Jejak

Jejak

Kamis, 03 November 2016

Dengar Nay

Nay, kau tahu kan?
Suatu hari mungkin aku akan menyesali banyak hal.
Suatu hari mungkin aku cuma bisa mengenang
Sebuah kota yang di dalamnya sesak oleh kenangan
Nay, kau sedang apa?
Maaf aku belum bisa menemuimu.
ada yang begitu beku dan layu.
Nay ini bukan puisi. Ini cuma, entahlah. Kau bisa menyebut apapun tentang ini.
Nay. tadi aku bertemu manusia yang pernah kulukai hatinya tanpa bermaksud
Nay, Nay?
Kau dengar aku?
Baiklah. Aku mau tidur saja. 
Continue Reading...

manjah

        Nay, maghku kambuh. Ini sakit sekali. Sangat sakit sampai-sampai rasanya aku mau menangis, tapi malu Nay. Aku pernah merasa sakit sekali sama seperti ini, dua tahun yang lalu. Waktu itu karena acara pelantikan yang berjalan dua hari diisi makan mie instan, besoknya waktu pulang aku magh parah. Ini juga sakit Nay. Aku habis makan mangga kecut tadi pagi di kosnya Bening. Aku lupa kalo semalam maghku kambuh karena kebanyakan makan pedas. Lebih tepat ngelupa sih, Nay. Aku gak bisa nolak mangga yang dengan baik hati mempersilahkan tubuhnya untuk dinikmati. Lalu, siangnya dia marah padaku. Ia, perut manja ini berulah lebih garang dari biasanya. Membuatku menggeliat kesakitan. Lalu ibu telpon. Ku kira benar ia punya ikatan batin denganku, lalu mau marah-marah kalo tahu ini. Ternyata beliau cuma tanya tentang kereta.
        Nay, aku bandel dan memang masih saja berego tinggi. Aku mau tidur tapi gak bisa tidur. Nay, aku bingung. Aku selalu mau menangis tapi tak bisa menangis. Sedang merasa bodoh dan lemah. Nay, jadi dimana posisi manusia berhati jembar yang  bisa kupercaya dan berbagi segala dengannya? Apa itu kau, Nay? []

Continue Reading...

Rabu, 02 November 2016

Sin

      Simbah sakit bu. Kata Mbak Esti, dokter mendiagnosa jantungnya bengkak dan akan sulit disembuhkan sebab faktor usia pula. Ibu tak tahu ya? Mereka bilang, jangan kabarkan ini dulu ke ibu. Takut kepikiran, padahal anaknya yang telat lulus ini mau diwisuda. Lalu, aku juga diminta untuk tak mengabarimu lebih dulu. 
      Bu beberapa waktu yang lalu, waktu aku sedang menonton tv bersama bapak, layar kaca itu memperlihatkan potongan cerita tentang orang tua dan anaknya. Aku lupa itu cerita tentang apa dan aku lupa saat itu bicara apa ke bapak, yang kuingat hanya perkataan bapak kemudian. Dia minta aku bersyukur sebab masih punya orang tua yang lengkap, yang masih sehat. Dia juga mengakui perasaannya sebagai yatim piatu, lalu bola matanya berkaca-kaca. Iya. Bapak yang baru sekali dalam seumur hidup kulihat menangis, itupun ketika lebaran beberapa tahun lalu, bahkan bapak tak menangis ketika ibunya meninggal atau aku saja yang tak tahu. Hari itu, kulihat lagi matanya berkacakaca. Mungkin ia sedang berusaha kuat menahan bulir air di depanku. Aku cuma bisa tersenyum dan lirih mengucap iya untuknya. Besoknya bu, kutemui tulisan bertanggal di balik pintu warung. Nama kedua orang tua bapak berikut tanggal wafatnya. 
       Waktu wisuda sudah dekat bu. Aku sudah memberimu kebanggaan apa? apa wisudaku cukup membuatmu bahagia? Kurasa tidak. Kau bilang, merasa biasa-biasa saja menyambut wisudaku sebab sudah pernah merasai wisudanya mbak Lia. Iya. Kau juga tentu tahu bahwa wisuda tak menjamin anakmu ini menjadi manusia yang luar biasa. Dia hanyalah seremoni pembebasan dari skripsi yang kala itu membuatku banyak menangis. Hanya itu yang bisa kubanggakan mungkin atau tak ada satupun alasan yang layak kusebut. Kini, dia justru jadi simbol keegoisanku padamu. Hanya berkat seremoni yang menghabiskan waktu kau harus menunda untuk menjenguk ibumu yang sakit, satu-satunya orangtua milikmu. Maaf ya bu. Aku tak bisa berbuat banyak selain menahan diri. Entahlah, apa wisuda memang spesial buatku. Tapi aku mau, kau di dekatku. 
       Bu, ini bulan lahirmu. Semoga kau senantiasa berbahagia dengan belahan jiwa dan anak-anakmu ini. Terimakasih untuk banyak kesabaran dan kekuatan selalu bertahan. Semoga simbah masih punya banyak waktu. Semoga aku punya banyak kebahagiaan buatmu. []

Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author