Bocah itu meringkuk lebih dalam di pelukan ibunya. Bulir air
matanya, tak jua bosan menuruni pipi
mulusnya yang kini bagai aliran sungai deras, membasahi baju ibunya yang tetap
setia memangkunya. Memangku segala derita dan luka yang kini sedang menjeratnya.
Ali, bocah itu, hanya sanggup mematuhi kata-kata ibunya tuk menutup telinganya
rapat-rapat. Membiarkan suara-suara bising yang tak ada habisnya mengumpat
penuh nanar diluar gubuk mereka. Hanya berusaha mempercayai ucapan ibunya yang
berkata “Semua akan baik-baik saja”, meski pada kenyataan ini semua tidak
baik-baik saja. Semua kacau, semua musnah karena satu kata yang terlalu naif ia
amalkan. Sebuah amalan yang ternyata sanggup membuat dunia dalam sekejap berpaling memusuhinya. Kejujuran.
Satu sikap yang bahkan membuat gurunya, sosok yang selalu menggembar-gemborkan
kejujuran dalam pelajaran PPKN itupun, memandang sinis kearahnya. Ali tak cukup
mengerti apa yang salah, apa yang ia perbuat dengan kejujuran yang kini tengah
membantainya. Yang jelas lewat isak tangis ibu dan gurat khawatir ayahnya, bocah
11 tahun itu tau, betapa berat beban yang sedang ia tanggung sekarang. Hingga
orang-orang dewasa yang mengatas namakan cinta anak di luar sana itu, begitu dengan
ganasnya menghujat keluarganya.
*****
Pagi itu, suasana sekolah masih sepi. Ali melangkah lebih awal ke
sekolah, menyiapkan mental dan pikirannya untuk menghadapi ujian nasional hari
ini. Perasaan khawatir dan nervous, masih saja menggelayuti hatinya
sejak kemarin. Meskipun ia termasuk anak yang paling pandai sekalipun
disekolahnya, momok ujian nasional tetap saja terlihat sebagai sesuatu yang
terlalu menakutkan baginya. Ali
melangkah pelan dan mencoba menarik nafasnya dalam-dalam. Pada saat itu selain dirinya, juga terdapat
segelintir siswa dan guru yang telah hadir. Termasuk bu Sita, wali kelas Ali.
Ketika mereka berpapasan, bu Sita memanggil Ali untuk ikut ke ruang guru. Ali
hanya menuruti perintah bu Sita menuju ke ruangan itu.
“Ali
belajar tidak tadi malam?”, suara bu Sita memecah kesunyian kantor guru. Ali
tersenyum memandang wanita setengah baya didepannya.
“Iya
bu guru, Ali belajar. Tapi tetap aja ndredeg.”
“ndak
papa le, lumrah mau ujian memang seperti itu. Padahal kamu anak pintar kok ndredeg
apalagi teman-teman kamu yang pas-pasan, hayo”, sekali lagi Ali tersenyum
mendengar kelakar Bu Sita.
“le,
ini bu Sita punya jawaban soal-soal ujian nanti. Memang gak semua, tapi
InsyaAllah keluar sebagian. Nanti teman-temannya dibagi ya. Kalo teman-temanmu
tanya ya dikasih tau. Ojo di pek dewe”.
Air
muka Ali berubah seketika. Senyum polosnya menghilang bersamaan dengan keningnya
yang mengerut, bingung.
“Bu
guru, Ali gak berani ngasih temen-temen contekan. Kata ibu, Ali disuruh
ngerjain ujian sendiri. Ndak boleh nengok-nengok”.
Seketika
pula raut wajah Bu Sita turut berubah kaku, menatap tajam ke arah Ali yang
menunduk takut. Wanita itupun menarik napas sangat dalam, mencoba untuk lebih
bersabar menghadapi Ali. Ia sangat tau tentang muridnya itu. Untuk masalah
prinsip, Ali terlalu memegang teguh apa
yang dikatakan oleh ibunya.
“le
kalo seperti ulangan harian begitu gak papa kamu gak nyontek.
Memang harusnya ya seperti itu. Tapi ini Ujian akhir, apa kamu ndak
kasian teman-teman kamu to? Kalo mereka gak lulus gimana
coba?”, Ali hanya diam mematung. Ia mengerti apa yang bu Sita tanyakan, tapi ia
tak mengerti apa yang semestinya dilakukan.
“Ali
kenapa kok diam saja?! Ibu tau apa yang sedang kamu pikirkan. Tapi le, Sekarang ibu cuma
bisa ngandelin kamu untuk menolong teman-temanmu. Ibu harap Ali gak
mengecewakan Ibu dan sekolah. Mestinya kamu itu bisa ngerti!”, nada bu Sita
mulai meninggi, sedangkan Ali hanya bisa menelan ludah getirnya. Rasa kesal
pada bu Sita tiba-tiba menyeruak dalam jiwanya. Ia pun segera pergi
meninggalkan ruang guru dengan satu keyakinan bulat di hatinya.
Ujian Nasional dimulai. Krusak-krusuk
teman-teman Ali mulai terdengar. Beberapa kali pengawas ujian menegur teman Ali
yag ketahuan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman
lainnya. Beberapa kali suarapun terdengar bersahut-sahutan memanggil namanya.
Tapi Ali tetap diam, fokus pada rentetan angka yang berjejer rapi di atas
kertas soal miliknya. Rasa kecewa pada bu Sita masih saja bergelayut di
otaknya. Tapi untuk masalah ujian hari ini, dengan sangat lancar penanya menari
di atas bulatan-bulatan pada lembar jawaban. Ia berusaha menutup telinga
rapat-rapat, dan terus saja memegang teguh nasihat ibunya. Hingga akhirnya
waktu pengerjaan soal berakhir, Ali meletakkan lembar jawabannya pertama kali
ke petugas. Diikuti, tatapan jijik teman-temannya yang kesal karena tingkah
lakunya yang tidak setia kawan. Ali pun segera melangkah pergi. Cukup tak
peduli.
*****
Keadaan diluar masih liar. Celaan,
hujatan dan berbagai hinaan tak jua berhenti berdengung di telinga Ali. Ibunya
berkali-kali menciumi pipi Ali dengan penuh luka dan cinta. Sedangkan ayah Ali
tak henti-hentinya bergulat dengan hape di tangannya. Menghubungi berbagai
pihak yang diharapkan dapat membantu mereka. Deru nafasnya yang cepat, ikut
mewarnai ketegangan suasana di gubuk mereka.
“Ali
keluar!! Bocah ndablek tenan. Pinter kok keblinger!!”, sahutan
lainnya menambah ramai
“Ealah,
bocah lagi metu kemarin sore ae kok sombong. Opo arep
urip dewe, hah?!”.
“Yo,
sampek anakku gak lulus, tak bakar rumahmu”, dan umpatan-umpatan lain yang
terus bergerak tanpa henti. Bagai kesetanan mereka berteriak-teriak,
meninggalkan sisi kemanusiaan yang biasa mereka tanamkan pada anak cucunya. Dan
kini, demi anak cucunya pula, mereka menggadaikan hati di depan gubuk hijau
itu. Pemandangan miris yang begitu keji tertanam di hati Ali. Dalam sayup-sayup
tangis nya, bocah itu berbisik di telinga ibunya “ Buk, emangnya Ali nakal ya?
kan Ali takut dosa kalo nyontekin teman-teman buk”
Wanita
itu cukup tercengang mendengar pertanyaan putra tunggalnya. Rasanya tak ada
lagi daya yang sanggup ia keluarkan tuk menjawab pertanyaan Ali. Meski batinnya
tetap menuntut mulutnya tuk bicara. Dan ia pun sangat ingin membiarkan Ali tau,
tak ada yang salah dengan kejujuran yang kini tengah mengujinya. Namun
kenyataannya, tak ada sepatah katapun yang mampu ia ucapkan, entah terlalu
lelah atau keyakinannya mulai goyah. Ali mendekap Ibunya semakin erat. Debaran
jantungnya masih bergerak sangat cepat bersamaan dengan deru nafasnya yang
mulai terasa sesak, badannya melemah. Tapi bocah itu tak berusaha memahami
kondisi nya saat ini dan juga tak mau peduli jika Ibunya tak menjawab apa yang
ia tanyakan tadi. Tapi satu hal yang kini mulai tertancapkan dalam jiwa
sucinya. Kejujuran ternyata begitu menyakitkan.
Sayup-sayup suara di luar mulai
reda. Ayah Ali melongokkan sedikit kepalanya di jendela, mengintip kedaan di
luar yang mulai mundur. Kepala desa dengan beberapa orang berseragam terlihat
mengendalikan para warganya. Hingga akhirnya mereka bubar dengan beberapa
negosiasi yang telah mereka sepakati secara sepihak.
****
Krusak-krusuk bocah-bocah itu
kembali terdengar. Namun kini hanya tertuju pada satu sudut yang dipaksa untuk
bergerak. Ali menuliskan jawabannya di sobekan kertas dan kemudian melalui
teman disampingnya, kertas tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan
lainnya. Begitu seterusnya hingga semua temannya memiliki jawaban penuh yang
hampir seluruhnya sama. Ujian berakhir dengan senyuman yang terus tersungging
di wajah mereka. Kata-kata manis meluncur deras untuk Ali. Tapi bocah itu hanya
diam, rasa sakit hatinya masih terus menggerogoti. Tak ada rasa nyaman atau
lega yang ia rasakan sekarang. Bahkan rasa takut dan kecewa yang begitu dalam.
Tanpa terasa bulir air matanya mengalir turun, dan penyesalan pun menancap
dalam jiwanya. Ali takut Allah marah. gejolak jiwanya masih terus bergelut. Ada
satu sisi kecil yang timbul memberontak pada apa yang ia perbuat tadi. Tapi
mengingat kejadian kemarin, pemberontakan hatinya hanya mampu dipendam, dan bocah
itu terlalu takut mengungkapkan.
Esok dan esok harinya tak ada yang berbeda. Sapaan teman-teman Ali
di tengah ujian terus merayap dari hari ke hari. Bahkan semakin liar membabui
Ali. Bocah itu hanya pasrah memberikan apa yang mereka harapkan, dengan penuh
rasa tekanan dan takut yang tidak wajar merajai jiwa kecilnya. Untuk menangis
pun Ali tak sanggup, Ia bahkan terlalu takut. Bayangan-bayangan yang mencerca
namanya tak ada habisnya berdengung di kepala Ali, bahkan tak pernah mau pergi.
Hingga terasa pusing. Perasaan itu terus berlanjut dan semakin menumpuk hingga
di hari ujian yang terakhir. Ali sama seperti sebelumnya, terduduk lesu dengan
tatapan hampa. Namun tangannya terus berjalan membulati kertas jawaban, lalu
teman disampingnya memberi kode padanya dan Alipun memberikan kertas jawaban.
Sesuatu yang
aneh terjadi disini. Kertas jawaban yang diberikan Ali memiliki jawaban yang
semuanya sama. Hanya terdiri dari huruf A tanpa B,C,D lainnya. Dengan geram,
teman disamping Ali menginjak kertas jawaban itu dilantai. Sembari memelototi
Ali dengan kesal. Ali menunduk takut, tapi perasaannya terus menyuruhnya
kembali melihat. Ya, bocah itu jelas sangat tau, bahkan mengenali tatapan jahat
itu. Dan tiba-tiba suara-suara nakal berdengung-dengung di otaknya. Ali
bingung, mencari-cari suara itu ke tiap sudut ruang kelas. Ia hanya bisa memejamkan mata dan
menutup telinganya rapat-rapat. Suara itu dan tatapan mata itu terus menghantui
tak juga pergi. Perasaan was-was, takut, dan benci mengepung Ali. Ali kini, tak
mampu mengendalikan jiwanya lagi.
Orang-orang perlahan mendekati Ali
yang tak jua berhenti menangis sejak ujian tadi. Diantara mereka Bu Sita,
teman-teman Ali juga para orang tuanya, menatap penuh iba. Air mata Ali tumpah
pada akhirnya, sesaat setelah pelukan Ibu dan ayah menghambur untuk putra
tercintanya itu. Dan bahkan tak sanggup untuk berhenti. Ratapan yang terdengar
sangat memilukan. Diam-diam penontonpun menangis, pelan-pelan yang kemudian
terdengar garang. Di sekolah, banjir air mata terjadi. Mereka semua tiba-tiba
merasa sangat tak berarti. Bahkan diantara mereka meratapi sesal sembari
memukul kepala mereka sendiri. Tak ada yang
berkata. Hanya Ali yang kini terdiam sangat sedih karena tak ada lagi
air mata yang mampu dikeluarkan. Suaranya hampir habis. Ibu dan ayah Ali pun
kini hanya mampu meratapi nasib, sesal pasti akan menggerogotinya sepanjang
hidup. Perasaan gagal melindungi Ali tak mampu dipungkiri. Tangisan mereka
terus melolong sepanjang hari. Bu Sita tiba-tiba tak sadarkan diri. Begitu pula
beberapa yang lain. Pengorbanan jiwa Ali ternyata mampu menyadarkan orang-orang
tak berbudi itu. Ali, bocah itu, tiba-tiba menjadi sebuah simbol kejujuran yang
tertindas. Dan kini, satu yang tak perlu dicurigai, Penyesalan datang terlambat
lagi.
selesai- by Radhiyyan Pratiwi-cerpen buletin magang manifest "E.coly"