Senja telah memudar di langit pantai saat kuputuskan
bersetia duduk di tepiannya. Dinginnya lantai pasir, deru ombak juga lampu dari
mercusuar yang berkedip adalah ikatan paling eksotis untuk menampik ajakan
masuk ke dalam rumah penginapan kami. Aku tak peduli dingin, kedamaian sedang
menjelma menjadi jaket tebal dengan bulu-bulu halus di sekitar leherku. Sangat
nyaman. Rasa yang jarang kutemui di tengah padatnya kota. Hal yang mungkin tak
bisa dipahami oleh siapapun, bahkan oleh ragaku sendiri.
Lima menit yang hening kemudian pecah sebab tapak kaki yang
bergerak mendekat. Aku menoleh ke belakang dan melihat ia tersenyum cukup
lebar.
“Boleh kutemani mbak?”
“Tentu”
Kupersilahkan ia duduk di sampingku. Hampir tanpa suara ia
memposisikan diri dan tetap hening meski bermenit-menit terlewati.
“Kau menikmati apa Lani?” aku mulai buka suara sebab semakin
lama merasa janggal dengan kesunyian yang kami cipta masing-masing. Gadis
tambun di sampingku menoleh.
“Tidak ada mbak. Hanya takjub pada bayangan kita yang
bersebelahan sejak tadi” aku mengernyitkan dahi dan ikut mengamati bayangan
kami.
“Ada yang salah? apa jadi tiga atau hilang satu?” Kugoda
Lani yang memang penyuka tontonan horror dan seringkali berpikir di luar
kebiasaan.
Lihat saja, kukira sejak tadi kami punya jeratan mata yang
sama. Ombak bergelung, lampu mercusuar atau bintang-bintang yang bertaburan bak
wijen di onde-onde. Namun Lani malah memilih bayangan kami berdua sebagai objek
matanya. Lani tertawa. Memperihatkan gigi-gigi kecilnya yang rapi berderet.
“Mbak, bayanganku terlihat lebih besar sekali. Milikmu
kecil. Terlihat kontras dan bergerak harmonis sejak tadi. Aku suka sekali”
“Bayangan kita bisa selaras dan serasi kalo kamu mau diet
Lan” Lani tersenyum jenaka. Gadis yang tak pernah mau meninggalkan kebiasaan
makan berat di atas jam 10 ketika kami lembur sampai malam. Hal-hal yang justru dihindari hampir semua
wanita yang menjaga kerampingan, kecuali mereka benar-benar lapar.
“Aku suka lapar kalo malam. Berpikir membuat tenagaku cepat
habis”
“Setidaknya kamu perlu mengatur porsi makanmu, Lan. Rajin
berolahraga, menahan nafsu makan, belajar make up dan voila... kamu bisa secantik aku”
Lani masih dengan senyumnya yang lebar.
“Aku tak ingin melakukan hal-hal yang tak kusuka mbak.
Menjalani diet adalah siksa. Padahal banyak makanan enak yang bisa kau nikmati
setiap harinya. Juga berdandan cantik, kurasa jadi batasan gerak yang konyol. Bahkan
kupikir make up hanyalah piranti jahat yang memoles kepalsuan di dunia”
“Astaga! kamu tidak sedang berusaha menjadi pria kan?” Gelak
tawa Lani mengeras diantara pecahan ombak.
“Aku masih suka menjadi perempuan mbak. Perempuan yang paham
kodratnya. Untuk itu, aku masih terus belajar menjadi manusia bernama wanita”
“Bahkan kamu tak pernah sekalipun menyentuh piranti make up,
Lan. Ke kantor dengan tampilan seadanya. Bergerak semaumu, loncat kesana
kemari. Mau kau apakan pembelajaran manusia bernama wanita itu?”
“Buatmu harus seperti apakah wanita itu mbak?”
“Tentu saja ia harus pandai berdandan cantik agar suamimu
nanti tak bosan memandangmu, bisa memasak, bergerak anggun, lembut dan hal-hal
manis lainnya”
Lani mengangguk lemah bibirnya masih tersenyum. Namun
sebagai seorang atasannya di kantor, aku tahu sorot mata itu tengah memikirkan
sesuatu.
“Mbak, tapi wanita bukan hanya sekedar pemanis untuk pria. Di
dunia ini, Tuhan mencipta wanita bukan sebagai objek tapi juga subjek seperti
laki-laki. Kukira kita mulai lupa akan hal itu. Male Gaze, meminjam istilah dari Laura Mulvey. Terlalu banyak dari
kita hanya ditempatkan sebagai objek oleh laki-laki. Dipandang sebab kecantikan,
dinilai semacam ini dan itu. Kecantikan perempuan jadi pemuas pandang
laki-laki. Lalu kita jadi terjerat pada hal-hal artifisial. Kecanduan
produk-produk pemutih, pelangsing, melukis alis, pemburu gincu, meluruskan
rambut dan oplas bila perlu. Semua hanya untuk mendapat pengakuan cantik. Sekarang
cantik bukan lagi mitos yang sulit dijangkau. Siapapun bisa cantik. Menjadi putih,
langsing. Dan siapapun kini telah sulit menjadi diri sendiri”
Aku tersihir. Kurasa sepanjang waktu mengenal Lani baru kali
ini ia menumpahkan pikiran yang bersarang di otaknya. Selama ini aku dan juga
teman-teman kantor wanita yang lain hanya menganggap ia sebagai tomboy yang alergi
gincu dan piranti lainnya. Tak pernah berpikir sedetail ini.
“Lani, berdandan buatku sebagai pemuas diri. Aku suka
terlihat cantik di cermin”
“Aku tak mengatakan itu salah mbak. Menjadi cantik adalah
naluri setiap perempuan, pun aku. Poinnya bukan hal ini yang ku permasalahkan.
Hanya saja aku mulai gelisah sebab banyak kegilaan yang kita lakukan atas nama
cantik dan kesempurnaan, lalu didapuk sebagai hiasan. Kita sama-sama subjek dengan laki-laki. Dan
lihatlah mereka, bisa cuek dengan segala yang mereka miliki. Dengan bangga
mengatakan dirinya keren. Tak banyak khawatir pada perut yang buncit juga
bertingkah semaunya. Apa yang salah? Apa sebabnya kita seringkali diminta
anggun, teratur dan dilihat lemah? lalu punya banyak batasan dalam masyarakat sedang
mereka bebas dari itu”
Lani menarik nafasnya panjang. Mungkin lelah setelah banyak
pembicaraan yang sedikit menelurkan emosi buatnya. Entah apa yang menyebabkan
pikirannya terbentuk demikian.
“Bisa jadi apa yang kamu pikirkan itu benar Lani. Kita mulai
lupa menjadi diri sendiri. Ingin selalu serupa cantik seperti yang lain. Tapi,
jangan terlalu berprasangka. Bisa jadi apa yang ada dalam pikiran kita tak
seburuk kenyataannya”
Lani tersenyum lagi dan aku tahu tak ada raut lega yang
tergambar di wajahnya.
“Aku mau masuk. Mbak Intan bareng?” mendadak ia beranjak
sembari membersihkan pasir yang terikut sisa duduk.
“Nggak. kamu duluan aja” Lani tersenyum, lalu berjalan pergi
menjauh. Menyisakan ruang kosong diantara pecahan ombak dan bintang-bintang. Juga menyisa lorong pikir yang tiba-tiba menyembul. Entahlah, tapi kupikir Lani cantik sekali. []