu ga mau gitu kan?
Jadi perempuan melelahkan Nay.
Iya kali. Makanya, ga usah jadi perempuan.
Batasannya banyak.
Iya. Tapi kamu mesti kuat.
Aku mau tetep jadi perempuan.
Okelah. Terserah kamu.
Nay, aku pergi ya?
Kemana?
Ke tempat kamu yang utuh.
Iya. Sini.
Oke. See you, Nay. At the right place.
Continue Reading...

Sabtu, 03 Desember 2016

Pilihan


        Ku dengar, manusia yang bisa menghargai kebahagiaan adalah ia yang pernah merasakan sakit. Bukankah semua manusia pernah merasakan sakit dari benturan-benturan dalam hidup? Sakit dan tangis adalah syarat kita mengingat diri sebagai manusia. Lalu rupanya hanya beberapa yang sanggup belajar dari kesedihan dan menghargai bahagia dengan sebaik-baiknya. Menjadi dewasa dan menentukan pilihan-pilihan yang menyertainya tak pernah punya ruang wisuda hingga liang lahat menyambut. Kemudian kita kebingungan menentukan pilihan yang baik untuk dijalani. Lebih baik tidak memilih sebab terlihat tak memiliki konsekuensi apapun. Kata Leila. Tapi seperti katamu Leila, memilih adalah jalan hidup yang berani.
      Jika dewasa selalu punya penawaran pada pilihan-pilihan yang sulit, pantaslah Tuhan selalu dilibatkan dalam setiap penentuan. Kita perlu menjaga kewarasan dan tetap tenang di tengah dunia nyata ataupun maya yang semakin kacau. Hidup tak pernah melulu semanis potret dalam sosmed kan? Kebencian saat ini sanggup ditebar dengan lebih mudah hanya sebab tafsir masing-masing atau perkara yang diyakini sendirian. Menjadi diri sendiri bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti meski dunia beralih jauh lebih bising dari sebelumnya. Sebab pada kenyataannya jalan hidup akan melulu begitu, dihinggapi sakit dan tangis. Segalanya perlu disiapkan dengan benar sebelum dilindas chaos yang sebenar-benarnya.
        Maka, ketika pada akhirnya aku perlu menjadi satu manusia denganmu dalam menghadapi dunia, biarlah kita berjalan dengan damai meski tak sebising kisah lainnya. Sederhana saja. Saling menjadi telinga tanpa mesti perlu berpura-pura. Menjadi kuat untuk bertahan dalam situasi sakit dan airmata. Aku masih berjuang menjadi aku yang akan selalu disampingmu suatu hari. Masih saja menjadi manusia yang tak akan pernah bisa sempurna dan bisa seringkali menoreh luka buatmu. Tapi aku tahu pada akhirnya kita perlu mengerti makna saling pada apapun, sebab komitmen akan membuat dunia kita terjaga selamanya. Aku yakin kau lebih paham akan hal itu. Selamat berkembang dan menemukan banyak hal. Semoga Tuhan tak keberatan mempertemukan kita dalam waktu dan ruang yang sebaik-baiknya. Di hari itu tiba, semoga kita telah tuntas dengan masa lalu masing-masing. []
Continue Reading...

Kamis, 03 November 2016

Dengar Nay

Nay, kau tahu kan?
Suatu hari mungkin aku akan menyesali banyak hal.
Suatu hari mungkin aku cuma bisa mengenang
Sebuah kota yang di dalamnya sesak oleh kenangan
Nay, kau sedang apa?
Maaf aku belum bisa menemuimu.
ada yang begitu beku dan layu.
Nay ini bukan puisi. Ini cuma, entahlah. Kau bisa menyebut apapun tentang ini.
Nay. tadi aku bertemu manusia yang pernah kulukai hatinya tanpa bermaksud
Nay, Nay?
Kau dengar aku?
Baiklah. Aku mau tidur saja. 
Continue Reading...

manjah

        Nay, maghku kambuh. Ini sakit sekali. Sangat sakit sampai-sampai rasanya aku mau menangis, tapi malu Nay. Aku pernah merasa sakit sekali sama seperti ini, dua tahun yang lalu. Waktu itu karena acara pelantikan yang berjalan dua hari diisi makan mie instan, besoknya waktu pulang aku magh parah. Ini juga sakit Nay. Aku habis makan mangga kecut tadi pagi di kosnya Bening. Aku lupa kalo semalam maghku kambuh karena kebanyakan makan pedas. Lebih tepat ngelupa sih, Nay. Aku gak bisa nolak mangga yang dengan baik hati mempersilahkan tubuhnya untuk dinikmati. Lalu, siangnya dia marah padaku. Ia, perut manja ini berulah lebih garang dari biasanya. Membuatku menggeliat kesakitan. Lalu ibu telpon. Ku kira benar ia punya ikatan batin denganku, lalu mau marah-marah kalo tahu ini. Ternyata beliau cuma tanya tentang kereta.
        Nay, aku bandel dan memang masih saja berego tinggi. Aku mau tidur tapi gak bisa tidur. Nay, aku bingung. Aku selalu mau menangis tapi tak bisa menangis. Sedang merasa bodoh dan lemah. Nay, jadi dimana posisi manusia berhati jembar yang  bisa kupercaya dan berbagi segala dengannya? Apa itu kau, Nay? []

Continue Reading...

Rabu, 02 November 2016

Sin

      Simbah sakit bu. Kata Mbak Esti, dokter mendiagnosa jantungnya bengkak dan akan sulit disembuhkan sebab faktor usia pula. Ibu tak tahu ya? Mereka bilang, jangan kabarkan ini dulu ke ibu. Takut kepikiran, padahal anaknya yang telat lulus ini mau diwisuda. Lalu, aku juga diminta untuk tak mengabarimu lebih dulu. 
      Bu beberapa waktu yang lalu, waktu aku sedang menonton tv bersama bapak, layar kaca itu memperlihatkan potongan cerita tentang orang tua dan anaknya. Aku lupa itu cerita tentang apa dan aku lupa saat itu bicara apa ke bapak, yang kuingat hanya perkataan bapak kemudian. Dia minta aku bersyukur sebab masih punya orang tua yang lengkap, yang masih sehat. Dia juga mengakui perasaannya sebagai yatim piatu, lalu bola matanya berkaca-kaca. Iya. Bapak yang baru sekali dalam seumur hidup kulihat menangis, itupun ketika lebaran beberapa tahun lalu, bahkan bapak tak menangis ketika ibunya meninggal atau aku saja yang tak tahu. Hari itu, kulihat lagi matanya berkacakaca. Mungkin ia sedang berusaha kuat menahan bulir air di depanku. Aku cuma bisa tersenyum dan lirih mengucap iya untuknya. Besoknya bu, kutemui tulisan bertanggal di balik pintu warung. Nama kedua orang tua bapak berikut tanggal wafatnya. 
       Waktu wisuda sudah dekat bu. Aku sudah memberimu kebanggaan apa? apa wisudaku cukup membuatmu bahagia? Kurasa tidak. Kau bilang, merasa biasa-biasa saja menyambut wisudaku sebab sudah pernah merasai wisudanya mbak Lia. Iya. Kau juga tentu tahu bahwa wisuda tak menjamin anakmu ini menjadi manusia yang luar biasa. Dia hanyalah seremoni pembebasan dari skripsi yang kala itu membuatku banyak menangis. Hanya itu yang bisa kubanggakan mungkin atau tak ada satupun alasan yang layak kusebut. Kini, dia justru jadi simbol keegoisanku padamu. Hanya berkat seremoni yang menghabiskan waktu kau harus menunda untuk menjenguk ibumu yang sakit, satu-satunya orangtua milikmu. Maaf ya bu. Aku tak bisa berbuat banyak selain menahan diri. Entahlah, apa wisuda memang spesial buatku. Tapi aku mau, kau di dekatku. 
       Bu, ini bulan lahirmu. Semoga kau senantiasa berbahagia dengan belahan jiwa dan anak-anakmu ini. Terimakasih untuk banyak kesabaran dan kekuatan selalu bertahan. Semoga simbah masih punya banyak waktu. Semoga aku punya banyak kebahagiaan buatmu. []

Continue Reading...

Jumat, 28 Oktober 2016

Pingin ditulis

         Satu minggu yang nggladrah . Berangkat ke Sidoarjo hari Senin malam dengan tujuan menuju briefing magang dan cari buku di Book Fair Surabaya. Selasanya, berangkat ke Big Bad Wolf tapi hasilnya nihil. Sampai di tujuan, hujan sangat deras sudah mengucapkan selamat datang. Sa mesti ngiyup dari seberang Jatim Fair tempat acara tersebut berlangsung selama satu jam. Betenya lagi, gak ada yang menarik hati dari sekian puluhan juta buku yang dipamerkan disana. Sorenya beranjak ke Surabaya dengan kawan, dan dengan bodohnya menyadari kalo lupa bawa helm di kota besar. Kami nekat menembus belantara motor dan beberapa polisi di pinggiran. Jantung yang juga gak karuan sebab si Mahdaningrum yang gak punya SIM. Salah satu keberuntungan warbiyasa yang pernah sa rasai. Sampai di lokasi yang direncanakan untuk magang, rupanya tempatnya gak sesuai dan gak meyakinkan sama sekali. Akhirnya sa melepaskan kesempatan itu di waktu magrib dengan latar langit yang sudah gelap. Kami berbalik pulang mencari tempat makan yang punya wifi sebab perlu test online di jam yang sudah mepet. Makan disambi garap soal yang berkali-kali diloncati karena kehabisan waktu.  Sa pulang lagi ke Sidoarjo. Lalu nomer 3 mati, semua kontak hilang termasuk nomernya ibu dan ATM yang rupanya keblokir. 
          Dapat bbm jadwal glasi resik dan yudisium fix di hari Jumat. Rasanya percuma berangkat jauh-jauh ke kota ini dan gak mendapatkan apapun. Ngabisin duit aja, lagi kere juga. Akhirnya mesti balik lagi ke Jember naik kereta dan terpaksa mendengar perbincangan SARA dua manusia di bangku samping. Rupanya komen-komenan menjijikan di sosmed mengenai isu SARA benar-benar ada di dunia nyata. Sa kira itu cuma komputer yang disetting sedemikian rupa. Bahh, kuping sa panas sungguhan. Kamisnya mengikuti gladi resik yang molor gak karuan, dicueki kawan yang entah punya salah apa sa ini. Jumatnya, gak bisa telpon ibu sebelum yudisium sudah bikin uring-uringan seharian. Semua penjual pulsa di muka bumi kayak bikin kongsi untuk tak mendukung sa di hari ini. Kemudian dengan baju putih yang rupanya sedikit kebesaran dan pantofel yang pinjam sebab segalanya kelupaan, berangkat yudisium adalah keniscayaan di pagi hari ini. Lalu pulsa baru masuk di detikdetik sudah dipanggil masuk ruangan. Sa sms ibu. Lalu hape dimatikan. Menunggu segalanya dimulai. Iya, hari ini. Segala titik kesialan akhirnya bertemu di puncaknya. Ini semacam adegan ending dalam film fantasi. Ketika segala agen kesialan di minggu ini berjalan, memutar, merayap melewati jalan-jalan dari tiap penjuru kota dan berkumpul di titik pusaran black hole yang tiba-tiba saja membuka di tengah perhelatan yudisium. Mereka, seluruhnya masuk ke dalam lubang. Lalu dengan sebuah simbol pelepasan jas almamater yang rupanya media kunci, pintu black hole menutup dan meraup segala yang benar-benar menyebalkan selama-lamanya. Selamat melepaskan diri dari dunia maya, begitulah katanya dan decit suara pintu yang tak biasa menutup dengan sempurna. Lega. 
           Tapi, rupanya sisa-sisa kesialan masih tertinggal di lorong meja bekas kosan. Mungkin sebab pintu black hole yang terlalu cepat menutup? Aneh kan. Biasanya dalam film-film itu, segala roh jahat yang tersedot, bakal masuk dengan sempurna tanpa terkecuali. Tapi di hidup sa kok masih punya sisa-sisanya. Oh, rupanya sa masih ngantuk. Magh yang menyerang hari ini bikin halusinasi yang gak bisa dibendung. Sa rindu. Tapi ia cuma bagian dari sisa-sisa yang ikut tertinggal di lorong meja. Dan tahukah apa yang paling benar? Iya, ini hanyalah persiapan menyambut tamu bulanan yang datang. Hati-hati. []
Continue Reading...

Sabtu, 22 Oktober 2016

Koentji

"Kamu boleh jadi apapun. Kemanapun" 
Semacam dengungan kepercayaan di telinga waktu mendengar jawaban ibu. Sebelumnya saya iseng-iseng tanya ke beliau, ingin anaknya ini kerja apa, boleh kerja dimana dan dengan yakinnya beliau menjawab kalimat itu. 
"Tapi kalo kamu jadi wartawan, ibu kurang sreg" Saya cuma diam mendengar ucapannya, lalu ibu meneruskan alasan jawabannya yang tanpa perlu saya tanyakan. Beliau punya beberapa kekhawatiran. Entahlah apa yang sebenar-benarnya ada dalam benaknya itu. Sebelumnya, ibu pernah menantang saya jadi wartawan. Itu dulu. Tapi seiring waktu bergulir, jawabannya berubah lagi. Saya nggak bisa berdebat banyak dengannya. Sebab belum pernah tau juga kondisi seperti apa yang sebanar-benarnya bakal ditemui seorang wartawan yang sesungguhnya. Dan gak ingin juga berdebat banyak dengannya, sebab seringkali tiap saya keukeuh dengan pilihan saya yang tak ia suka sesuatu pasti terjadi. 
         Trauma paling membekas terjadi waktu saya masih SD. Saat itu, hari Jumat tengah hari. Saya berencana main barbie di rumah teman yang rumahnya mesti melewati empang. Saya dan dua orang kawan melewati jalan empang yang rupanya saat itu entah sedang dilakukan apa,  mungkin sedang pembersihan lumpur dari dalam empang yang kemudian dibuang di pinggirannya (ngawur), sehingga tanahnya bisa serupa lumpur yang mampu menghisap tubuh kecil kami. Sungguh itu momen paling membekas seumur hidup. Semacam ada tangan dari dalam tanah yang mampu menarik tubuh kami masuk ke dalam tanah, sandal-sandal yang gak bisa diangkat oleh kaki dan malah tertinggal dalam lumpur. Kami panik, dan secara brutal menangis dan berteriak-teriak histeris sedang lumpur terus menyedot makin dalam. Untungnya, ada dua orang dewasa yang saat itu sedang berjaga di sekitaran empang. Kami tertolong hari itu, lalu gak jadi menyebrang empang dan berbalik pulang. Sampai di rumah, dengan jantung yang masih berdebar gak karuan, saya berbicara dengan nada berbisik di samping ibu. menceritakan apa yang saya alami tadi yang pungkasnya beliau jawab dengan nada gusar "Dibilangin suruh tidur siang. Jangan main. Kalo Ibu gak ridho, Alloh juga gak ridho" Setelah itu, saya cukup kapok. 
        Tapi dewasa ini, banyak bukti kembali saya rasakan lagi. Waktu itu pernah mendaftar mau ikut penjelajahan ke Papua selama satu minggu. Segala macam pengorbanan sa kira sudah cukup dilakukan, segalanya terasa sudah di depan mata. Tiap ada orang papua lewat, rasanya pingin saya sapa tapi malu. hehehe. Tapi rupanya, persetujuan ibu yang bilang iya-iya aja di telinga saya, gak sesuai dengan apa yang di hatinya. Dan benar apa yang saya tebak, sebenar-benarnya Ibu gak pernah meridhoi niat itu. Yasudahlah gak akan bisa didebat. Makanya tiap ibu lagi marah, saya takut bantah. Omongannya itu semacam bertuah. Huhu...
         Sekarang sa sudah lulus. Hampir wisuda deng tepatnya. Mau jadi apa ya? Kan bingung. Dasar mahasiswa abal-abal saya ini. Katanya Sam si penulis Catatan Akhir Kuliah di blognya, lulusan yang baik itu bukan yang cepat lulusnya, tapi yang tahu habis lulus mau kemana. Duh kakak, saya mah tahu dong habis lulus pinginnya kemana. 

Nikah! *senyum pepsodent*. Tapi sayang, jodohnya belum ketemu. Ugh, bang toyib.  

Yasudah, kerja dulu aja adek bang meski belum tau dimana. Pinginnya di luar kota, biar mengenal daerah, manusia dan budaya barunya. Pinginnya. Tapi pasrah saja sih. Wong Alloh selalu bikin rencana hidup yang Maha misterius kok. Hanya saja, ada sesuatu yang seringkali bikin melo.

Sebagai anak rantau kadang saya suka mikir, kapan lagi setelah ini ada waktu panjang hidup sebagai bagian dari keluarga di rumah. Yang setiap harinya tau rutinitas bapak, ibu dan dedeque. Melihat senyum mereka setiap hari, dimarahi, makan tanpa bayar, dan rutinitas lainnya yang orang lain anggap biasa-biasa saja. Lima tahun hidup di Jember, baru kemarin 2 bulan benar-benar tinggal di rumah dan rasanya seperti mengenal lagi masing-masing manusia yang hidup dalam rumah itu. Habis ini kerja. Kalo nanti bisa dapat kerja di luar kota, sa akan ngekos lagi. Ibu bilang, orang tua memang harus selalu ikhlas melepas anaknya. Semacam kalimat pasrah yang tulusnya gak main-main. Tingkatan cinta yang warbiyasah bisa kau lihat pada mereka.
          Hidup memang mesti berjalan.. Buat mereka juga sa mau berjuang. Tapi ya semacam jodoh kan, kerja juga punya waktu dan momentumnya sendiri. 

"The right person,

the right moment,
and the right way."


Bersabar adalah koentji. Selamat bejuang dan menemukan apa-apa yang terbaik dalam hidup.  []



Continue Reading...

Sabtu, 10 September 2016

Under Blue



Aku curiga sesuatu yang aneh telah terperangkap dalam tubuhku. Ia bertubuh kecil, punya sayap dan menyusup lewat pori-pori kulitku yang makin lama terlihat jadi membesar. Atau jangan-jangan sebenarnya aku adalah bagian dari mereka yang bukan manusia atau memang benar yang dituduhkan ibu dan dokter bodoh itu bahwa aku mengidap mental disorder. Ah, sulit dipercaya. Semua keanehan dalam hidupku ini bermula ketika aku menemani Tristan bermain dengan crayonnya. Anak dari Mbak Lina, bocah penderita autis yang memiliki kemampuan imajinasi luar biasa cerdasnya. Aku mengagumi cara Tristan membuat bentuk-bentuk kartun yang terkadang abstrak dan selesai menjadi gambar yang menarik. Sudah kubilang imajinasinya liar. Seperti saat itu, tiba-tiba Tristan menarik ujung bajuku dan menunjukkan retakan tembok rumahnya yang bergaris-garis dengan semburat. 
“Ini pegasus, mbak” jari mungil Tristan berjalan mengikuti alur membentuk pegasus seperti dalam benak pikirnya. Entah sebab imajiku yang sudah lapuk dimakan angka-angka, problema dan ego yang semrawut sehingga aku tak mampu mengikuti jalur imaji Tristan. Kepalaku cuma bisa mengangguk untuk pura-pura mengerti.
“Yang ini bentuknya kayak pohon bunga sakura.  Bunganya jatuh”
“Ohh”
“Yang ini gajah”
“Belalainya mana?”
“Ini” dengan mantap Tristan menunjuk retakan berkelok yang kuamini benar sebagai bentuk belalai. Menemukan satu bentuk imaji yang sama dengan Tristan, membuatku bersemangat juga menemukan bentuk-bentuk lainnya dari retakan tembok itu. Beberapa menit selanjutnya kami sibuk dengan imaji masing-masing, dengan susah payah pun akhirnya bisa kutemukan sebentuk wajah dalam retakan tembok. Kemudian entah kenapa satu gambar yang kutemukan tadi sanggup membayangi di tiap waktu hingga Mbak Lina telah datang, lalu aku pulang, tidur dan sosok itupun ikut masuk dalam tidurku. Tepatnya masuk dalam mimpi, atau aku yang telah masuk dalam dunia lain. Entahlah.
Dalam mimpi itu, mimpi anehku yang pertama, atau dalam dunia lain yang entahlah, aku memperhatikannya dari jarak yang sangat dekat sebenarnya. Sekitar jarak baca normal atau sekitar 30 cm dari tempat ia berdiri memetik portulaca. Tapi ia tak menyadari keberadaanku. Tubuhku terjepit diantara ilalang berwarna biru mengkilat yang tinggi menjulang bak rerumpunan bambu. Sosok wajah itu milik bayi mungil yang punya bulu mata luar biasa lentik dengan iris mata berwarna biru bening dan bibir mungilnya yang merah merekah.  Dia masih bayi seumur Neina mungkin, sekitar 2 atau 3 minggu, tapi mampu berdiri sigap dengan sayap kecil yang mengepak di sisi kanan kiri tubuhnya. Gila. Belum lagi aku bisa mengidentifikasi manusiakah atau makhluk jenis lainnya yang ada di depanku ini, sesuatu yang sangat besar bergerak di atasku. Gerakannya lamban serupa pesawat yang baru landing di bandara. Dengan kadar takut yang makin tinggi, kalut dan rasa penasaran yang tak habis-habis kudongakkan kepalaku melihat langit. Seekor bison (yang punya sayap!) terbang melintas di atas kepalaku. Macam surealisme dalam video klip Up & Up Coldplay! Bedanya, aku yakin sanggup menyentuhnya secara nyata jika saja ia terbang agak rendah. Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi  saat itu. Sekuatnya kucubit pipi dan kedua lenganku, berharap ini cuma mimpi konyol dan akan hilang perlahan bahkan lupa selama-lamanya setelah bangun dari tidur. Tapi cubitanku sungguh terasa sakit dan herannya aku masih berada diantara ilalang biru dan seorang (atau seekor) bayi yang masih mengusik liukan portulaca yang berkilauan. Chaos. Aku tak tahu tengah berada di belahan bumi atau galaxi yang mana. Bagaimana caraku sampai di tempat itu. Yang kuingat sebelumnya, aku hanya sedang tertidur di di kasur beludruku setelah menemai Tristan bermain lalu tercebur dalam air gelembung semacam soda dan jatuh diantara ilallang-ilalang warna biru itu.
Kemudian segalanya mendadak sirna semacam bekas ingatan liburan semester ketika ada seseorang yang menepuk bahuku.  Rasanya seperti tersedot dalam mesin penyedot debu dan aku telah kembali lagi di atas kasur beludru. Ibuku yang telah membangunkanku dari mimpi Maha absurd dan mendapati tubuhku berkeringat dan bernapas dengan susah payah.
Tak hanya sekali dua kali mimpi itu muncul seperti nyata kualami. Dan kemudian bukan juga kutemui dalam mimpi, tapi masuk dalam dunia nyataku. Mereka memperlihatkan sosoknya secara frontal dan gilanya Cuma aku yang bisa melihatnya! Tidak ibu, tidak dokter bodoh yang selalu meyakinkan ibu bahwa aku telah mengalami halusinasi parah akibat mental disorder yang kuidap. Awalnya aku hampir percaya bahwa yang kualami ini memang sebab penyakit mental yang tak tersembuhkan mungkin. Tapi di suatu hari, ketika keluarga besar kami tengah makan bersama termasuk juga Tristan keponakanku, sosok bayi mungil beriris mata biru itu muncul dari balik meja. Ia tersenyum ke padaku dan selanjutnya pecah menjadi partikel-partikel kecil yang berterbangan ke arahku. Makanku bertambah lahap, aku mulai takut pada diriku sendiri. Tapi tetap berusaha menyimpan rapi segala yang kulihat di sekelilingku atau aku akan dicap gila oleh keluarga besar. Selanjutnya ketika semua piring telah tandas tak bersisa dan diangkut menuju dapur untuk dicuci, orang-orang telah beranjak menuju ruang tivi ataupun halaman, menyisakan aku dan Tristan yang masih mematung di tempat duduk masing-masing. Kami saling bertatapan dan Tristan tersenyum.
“Aku lihat apa yang kamu lihat mbak”
“Ah?”
“Aku juga lihat dia pecah jadi partikel-partikel kecil lalu masuk dalam tubuhmu melalui pori-pori kulit”
Aku diam mematung. Belum juga selesai takjub dengan apa yang kulihat tadi, cara bicara Tristan yang menjadi normal pun ikut membuatku bertambah frustasi memikirkannya.
“Mbak gak percaya tadi Tristan lihat Vregi juga?”
“Tristan, Vregi itu apa?”
“Iya yang tadi masuk ke tubuh mbak itu, namanya Vregi. Dia makan banyak ya mbak”
Aku bergidik ngeri. Sepertinya aku sedang berhalusinasi parah dan perlu dibangunkan dengan segera sebelum muncul bison terbang lagi atau hal-hal yang membuatku lebih gila dari ini.
---- bersambung----

Continue Reading...

Sabtu, 06 Agustus 2016

Boleh Main

        Katanya di peringatan antariksa hari ini, langit malam bakal terlihat cantik ditaburi miliaran bintang pada pukul 20.00-21.00. Saya yang sedang menemui kebuntuan nginstall wordpress di hosting jadi bersemangat naik ke lantai tiga, dan sialnya cuma menemui kegelapan dan tak ada bintang satupun. -_-  Akhirnya sa mesti balik lagi ke kamar, menemui hostinger, menjajal log in cpanel dan gagal lagi. 
       Ah. Kotak baru yang saya inginkan belum jadi. Nama domainnya belum bisa berubah sebab terkendala login cpanel dan penggunaan template yang masih seadanya. hehe. Tapi kamu boleh berkunjung untuk sekedar mengintip pembangunannya. Silahkan mampir  ke bolehmain.wordpress.com. Maaf ya lantainya masih kotor, belum dicat baru, dan belum punya perkakas yang bisa menunjang keperluan rumah tangganya. Makanya, kamu boleh meninggalkan kritik, saran atau sekedar bercuap di kotak main saya yang baru itu. 
       Sa lagi kecanduan ngulik blog. Porsinya mungkin hampir sama kayak rindu yang seringkali hadir. Untuk bintang-bintang yang saat ini entah sedang mengindahkan malamnya siapa, hadir juga ke lantai tiga kosan saya dong. Atau muncul dari balik jendela kamar juga lebih baik. Sa mau nitip rindu sebentar []
Continue Reading...

Sabtu, 23 Juli 2016

Still

(Masa kecil Mbak Lia, Mas Saipil dan saya. Di tahun 1994 sepertinya. Saat mulai berjalan jadi sebuah perayaan. ) 
        Sedang senja saat saya dan seorang kawan memutuskan beranjak menuju kereta makan. Kami pesan dua gelas teh hangat sebagai teman menyepi di sudut bangku yang punya meja dan dekat dengan jendela. Tak ada banyak pembicaraan sepanjang kereta berjalan, sebab kami tengah  menikmati senja yang terlalu nyaman untuk ditinggal. Selanjutnya kereta sudah berhenti di stasiun entah sedang kami belum memutuskan kembali ke tempat duduk sebenarnya. Saat itu, di luar kaca jendela terlihat seorang pria tengah memainkan layang-layangnya. Semacam bahan bakar ingatan, kami berdua jadi banyak bicara perkara kenangan.
“Dari kecil aku pingin bisa main layang-layang. Tapi sampai sekarang gak pernah bisa”
“Aku juga gak bisa. Sepupuku bisa bikin layang-layang cuma dari kresek hitam, trus diterbangin tinggi banget yan. Waktu layangannya jebol, dia gak nangis. Enteng aja dia bilang bisa bikin lebih banyak layang-layang” kawan saya yang bakal jadi teman sekamar kos itu menimpali.
“Enak ya. Waktu kecil perkara terbesar cuma matematika”
“Sama PR”
“Sama Bu Lilik”
Kami tersenyum. Lalu mengenang lagi banyak cerita saat masih SMA, lalu SMP dan tak pernah sekalipun berbicara tentang permasalahan yang sempat memberi jarak pada kami. Mungkin saja kami berdua tengah menjajal jadi dua manusia dewasa yang saling pengertian. Sebab tak baik juga untuk telinga demi membicarakan hal sepat yang telah berakhir di masa alay kami, meskipun cuma untuk dikenang.
                Masa peralihan rupanya butuh banyak pengertian untuk bertahan.  Dewasa mungkin saja adalah sandiwara dan kumpulan rasa sakitnya sebab diharuskan  mengerti pada hal-hal yang bising. Lau mesti bicara sendiri sebab pada satu waktu tak bisa dipahami telinga yang lain. Definisi yang gak menarik sama sekali. Jika saja semua anak kecil tau, mungkin tak akan ada yang ingin bertumbuh. Seperti kata Bapak saat mengantar saya ke stasiun sebelum ini. Apapun masalah yang dihadapi, selesaikan sendiri. Lakoni dengan sabar. Sepanjang hidup baru kali ini saya dengar nasihat bapak yang satu ini. Mungkin saja bapak sedang bikin seremoni paling sunyi untuk melepas putrinya menuju “awal”.  Saya bisa mengerti ucapan bapak yang juga bertumbuh selayaknya laki-laki lainnya, suka menyimpan sedihnya sendiri.  Tapi putrimu ini gak yakin sanggup menyimpan ceritanya sendiri, pak. Perempuan seringkali ingin mengekspresikan apa-apa yang dirasa dan kesulitan tanpa berbagi. Dewasa juga butuh prosesnya. Biar suatu hari, akan ada kekasih yang membuat anakmu percaya dan bertumbuh dewasa dengannya.
                Tiga minggu di rumah rasanya cukup untuk memutuskan. Mengingat beberapa tahun belakangan, rasanya saya gak pernah selama itu berada di rumah. Tuhan tunjukkan banyak hal tanpa perlu saya tanyakan. Objek yang sama, di mata saya dulu dan saat ini pun jadi terlihat berbeda. Ada pilinan kusut dalam otak yang merumuskan segala hal menjadi tak biasa. Ah... dewasa kok rumit ya, dek. Tiga minggu saya jadi banyak tahu dan tidak tahu. Ketika balik lagi ke Jember, saya dapat banyak kabar baru. Salah satunya ketika seorang sahabat yang seringkali punya waktu berdua menggalaukan perihal apapun di dunia ini, berujar lirih di depan saya. Ia memutuskan yakin akan menikah, meyakini jodoh dan rencana hidupnya. Saya bahagia tentu saja, bercampur haru mengenang apa-apa yang pernah kami bagi berdua dan sedikit cemburu. Akhirnya kamu sudah menemukannya. 
                Ia telah meyakini apa-apa yang menjadi inginnya. Sedang saya justru mulai limbung dan bergerak pasrah pada apa yang Tuhan ketahui. Belum berani untuk percaya pada hal-hal yang mengambang, sebab belajar dari perjalanan skripsi yang terlalu berharap dan seringkali berakhir sesal. Dan begitu heran ketika seseorang pernah berucap pada saya, “Aku yakin sekali kamu jodohku”. Ah, kok bisa bicara seyakin itu.
                Dewasa punya banyak pilihan hidup dan menuntut kita memutuskan. Tapi kita masih boleh banyak tertawa, bercanda dan bermain meski bukan lagi anak kecil. Terlalu serius mungkin saja membuat dunia jadi tua dan lihat saja banyak piranti make up yang merangkap bocah sekolah dalam tampilan dewasa yang belum waktunya. Banyak bocah yang jadi sotoy dan merasa lebih tua dalam memperlakukan sekitarnya. Kasihan, dia lupa cara untuk bercanda dan lupa bahwa belajar masih saja perihal menyenangkan. Menjadi bodoh bukanlah hina, dek.
                Di rumah, Ilham sering banyak tanya sama saya. Jam 16.00 itu berapa, kata yang terbaca di tivi itu artinya apa, kenapa ini begini, kenapa itu begitu. Jadi bukan hanya Ilham yang belajar, saya juga ikut belajar pada kata-kata yang umumnya seringkali saya dengar tapi gak pernah berusaha saya cerna. Saya belajar menjelaskan dengan cara paling sederhana agar bocah kelas dua itu paham apa yang saya katakan. Ilham diam mendengarkan ketika paham, dan bisa berubah tengil ketika apa yang saya jelaskan terlalu rumit dan gak bisa ia cerna. Jadi bisa bayangkan betapa sulitnya ibu saya dulu ketika mencoba jawab pertanyaan saya tentang bagaimana cara bikin adik.
                Ilham sedang banyak belajar tentang sesuatu di dunianya. Dewasa nanti ia juga akan lebih banyak tahu bukan hanya tentang perkara menyenangkan tapi juga sesal dan hal lainnya mungkin. Tapi nikmati saja hari ini, dek. Sesekali membangkang tak apa, banyaklah bermain dan menggambar komik juga. Puaskan dunia anakmu yang cuma takut pada matematika. Biar sesalmu tumbuh seminimal mungkin.


                Sedang penyesalan saya malah bertambah lagi. Di wisuda mereka saya gak bisa datang sebab banyak hal yang sungguh sulit dijelaskan dari sekedar alasan-alasan klasik.  Maafkan saya teman-teman. Semoga berkah apa yang kalian sandang di belakang nama masing-masing sekarang. Jangan lupa dunia bermain yang masih lapang. Selamat menjelajahi dunia baru, selamat hari anak-anak juga. []
Continue Reading...

Minggu, 26 Juni 2016

0:36

Mencintai tak pernah jadi perkara yang sia-sia

***
Continue Reading...

Sabtu, 25 Juni 2016

Grow Up

I love little girl's smile (Sumber : alisonhebeisen.myadventures.org)
       Sesal adalah hantu sudut pikir yang bergerak acak serupa film yang diputar berulang-ulang. Titik dimana kita menyadari ada hal-hal yang bertumbuh dengan sia-sia saja atau menyalahkan diri sendiri sebab banyak waktu yang terbuang cuma-cuma. Semua orang pernah terpuruk, pernah jatuh, pernah limbung dari apapun yang menghantamnya. Masalah memang seringkali dikirimkan untuk menjajal kekuatan supermu, apakah masih berfungsi atau sebaliknya, telah lapuk dimakan ulat dan belatung waktu. Jangan kacau, tetap santai dan bertahan dengan-Ku. Tuhan mungkin ingin katakan itu, coba saja pasang telingamu lebar-lebar. 

Sayangnya kita seringkali tak mendengarkan.

        Belajar lebih banyak mendengar dan kurangi keresahan. Ada banyak manusia yang kelihatannya normal, rupanya terbentuk dari kepingan sesal, benturan batu kesakitan dan racun yang telah membuatnya biru lebam di sekujur tubuh. Kau tak pernah lihat tangisnya kan? Dia masih bisa bercerita dengan senyuman. Senyum yang manis, yang entah sejak kapan bisa membuat lelehan air matamu turun melintasi pipi jika saja tak kau tahan. Jika saja kau jadi dia, mungkin tak akan bisa seharian beristirahat malam dengan nyaman.  Atau jika kau jadi dia, mungkin kau akan tidur seharian tanpa ingin bangun tidur sebab tak sanggup melihat apa yang ditangkap mata, didengar oleh telinga, diraih oleh tanganmu. Dia pun telah banyak menyesal dan kehilangan. Dia tegar. Dia tumbuh jadi manusia yang begitu cemerlang di matamu.
        Belajar untuk menjaga bicara. Sebab kita tak pernah tahu apa yang telah orang lain lewati hingga ia bisa jadi seperti saat ini. Mungkin duri, mungkin racun, mungkin lilitan ular piton yang besarnya seperti pohon kelapa. Diam seringkali jadi hal-hal yang damai.Tak ada yang berharap Maha Pengasih mengirimkan ujian yang berlebih, hanya saja menerima, pasrah dan tetap tenang mestinya bisa jadi hal-hal yang mendamaikan hati. 
         Suatu hari, semoga Tuhan tak biarkan keinginan itu terkubur. Ada kesempatan menyelami universitas kehidupan dimana manusia-manusia yang bersahaja tumbuh dan berkembang di dalamnya. Belajar dari mereka yang masih bisa meretas luka lewat senyum yang berkembang hanya sebab hal-hal sederhana. Duduk diatas ketinggian dimana bukit, lautan dan langit yang menawan berkumpul jadi satu ikatan pandang. Lalu berbagi senyum dan tawa, membungkus kenangannya dan merawat sarinya hingga senja. Semoga tak lagi tumbuh jadi sesal ya, Tuhan. []


Ramadhan yang baik, 
hari ulang tahun kakak terbaik 
dan saya yang masih saja jadi manusia menyebalkan 
untuk banyak orang.
Maafkan.
Continue Reading...

Jumat, 10 Juni 2016

Berpindah

          Ketika pertama kali melihat keberangkatan mbak Lia naik bis untuk kuliah di Malang dan merasa kekosongan rumah setelahnya, duduk di pojok kamar adalah salah satu hal yang saya lakukan sembari mengusap airmata. Sejak saat itu saya hampir tak pernah mengantar mbak Lia atau orang-orang tertentu hingga tepi jalan. Pernah juga beberapa untuk hal-hal yang entahlah. Melihat perpisahan dengan orang-orang tertentu seringkali membuat dunia mendadak berasa kosong setelah ramai karena adanya dia. Seperti merasakan kehadiran banyak sanak saudara yang membuat rumah terasa ramai, kemudian hening dalam sekejap saat mereka pulang. Pun melihat teman yang mengepaki barang untuk berpindah juga sebuah sesak yang merangsek utuh dalam relung. Serupa melihat kenangan-kenangan kami yang ikut terpungut dan dibungkus dalam kotak-kotak coklat penghabisan. Kosong setelahnya. Gak baik untuk kesehatan hati dan mata saya. Tapi saya sadar sekarang, menghindar cuma tipuan mata yang menganggap dunia masih sama. Perpindaha adalah pasti dan terkadang itu menyebalkan.
           Sakdiah akan pindah dari kosannya hari Minggu. Untuk selamanya mungkin. Bungkusan barang-barangnya telah siap dan rapi di beberapa sudut kamar pun pungutan kenang yang menempel pada benda-benda mati itu. Pada akhirnya, rencana kami untuk merayakan kelulusan bersama tak sesuai ekspektasi. Tak apa, saya turut bahagia J Hati-hati di jalan Sak. Apapun yang akan kita pilih nanti di masa depan, semoga jadi hal-hal yang membahagiakan. Big hug.  []
Continue Reading...

Rabu, 08 Juni 2016

Skenario Terbaik

http://3.bp.blogspot.com/-Gb4DDXlvCGM/Ux0NqmwbNPI/AAAAAAAABEU/Z_CwAC8px3o/s1600/

Sore menjelang berbuka kemarin hari, motor seorang kawan yang akan saya bawa ke kosan rupanya bocor di jalan. Di sekitar Mastrip saya berbalik arah menuju tambal ban dekat gerbang kampus FKG. Disana sudah ada hingga tiga motor pengendara yang tengah menunggu bannya ditambal juga. Bapak tukang tambal ban mengusulkan saya mencari tempat yang lain sebab antrian masih panjang. Saya bergegas pergi mencari di depan PKM, dan mendapati tukang tambal ban di seberang jalan depan bank. Rupanya di hari itu rejeki tukang tambal ban sedang baik, sesampainya di tambal ban kedua saya juga harus mengantri sebab sudah ada dua sepeda motor yang sedang ditambal bannya. Setelah saya,kemudian datang lagi satu sepeda motor yang bannya bocor. Saya menunggu sembari duduk di bangku panjang yang biasa jadi tempat ngopi kala siang atau malam. Mungkin sebab sedang puasa, warung kopi ini masih tutup. Saya masih antrian ketiga dan waktu berbuka kurang beberapa waktu lagi. Saya menikmati saja duduk sembari memperhatikan sekitaran. Udara dingin yang segar sebab hujan habis turun dengan derasnya dan beberapa lapak es dadakan yang mulai buka menjadi teman di senja hari kemarin.
Di seberang jalan tepat di depan saya, sebuah motor yang ditumpangi dua dedek mahasiswi berhenti. mereka memperhatikan sekeliling sembari membuka kresek berwarna hitam dan mengeluarkan dua gelas es buah yang terlihat segar. Selanjutnya mereka taruh dua gelas es buah diatas jok motor mereka. Saya penasaran dengan apa yang mereka lakukan. ketika seorang pria paruh baya melewati mereka, salah satu diantaranya berteriak “Pak beli es buahnya pak” Si bapak paruh baya hanya melirik dan melewati mereka begiu saja. Saya garuk-garuk kepala. dedeq-dedeq gemez ini sungguh punya sistem marketing yang aneh atau ndak bondo sama sekali. Beberapa menit berikutnya, dua temannya yang lain datang membawa senampan es buah. Saya menarik nafas lega. Rupanya yang tadi hanya pemanasan. tak hanya senampan, tapi juga sebuah poster putih yang tak terbaca dari jarak tempat saya duduk. Mereka berjualan khas dedek-dedek mahasiswa di FTP fair yang menawarkan produk makanannya, berteriak memaksa minta dibeli sembari meninggikan kualitas produk berdasarkan gizi-gizi hasil googling (aku pisan yo ngono mbiyen, ndab). Sudah beberapa waktu terlewat dan tak satupun melirik dagangan mereka. Satu orang kawannya datang lagi, ikut meramaikan iklan es buah. Tapi masih sama saja dengan penjual es di samping mereka yang juga bawa rombongan dari sebauh organisasi sepertinya, sepi pembeli. Sedang ibu penjual es blewah di samping saya sudah kedatangan banyak pembeli sedari tadi. Waktu berbuka tinggal sebentar lagi. Sepertinya wajah-wajah mereka mulai resah meski jalan di sepanjang kalimantan mulai penuh ramai.
Penjual takjil dadakan seperti mereka menjadi salah satu pernik ramadhan kala menjelang berbuka. Salah satu ciri khas sepanjang jalan yang membuat pengendara punya banyak pilihan untuk membeli. Entah untung atau tidak, saya rasa bukan itu poin penting yang mereka mau. Tapi lebih karena momen merayakan ngabuburit bersama untuk jadi kenangan yang berharga. Sebab berjualan mendadak di pinggir jalan memang hal yang menarik untuk dilakoni. Seperti survival game yang pernah dilaksanakan oleh matkul Kwu dulu atau seperti FTP fair. Prosesnya memasak, berbelanja, merancang harga, marketing dan lain-lainnya justru lebih dikenang dibandingkan penghasilan yang memang tak seberapa. Pengalaman selalu jadi guru yang baik ya.
Masa itu telah terlewat buat saya. Sekarang sudah di tahap akhir dan rasanya banyak sekali hal yang menguji sabar. Mungkin benar jika tahapan skripsi tak hanya bersoal perkara itu, ada banyak cabang masalah yang mengakar darinya. Melihat dedek-dedek gemes ini, saya jadi memikirkan apa saja yang sudah saya lakukan sebagai mahasiswa selama ini. Bekal apa yang bisa saya bawa untuk hidup dalam masyarakat nantinya. Kok rasanya hampir nggak ada. Perjalanan ke Surabaya kemarin, mendadak bikin saya mikir hal-hal yang sesak. Betapa setelah ini, tak ada lagi yang menjamin hidup saya dari rasa nyaman. Ketika menjadi seorang mahasiswa, kesalahan sekecil apapun bisa saja dimaklumi sebab kita masih seorang mahasiwa yang dibimbing, sedang setelah lulus nantinya tak ada yang bisa menjamin apa kesalahan yang kita lakukan bisa ditolerir sebab kita telah jadi seorang profesional atau minimal sarjana yang dianggap tuntas menyelesaian pendidikan. tak ada lagi tiket masuk atau potongan harga yang lebih murah untuk pelajar. Tak ada pemakluman dari masyarakat sekitar sebab belum mendapati pekerjaan. Dianggap lebih dewasa menyikapi permasalahan. Dianggap lebih pandai dan harus bersikeras untuk diri sendiri. Mesti kembali beradaptasi. Lalu muncul banyak pertanyaan kapan lainnya setelah kapan lulus terlewati. Contohnya, kapan menikah? Lalu sepertinya tahun ini akan jadi tahun terakhir saya menerima angpao dari saudara dekat. hahaha. Tahun depan mestinya sudah saya yang ganti memberikan angpao ke ponakan yang mendadak jadi bertambah banyak laki-lakinya. Satu hal yang pasti, memberi tak boleh jadi beban dan tumbuh menjadi dewasa dengan segala perniknya adalah keniscayaan. Baiklah, saya jadi pingin nikah saja, adek lelah garap revisian bang. #eeeh. Nikah juga ndak sebercanda itu, dek.
Saya ingin saja mengeluhkan beberapa hal belakangan. Tapi sudahlah, sepertinya Tuhan memang menghendaki jalan cerita yang rumit dan harus terus “menunggu” semacam ini. Seperti yang bu penguji katakan “kamu pasti lama sekali menyusun skripsimu ini. beruntunglah kamu mendapat dua pembimbing yang disiplin merevisi tulisan mahasiswa”. Saya tersenyum. Kecut. Penderitaaan yang saya rasa malah dianggap keberuntungan oleh ibu manis yang setiap kali ditemui mengaku selalu sibuk. Rasanya saya mau bilang juga, saya tambah beruntung lagi sebab mendapat ibu dan pak imut sebagai penguji saya. Kantong sabar saya mesti lebih besar dari sebelumnya.  Ah, kadang hidup jadi sebercanda ini rupanya. Tapi, iya. Mungkin saja saya memang beruntung untuk di waktu depan. Sekuat apapun saya berusaha untuk cepat, seberapa besarpun saya berharap kalo Tuhan belum menghendaki ya mau apalagi to selain pasrah. Toh, Allah selalu punya skenario yang baik cum menarik hati syalala. Meski kadang terasa nyeri. Seperti jalan ceritanya soal jarak dan waktu.
Apa saya, kamu memang sekuat itu? Apa ini Cuma permainan hati yang ndak tau ujungnya mau kemana? Kalo untuk alasan itu saya minta berhenti saja. Sakit lo. Menahan rindu saja sudah perih, apalagi Cuma main-main. iya, dalam kebutaan semacam ini sepertinya kita hanya bisa meraba-raba, menimbang, dengan terkadang-kadang memunculkan banyak keresahan, pasrah atau hal-hal lainnya. Apa kita memang sekuat itu? Apa memang mesti tabah menunggu?
Saya sedang lelah. Hanya butuh hujan deras hari ini, yang berujung pelangi indah dan senyum milikmu diantaranya. Hujan di sepanjang jalan Kalimantan kemarin serupa aromaterapi yang diramu untuk menenangkan pikir. Tukang tambal ban, menyudahi menambal ban motor kawan saya. “ini pakunya, mbak” si bapak menunjukkan sepotong paku berukuran sedang pada saya. “Bolongnya dua. Untung saja masih bisa ditambal. selamet kamu, biasanya ndak bisa mbak” beliau meneruskan lagi. Saya ndak paham sama penjelasan bapaknya mengenai tambal ban yang habis ia lakukan. Tapi mendengar kata selamat dari ucapannya, saya hanya tahu Tuhan telah menolong saya sore itu. Diah menelepon saya kemudian. Lalu saya menghampirinya untuk berbuka puasa bersama di bunderan DPR, tempat favorit kami. Mungkin karena spotnya yang menarik menghadap air mancur atau sambalnya yang enak atau mungkin karena kawan makannya. Saya kira karena semuanya. Saya mensyukuri semua yang sedang saya miliki saat ini. Setelah lulus nanti, belum tentu saya masih memilikinya lagi. Terimakasih Tuhan untuk semua yang saya punyai. Untuk banyak pelajaran. Untuk ramadhan yang masih bisa saya jalani. []
Continue Reading...

Senin, 09 Mei 2016

Annoying

Pernah tidak kamu merasa takut menjadi dirimu sendiri?
Saya pernah.
dan rasanya,
perih...

          Beberapa waktu yang telah lalu, seorang pria membuka obrolan yang saya rasa cukup absurd di dengar oleh seorang perempuan. Meski mungkin saja jujur. Ia membeberkan sedikit cerita bagaimana sekumpulan pria yang tengah cangkruk membicarakan teman wanitanya. Memberitahukan berbagai istilah yang baru ini saya dengar dan tak cukup pantas sebab entah untuk bercandaan atau sungguhan, buat saya istilah-istilah itu termasuk pelecehan verbal. Ia juga mengatakan itu. 
"Maka kuberitahukan ini padamu agar hati-hati" ucapnya. Beberapa nasihat, potongan cerita dan tukar pikir cara pandang dengannya mengiringi penghabisan bakso di mangkok.
"Perempuan itu makhluk lemah. Kasihan. Makanya setiap perempuan mesti punya amunisi untuk melindungi diri" 
         Saya jelas tak akan mencerna semua ucapannya hari itu. Saya percaya, pria yang baik itu masih ada. Hanya mendapat sudut pandang baru dan beberapa hal yang ia ucapkan tak bisa saya terima tentunya. Ia yang dari setiap ucapannya seolah selalu beranggapan mampu menilai segala sesuatunya, termasuk menganggap perempuan hanyalah objek lemah yang tak punya kuasa. Saya sejujurnya tak menyukai itu. Sebab jelas, perempuan bukanlah objek. Kami juga subjek sebagaimana lelaki. Kami pun bagian dari keping puzzle yang sama dengan laki-laki. Bukankah Tuhan bilang, semua manusia di hadapan-Nya adalah sama? Pria bukan memiliki derajat yang lebih tinggi (terlepas dari tugasnya sebagai pemimpin). Laki-laki dan perempuan hanya mengemban tugas dan peran masing-masing yang telah Tuhan tentukan. Di hadapan-Nya kita adalah sama, sebagai makhluk yang begitu -Dia kasihi
            Sayangnya menjadi perempuan di negeri ini tak cukup nyaman, duh Gusti. Semakin banyak saya membaca kasus perkosaan, membuat saya semakin takut. Kasus Yuyun disusul munculnya kasus-kasus pemerkosaan yang lain, ditambah stigma masyarakat terhadap korban pemerkosaan yang justru dianggap kotor sebab tak lagi perawan. Tak peduli alasan ia tak lagi perawan sebab diperkosa, derajatnya telah turun di masyarakatnya. Lalu anak yang terlahir disebut haram. Jahat sekali, Gusti. 
          Lalu sekarang saya mesti memikirkan ulang apa yang saya inginkan sebab saya sesungguhnya pun dalam bahaya di luar. Membaca kasus pemerkosaan seringkali bikin mata sembab. Sesungguhnya semua perempuan dalam bahaya kan? Saya baru benar-benar sadar kenapa ibu dan bapak seringkali bilang punya anak perempuan tanggung jawabnya besar. Betapa ngomelnya ibu setiap teleponnya tak saya angkat sebab tak dengar deringnya. Betapa khawatirnya ibu ketika pernah saya tak ada kabar beberapa hari karena tak ada signal. Maafkan saya pak, buk. Pasti butuh banyak mental untuk menjadi orangtua. Suatu hari mungkin Tuhan juga akan melimpahkan kekhawatiranmu itu padaku sebab tak kunjung mendapat kabar dari anakku yang tak mendengar dering teleponnya berbunyi. Duh Gusti, apa sanggup saya menanggung kekhawatiran semacam itu. 
        Kekerasan seksual. Pelecehan seksual. Banyak sekali terjadi di bumi ini. Saya kerap menemukan artikel kasus pelecehan seksual terjadi pada anak-anak. Pembentukan LGBT pun kebanyakan timbul akibat masa kecilnya yang pernah disodomi oleh orang dewasa. Seorang kawan saya pernah bercerita, ketika mengikuti jurnalisme keberagaman ia duduk sebangku dengan seorang pelaku homo. Katanya, yang menyebabkan ia menjadi homo sebab masa kecilnya yang pernah disodomi oleh abang salah seorang tetangganya. Ia kerap kali melakukannya, menjadi  penasaran lalu seringkali menjajali kembali sehingga kecanduan dan tumbuhlah menjadi homo. Miris. Masa anak-anak adalah masa tumbuhnya berbagai penciptaan rasa saya kira. Penasaran, mulai suka, percaya diri, dan hal-hal lain yang jelas membentuk kepribadiannya menjadi apa. Saya ingat ketika SD sedang bermain di rumah bude, mas sepupu saya kedatangan seorang temannya yang laki-laki juga. Ia melihat saya begitu lama, dan bilang ke mas sepupu saya jika adiknya ini cantik. Anak kecil seperti saya ketika itu sepertinya jelas tidak merasakan apa-apa saat dipuji. Kemudian ia yang mungkin gemas atau punya niatan lain (no body knows), mencium pipi saya. Sejak saat itu, saya takut bertemu dengan teman mas sepupu saya itu. Entah kenapa raut wajahnya terpatri kuat di ingatan. Seram. Saya kecil seringkali menghindar meski selanjutnya kami cuma berpapasan tanpa sengaja dan tak ada hal lain yang ia lakukan.  Saya jadi ingat kejadian masa kecil ini sebab habis membaca sebuah postingan di fb tetang pelecehan seksual yang pernah dialami seorang perempuan di masa kecilnya. Pelecehan seksual saat kita masih kecil mungkin tak kita sadari dan entah kenapa jadi teringat saat telah dewasa. Apa yang saya alami mungkin bukanlah bagian dari pelecehan seksual seperti apa yang dialami oleh perempuan di fb tersebut. Tapi saya percaya bahwa ingatan seorang anak begitu kuat dan perasaannya yang murni bisa dengan mudah jadi semburat. 
           Perempuan cantik, anak-anak dan orang tua adalah prioritas bagi tentara pasukan khusus Si Jin, seorang tokoh tentara ganteng yang diperankan oleh So Joong Ki di drama Korea Descendent of the Sun. Semua perempuan yang menonton dramanya itu dibuat meleleh oleh pesonanya yang charming di film. Melindungi, mengayomi dan pesona-pesona yang seharusnya perlu dihapus sebab menciderai akal perempuan yang bisa jadi menyebabkan adanya ekspektasi yang tinggi pada kekasih. Tapi yang pasti, seberapapun tangguhnya seorang perempuan ia tetap butuh seorang pria untuk bersandar dan menjaganya. #kodekeras
             Tulisan ini sebenarnya jauh dari ekspektasi. Ada banyak hal yang saya pikirkan malam ini , tentang segala cemas dan miris yang seringkali timbul tenggelam sebab tulisan-tulisan di media online mengenai perempuan dan kasus-kasus pemerkosaan yang keji, juga tulisan Pramoedya Ananta Toer di buku "perawan remaja dalam cengkeraman militer" yang belum habis saya baca. Ditambah banyaknya gambar-gambar anak korban Aleppo, Syria yang membuat dada kalang kabut tiap muncul di beranda facebook. Saya membayangkan adik kecil saya, si Ilham. Ah.. Melihat orang kecelakaan yang kecilnya seadik saya saja, saya pernah ikut nangis histeris. Ditambah lagi jadwal sidang yang mundur (woles), revisi skripsi yang jadi lebih banyak, ditambah kalimat eksotis dari pembimbing "Sepertinya sidangmu bakal ramai Radhiyyan" atau ucapan penguji imut yang ngantar saya sampai pintu ruangannya "Sudah semester sepuluh kan kamu, masak mau nambah lagi?" senyumnya pak imut manis sekali sampek bikin slilit. Subhanalloh, caemnya bapak-bapak ini. 
               Terus kamunya gimana? Kapan mau nyemangati saya juga? Sudah ribuan purnama lewat, dan jarak masih terasa saja. Jangan kacau ya. Hari ini teruslah berkembang dan mengumpulkan banyak hal. Jika hari ini kesibukanmu begitu menyita waktu, jangan lupa makan dan tidur barang sebentar. Saya ingin kamu mengajari banyak hal, menunjukkan duniamu, menemani bahagiaku yang cukup dengan kamu suatu saat nanti. Lalu biar kita tumbuh bersama menjadi manusia dewasa dengan segala problematikanya. Saling mencinta, menabur banyak ketulusan, kasih dan maaf yang mungkin susah tapi harus kita coba. Saya cuma ingin bertumbuh dewasa denganmu. Kamu mesti sabar ya. Perempuan memang tersusun dari kode-kode rumit yang selalu minta dipecahkan. Banyak perempuan memang menyukai cokelat dan bunga. Tapi, kami lebih mencintai kepastian, kekasih (baca: pemilik tulang rusuk). Jangan membuat saya resah. Paragraf terakhir kok ndak nyambung sih []
               
Continue Reading...

Minggu, 17 April 2016

Memory

Kenangan perlu ada dalam hidup untuk dikenang, ditertawakan dan menjadi warisan ingatan kepada anak keturunam” 


        Saya punya folder bernama kenangan. Di dalamnya terdapat banyak folder juga yang berisi foto-foto dengan kategori yang berbeda-beda. Foto ketika SMA, foto Maba, foto travelling ke suatu tempat dan lain-lain. Selain merawat kenangan lewat foto, merawatnya lewat tulisan juga jadi hal yang menarik. Sejak SD saya suka menulis diary. Kemudian kebiasaan menulis berpindah di laptop sejak buku diary terakhir kali habis dan menggandrungi blog. Pram bilang, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Maka saya sedang bekerja untuk membungkusi kenangan. Hal-hal yang tertulis mampu mengingatkan detail proses dengan lebih baik. Sepertinya sih begitu. 
        Kenangan adalah sejarah otentik milikmu. Yang membentukmu jadi seperti sekarang sebab ia melalui sebuah proses panjang seiring waktu berjalan. Dalam tiap bagiannya ada banyak manusia, tempat, waktu, cerita dan rasa yang berbeda-beda. Dan tiap dari mereka begitu berharga untuk sebuah proses seperti yang Tan Malaka katakan, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk!
       Tadi Febri, teman kos yang sudah pindah, BBM saya. Dia bilang sedang rindu berat pada Jember dan banyak keisengan kami ketika itu. Jadi ingat, ketika beberapa waktu yang lalu habis pulang dan saat balik ke Jember melintasi jembatan Semanggi saya merasa sentimentil. Jelas sudah tak terhitung saya melintasi jalan itu. Ketika menuju pulang, ketika kembali, ketika ke pasar tanjung, ketika ngopi atau kemanapun dan dengan manusia yang berbeda-beda atau seorang diri. Semanggi jadi salah satu saksi mati adanya manusia baperan dan banyak kenangannya di kota ini. Sayangnya, Semanggi gak bisa bercerita. 
         Besok beberapa teman yang sering ataupun pernah melewati semanggi dengan saya akan diwisuda. Kebanyakan masih di Jember dan beberapa yang lain jelas akan berpindah kembali ke kotanya masing-masing. Manusia-manusia yang pernah menyelami waktu lalu bersama dan mengisi kenangan yang berharga. Salah satu manusianya terakhir kali mengisi waktu ngopi bersama dan mengucap maaf sebab gelas nya yang retak tak bisa lagi kembali utuh. Tapi mengucap sepakat untuk memperbaiki kami meski tak sempurna. Masih ada banyak hal yang ganjil, tak bisa direlakan dan menyakitkannya, mungkin. Tapi potongan kisah itupun akan berlalu jadi kenangan. Semoga legowo menerima keputusan. 
        Pun suatu hari akan saya yang mengalami "berpamit". Lalu sudut-sudut Jember ini akan mengiris rindu yang jelas tak tipis. xoxoxo. Dan untuk menjadikan ini pembungkus kenangan yang baik,  saya ucapkan selamat wisuda ya kawan-kawan. Selamat mengukir kenangan yang baru, dan membahagiakan untuk masa depanmu. Aamiin []
Continue Reading...

Kamis, 07 April 2016

Cantik Bernama Lani

       Senja telah memudar di langit pantai saat kuputuskan bersetia duduk di tepiannya. Dinginnya lantai pasir, deru ombak juga lampu dari mercusuar yang berkedip adalah ikatan paling eksotis untuk menampik ajakan masuk ke dalam rumah penginapan kami. Aku tak peduli dingin, kedamaian sedang menjelma menjadi jaket tebal dengan bulu-bulu halus di sekitar leherku. Sangat nyaman. Rasa yang jarang kutemui di tengah padatnya kota. Hal yang mungkin tak bisa dipahami oleh siapapun, bahkan oleh ragaku sendiri.
      Lima menit yang hening kemudian pecah sebab tapak kaki yang bergerak mendekat. Aku menoleh ke belakang dan melihat ia tersenyum cukup lebar.
“Boleh kutemani mbak?”
“Tentu”
Kupersilahkan ia duduk di sampingku. Hampir tanpa suara ia memposisikan diri dan tetap hening meski bermenit-menit terlewati.
“Kau menikmati apa Lani?” aku mulai buka suara sebab semakin lama merasa janggal dengan kesunyian yang kami cipta masing-masing. Gadis tambun di sampingku menoleh.
“Tidak ada mbak. Hanya takjub pada bayangan kita yang bersebelahan sejak tadi” aku mengernyitkan dahi dan ikut mengamati bayangan kami.
“Ada yang salah? apa jadi tiga atau hilang satu?” Kugoda Lani yang memang penyuka tontonan horror dan seringkali berpikir di luar kebiasaan.
        Lihat saja, kukira sejak tadi kami punya jeratan mata yang sama. Ombak bergelung, lampu mercusuar atau bintang-bintang yang bertaburan bak wijen di onde-onde. Namun Lani malah memilih bayangan kami berdua sebagai objek matanya. Lani tertawa. Memperihatkan gigi-gigi kecilnya yang rapi berderet.
“Mbak, bayanganku terlihat lebih besar sekali. Milikmu kecil. Terlihat kontras dan bergerak harmonis sejak tadi. Aku suka sekali”
“Bayangan kita bisa selaras dan serasi kalo kamu mau diet Lan” Lani tersenyum jenaka. Gadis yang tak pernah mau meninggalkan kebiasaan makan berat di atas jam 10 ketika kami lembur sampai malam.  Hal-hal yang justru dihindari hampir semua wanita yang menjaga kerampingan, kecuali mereka benar-benar lapar.
“Aku suka lapar kalo malam. Berpikir membuat tenagaku cepat habis”
“Setidaknya kamu perlu mengatur porsi makanmu, Lan. Rajin berolahraga, menahan nafsu makan, belajar make up dan voila... kamu bisa secantik aku”
Lani masih dengan senyumnya yang lebar.
“Aku tak ingin melakukan hal-hal yang tak kusuka mbak. Menjalani diet adalah siksa. Padahal banyak makanan enak yang bisa kau nikmati setiap harinya. Juga berdandan cantik, kurasa jadi batasan gerak yang konyol. Bahkan kupikir make up hanyalah piranti jahat yang memoles kepalsuan di dunia”
“Astaga! kamu tidak sedang berusaha menjadi pria kan?” Gelak tawa Lani mengeras diantara pecahan ombak.
“Aku masih suka menjadi perempuan mbak. Perempuan yang paham kodratnya. Untuk itu, aku masih terus belajar menjadi manusia bernama wanita”
“Bahkan kamu tak pernah sekalipun menyentuh piranti make up, Lan. Ke kantor dengan tampilan seadanya. Bergerak semaumu, loncat kesana kemari. Mau kau apakan pembelajaran manusia bernama wanita itu?”
“Buatmu harus seperti apakah wanita itu mbak?”
“Tentu saja ia harus pandai berdandan cantik agar suamimu nanti tak bosan memandangmu, bisa memasak, bergerak anggun, lembut dan hal-hal manis lainnya”
         Lani mengangguk lemah bibirnya masih tersenyum. Namun sebagai seorang atasannya di kantor, aku tahu sorot mata itu tengah memikirkan sesuatu.
“Mbak, tapi wanita bukan hanya sekedar pemanis untuk pria. Di dunia ini, Tuhan mencipta wanita bukan sebagai objek tapi juga subjek seperti laki-laki. Kukira kita mulai lupa akan hal itu. Male Gaze, meminjam istilah dari Laura Mulvey. Terlalu banyak dari kita hanya ditempatkan sebagai objek oleh laki-laki. Dipandang sebab kecantikan, dinilai semacam ini dan itu. Kecantikan perempuan jadi pemuas pandang laki-laki. Lalu kita jadi terjerat pada hal-hal artifisial. Kecanduan produk-produk pemutih, pelangsing, melukis alis, pemburu gincu, meluruskan rambut dan oplas bila perlu. Semua hanya untuk mendapat pengakuan cantik. Sekarang cantik bukan lagi mitos yang sulit dijangkau. Siapapun bisa cantik. Menjadi putih, langsing. Dan siapapun kini telah sulit menjadi diri sendiri”
         Aku tersihir. Kurasa sepanjang waktu mengenal Lani baru kali ini ia menumpahkan pikiran yang bersarang di otaknya. Selama ini aku dan juga teman-teman kantor wanita yang lain hanya menganggap ia sebagai tomboy yang alergi gincu dan piranti lainnya. Tak pernah berpikir sedetail ini.
“Lani, berdandan buatku sebagai pemuas diri. Aku suka terlihat cantik di cermin”
“Aku tak mengatakan itu salah mbak. Menjadi cantik adalah naluri setiap perempuan, pun aku. Poinnya bukan hal ini yang ku permasalahkan. Hanya saja aku mulai gelisah sebab banyak kegilaan yang kita lakukan atas nama cantik dan kesempurnaan, lalu didapuk sebagai hiasan. Kita sama-sama subjek dengan laki-laki. Dan lihatlah mereka, bisa cuek dengan segala yang mereka miliki. Dengan bangga mengatakan dirinya keren. Tak banyak khawatir pada perut yang buncit juga bertingkah semaunya. Apa yang salah? Apa sebabnya kita seringkali diminta anggun, teratur dan dilihat lemah? lalu punya banyak batasan dalam masyarakat sedang mereka bebas dari itu”
         Lani menarik nafasnya panjang. Mungkin lelah setelah banyak pembicaraan yang sedikit menelurkan emosi buatnya. Entah apa yang menyebabkan pikirannya terbentuk demikian.
“Bisa jadi apa yang kamu pikirkan itu benar Lani. Kita mulai lupa menjadi diri sendiri. Ingin selalu serupa cantik seperti yang lain. Tapi, jangan terlalu berprasangka. Bisa jadi apa yang ada dalam pikiran kita tak seburuk kenyataannya”
              Lani tersenyum lagi dan aku tahu tak ada raut lega yang tergambar di wajahnya.
“Aku mau masuk. Mbak Intan bareng?” mendadak ia beranjak sembari membersihkan pasir yang terikut sisa duduk.  
“Nggak. kamu duluan aja” Lani tersenyum, lalu berjalan pergi menjauh. Menyisakan ruang kosong diantara pecahan ombak dan bintang-bintang. Juga menyisa lorong pikir yang tiba-tiba menyembul. Entahlah, tapi kupikir Lani cantik sekali. []

Continue Reading...

Jumat, 25 Maret 2016

Hape dan Sudut Jember yang Tak Biasa

     Satu minggu yang penuh. Bukan sebab terlalu sibuk urusan penelitian yang katjo. Tapi sebab ada banyak hal yang terjadi. Minggu kemarin, saya akhirnya tahu sudut Jember bernama Puger. Iya, setelah sekian tahun berada di kota ini baru minggu yang lalu saya berhasil menemuinya. Saya merasa sudut kota Jember yang satu ini berbeda dengan sudut yang lain. Asri, terasa sejuk dan kunjungan mendadak ke pantai Pancer juga menyenangkan. Ndilalah waktu sore menuju pantai berasa jadi pilihan tepat. 
      Nggak kalah sama sudut Puger, saya ketemu puncak indah di Jember. J88, Bukit di atas awan yang lagi santer. Saya berangkat habis shubuh bareng Diah, Fika sama Dita. Sebuah perjalanan menaklukan rasa takut. Hla gimana nggak, kami cuma berempat yang kesemuanya cewek pula, pencilakan naik-naik bebatuan tinggi menjulang yang di pinggir-pinggirnya jurang. Entah kenapa rasanya takut sekali mau naik. Nggak seperti biasanya, saya butuh waktu lama untuk sekedar naik pada batu tertinggi di lokasi. Tapi khirnya bisa juga. Lalu setelah turun, kami cuma bisa berdecak heran setelah melihat manusia yang lain ketakutan mau naik lalu bikin pijakan kaki dari temannya untuk bisa naik, padahal tadi kami bisa menaiki batu tersebut sendiri. Sedang yang lain juga ikut heran dengan tingkah polah empat perempuan kecil-kecil ini. Sepertinya, kami cuma sedang punya nyali. Belajar menaklukkan ketinggian serupa belajar menaklukan ketakutan yang lain. (alay)
puncak J88 (pict taken by Diah)
sunshine becomes you ( pict taken by Diah)
berhasil-berhasil horeee (dok. pribadi)
         Lalu, saya sudah melakukan GC-MS. Hasilnya absurd dan sekarang cuma perlu menunggu kabar selanjutnya harus gimana -_-". Nikmati saja. Rupanya sabar, ikhlas, pasrah sedang jadi pelajaran yang susah. Saya khawatir dapat raport merah. Hehehe. 
         Diantara banyak cerita yang terjadi di minggu ini, kesialan dan mujur silih berganti. Entah yang ini sebuah kemujuran atau kesialan tak terdeteksi. Akhirnya hape saya rusak. Hape perjuangan itu rupanya mulai lelah sebab tuannya tak memperhatikan kesehatannya dengan baik. Mengecharge dengan serampangan salah satunya. Jadilah saya hidup tanpa tahu kabar-kabar kekinian di kampus karena cuma sering berada di puslit, poltek atau kosan. Berhubungan hanya via sms, telepon dan wassap yang baru saja saya instal. Ehm... begitu saja. 
      Saya menuliskan ini sembari mendengar single terakhir Tangga. Lalu mengingat ucapan kawan saya tadi.
"Di belahan dunia manapun kita berada, bulan tetap sama. Tak pernah lebih besar dari ibu jari kita" Benar juga. 
         Malam ini terasa damai setelah menuntaskan secangkir cappuchino, menulis dan lagu-lagu slow yang berputar acak. Menikmati anugerah  Tuhan tanpa tanda tanya. Besok Sabtu ya? siapapun yang membaca ini, semoga kamu sedang bahagia []
Continue Reading...

Selasa, 22 Maret 2016

Peraduan

Pada waktu, ada ruang untuk mereparasi dan bertumbuh. Memberi kesempatan pada logika untuk bertanya apa, lantas membiarkannya terbang tinggi dengan terikat semacam layang-layang. Ia butuh dilepas bebas untuk menemukan apa. Memasrahkan segala. Melepaskan semua.

Suatu hari kamu akan jatuh cinta, menua, mengeriput lalu mati. Kita. Dia juga. Aku juga. Diantaranya mungkin ada merah, jingga, kuning atau abu-abu yang mesti ditempuh atau barangkali dipilih untuk tahu.

Tuhan, kau menyimpan jawabannya kan? Biarkan aku di dekat-Mu.


Penghabisan Maret, 2016
Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author