Jejak

Jejak

Minggu, 04 November 2012

Semburat Luka



Bocah itu meringkuk lebih dalam di pelukan ibunya. Bulir air matanya, tak  jua bosan menuruni pipi mulusnya yang kini bagai aliran sungai deras, membasahi baju ibunya yang tetap setia memangkunya. Memangku segala derita dan luka yang kini sedang menjeratnya. Ali, bocah itu, hanya sanggup mematuhi kata-kata ibunya tuk menutup telinganya rapat-rapat. Membiarkan suara-suara bising yang tak ada habisnya mengumpat penuh nanar diluar gubuk mereka. Hanya berusaha mempercayai ucapan ibunya yang berkata “Semua akan baik-baik saja”, meski pada kenyataan ini semua tidak baik-baik saja. Semua kacau, semua musnah karena satu kata yang terlalu naif ia amalkan. Sebuah amalan yang ternyata sanggup membuat dunia dalam  sekejap berpaling memusuhinya. Kejujuran. Satu sikap yang bahkan membuat gurunya, sosok yang selalu menggembar-gemborkan kejujuran dalam pelajaran PPKN itupun, memandang sinis kearahnya. Ali tak cukup mengerti apa yang salah, apa yang ia perbuat dengan kejujuran yang kini tengah membantainya. Yang jelas lewat isak tangis ibu dan gurat khawatir ayahnya, bocah 11 tahun itu tau, betapa berat beban yang sedang ia tanggung sekarang. Hingga orang-orang dewasa yang mengatas namakan cinta anak di luar sana itu, begitu dengan ganasnya menghujat keluarganya.
                                                            *****                    
Pagi itu, suasana sekolah masih sepi. Ali melangkah lebih awal ke sekolah, menyiapkan mental dan pikirannya untuk menghadapi ujian nasional hari ini. Perasaan khawatir dan nervous, masih saja menggelayuti hatinya sejak kemarin. Meskipun ia termasuk anak yang paling pandai sekalipun disekolahnya, momok ujian nasional tetap saja terlihat sebagai sesuatu yang terlalu menakutkan baginya.  Ali melangkah pelan dan mencoba menarik nafasnya dalam-dalam. Pada  saat itu selain dirinya, juga terdapat segelintir siswa dan guru yang telah hadir. Termasuk bu Sita, wali kelas Ali. Ketika mereka berpapasan, bu Sita memanggil Ali untuk ikut ke ruang guru. Ali hanya menuruti perintah bu Sita menuju ke ruangan itu.
“Ali belajar tidak tadi malam?”, suara bu Sita memecah kesunyian kantor guru. Ali tersenyum memandang wanita setengah baya didepannya.
“Iya bu guru, Ali belajar. Tapi tetap aja ndredeg.
ndak papa le, lumrah mau ujian memang seperti itu. Padahal kamu anak pintar kok ndredeg apalagi teman-teman kamu yang pas-pasan, hayo”, sekali lagi Ali tersenyum mendengar kelakar Bu Sita.
le, ini bu Sita punya jawaban soal-soal ujian nanti. Memang gak semua, tapi InsyaAllah keluar sebagian. Nanti teman-temannya dibagi ya. Kalo teman-temanmu tanya ya dikasih tau. Ojo di pek dewe”.
Air muka Ali berubah seketika. Senyum polosnya menghilang bersamaan dengan keningnya yang mengerut, bingung.
“Bu guru, Ali gak berani ngasih temen-temen contekan. Kata ibu, Ali disuruh ngerjain ujian sendiri. Ndak boleh nengok-nengok”.
Seketika pula raut wajah Bu Sita turut berubah kaku, menatap tajam ke arah Ali yang menunduk takut. Wanita itupun menarik napas sangat dalam, mencoba untuk lebih bersabar menghadapi Ali. Ia sangat tau tentang muridnya itu. Untuk masalah prinsip, Ali terlalu  memegang teguh apa yang dikatakan oleh ibunya.
le kalo seperti ulangan harian begitu gak papa kamu gak nyontek. Memang harusnya ya seperti itu. Tapi ini Ujian akhir, apa kamu ndak kasian teman-teman kamu to? Kalo mereka gak lulus gimana coba?”, Ali hanya diam mematung. Ia mengerti apa yang bu Sita tanyakan, tapi ia tak mengerti apa yang semestinya dilakukan.
“Ali kenapa kok diam saja?! Ibu tau apa yang sedang  kamu pikirkan. Tapi le, Sekarang ibu cuma bisa ngandelin kamu untuk menolong teman-temanmu. Ibu harap Ali gak mengecewakan Ibu dan sekolah. Mestinya kamu itu bisa ngerti!”, nada bu Sita mulai meninggi, sedangkan Ali hanya bisa menelan ludah getirnya. Rasa kesal pada bu Sita tiba-tiba menyeruak dalam jiwanya. Ia pun segera pergi meninggalkan ruang guru dengan satu keyakinan bulat di hatinya.
            Ujian Nasional dimulai. Krusak-krusuk teman-teman Ali mulai terdengar. Beberapa kali pengawas ujian menegur teman Ali yag ketahuan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman lainnya. Beberapa kali suarapun terdengar bersahut-sahutan memanggil namanya. Tapi Ali tetap diam, fokus pada rentetan angka yang berjejer rapi di atas kertas soal miliknya. Rasa kecewa pada bu Sita masih saja bergelayut di otaknya. Tapi untuk masalah ujian hari ini, dengan sangat lancar penanya menari di atas bulatan-bulatan pada lembar jawaban. Ia berusaha menutup telinga rapat-rapat, dan terus saja memegang teguh nasihat ibunya. Hingga akhirnya waktu pengerjaan soal berakhir, Ali meletakkan lembar jawabannya pertama kali ke petugas. Diikuti, tatapan jijik teman-temannya yang kesal karena tingkah lakunya yang tidak setia kawan. Ali pun segera melangkah pergi. Cukup tak peduli.
                                                              *****
            Keadaan diluar masih liar. Celaan, hujatan dan berbagai hinaan tak jua berhenti berdengung di telinga Ali. Ibunya berkali-kali menciumi pipi Ali dengan penuh luka dan cinta. Sedangkan ayah Ali tak henti-hentinya bergulat dengan hape di tangannya. Menghubungi berbagai pihak yang diharapkan dapat membantu mereka. Deru nafasnya yang cepat, ikut mewarnai ketegangan suasana di gubuk mereka.
“Ali keluar!! Bocah ndablek tenan. Pinter kok keblinger!!”, sahutan lainnya menambah ramai
Ealah, bocah lagi metu kemarin sore ae kok sombong. Opo arep urip dewe, hah?!”.
Yo, sampek anakku gak lulus, tak bakar rumahmu”, dan umpatan-umpatan lain yang terus bergerak tanpa henti. Bagai kesetanan mereka berteriak-teriak, meninggalkan sisi kemanusiaan yang biasa mereka tanamkan pada anak cucunya. Dan kini, demi anak cucunya pula, mereka menggadaikan hati di depan gubuk hijau itu. Pemandangan miris yang begitu keji tertanam di hati Ali. Dalam sayup-sayup tangis nya, bocah itu berbisik di telinga ibunya “ Buk, emangnya Ali nakal ya? kan Ali takut dosa kalo nyontekin teman-teman buk”
Wanita itu cukup tercengang mendengar pertanyaan putra tunggalnya. Rasanya tak ada lagi daya yang sanggup ia keluarkan tuk menjawab pertanyaan Ali. Meski batinnya tetap menuntut mulutnya tuk bicara. Dan ia pun sangat ingin membiarkan Ali tau, tak ada yang salah dengan kejujuran yang kini tengah mengujinya. Namun kenyataannya, tak ada sepatah katapun yang mampu ia ucapkan, entah terlalu lelah atau keyakinannya mulai goyah. Ali mendekap Ibunya semakin erat. Debaran jantungnya masih bergerak sangat cepat bersamaan dengan deru nafasnya yang mulai terasa sesak, badannya melemah. Tapi bocah itu tak berusaha memahami kondisi nya saat ini dan juga tak mau peduli jika Ibunya tak menjawab apa yang ia tanyakan tadi. Tapi satu hal yang kini mulai tertancapkan dalam jiwa sucinya. Kejujuran ternyata begitu menyakitkan.
            Sayup-sayup suara di luar mulai reda. Ayah Ali melongokkan sedikit kepalanya di jendela, mengintip kedaan di luar yang mulai mundur. Kepala desa dengan beberapa orang berseragam terlihat mengendalikan para warganya. Hingga akhirnya mereka bubar dengan beberapa negosiasi yang telah mereka sepakati secara sepihak.
                                                                 ****
            Krusak-krusuk bocah-bocah itu kembali terdengar. Namun kini hanya tertuju pada satu sudut yang dipaksa untuk bergerak. Ali menuliskan jawabannya di sobekan kertas dan kemudian melalui teman disampingnya, kertas tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Begitu seterusnya hingga semua temannya memiliki jawaban penuh yang hampir seluruhnya sama. Ujian berakhir dengan senyuman yang terus tersungging di wajah mereka. Kata-kata manis meluncur deras untuk Ali. Tapi bocah itu hanya diam, rasa sakit hatinya masih terus menggerogoti. Tak ada rasa nyaman atau lega yang ia rasakan sekarang. Bahkan rasa takut dan kecewa yang begitu dalam. Tanpa terasa bulir air matanya mengalir turun, dan penyesalan pun menancap dalam jiwanya. Ali takut Allah marah. gejolak jiwanya masih terus bergelut. Ada satu sisi kecil yang timbul memberontak pada apa yang ia perbuat tadi. Tapi mengingat kejadian kemarin, pemberontakan hatinya hanya mampu dipendam, dan bocah itu terlalu takut mengungkapkan. 
                Esok dan esok harinya tak ada yang berbeda. Sapaan teman-teman Ali di tengah ujian terus merayap dari hari ke hari. Bahkan semakin liar membabui Ali. Bocah itu hanya pasrah memberikan apa yang mereka harapkan, dengan penuh rasa tekanan dan takut yang tidak wajar merajai jiwa kecilnya. Untuk menangis pun Ali tak sanggup, Ia bahkan terlalu takut. Bayangan-bayangan yang mencerca namanya tak ada habisnya berdengung di kepala Ali, bahkan tak pernah mau pergi. Hingga terasa pusing. Perasaan itu terus berlanjut dan semakin menumpuk hingga di hari ujian yang terakhir. Ali sama seperti sebelumnya, terduduk lesu dengan tatapan hampa. Namun tangannya terus berjalan membulati kertas jawaban, lalu teman disampingnya memberi kode padanya dan Alipun memberikan kertas jawaban.  
Sesuatu yang aneh terjadi disini. Kertas jawaban yang diberikan Ali memiliki jawaban yang semuanya sama. Hanya terdiri dari huruf A tanpa B,C,D lainnya. Dengan geram, teman disamping Ali menginjak kertas jawaban itu dilantai. Sembari memelototi Ali dengan kesal. Ali menunduk takut, tapi perasaannya terus menyuruhnya kembali melihat. Ya, bocah itu jelas sangat tau, bahkan mengenali tatapan jahat itu. Dan tiba-tiba suara-suara nakal berdengung-dengung di otaknya. Ali bingung, mencari-cari suara itu ke tiap sudut ruang  kelas. Ia hanya bisa memejamkan mata dan menutup telinganya rapat-rapat. Suara itu dan tatapan mata itu terus menghantui tak juga pergi. Perasaan was-was, takut, dan benci mengepung Ali. Ali kini, tak mampu mengendalikan jiwanya lagi.
            Orang-orang perlahan mendekati Ali yang tak jua berhenti menangis sejak ujian tadi. Diantara mereka Bu Sita, teman-teman Ali juga para orang tuanya, menatap penuh iba. Air mata Ali tumpah pada akhirnya, sesaat setelah pelukan Ibu dan ayah menghambur untuk putra tercintanya itu. Dan bahkan tak sanggup untuk berhenti. Ratapan yang terdengar sangat memilukan. Diam-diam penontonpun menangis, pelan-pelan yang kemudian terdengar garang. Di sekolah, banjir air mata terjadi. Mereka semua tiba-tiba merasa sangat tak berarti. Bahkan diantara mereka meratapi sesal sembari memukul kepala mereka sendiri. Tak ada yang  berkata. Hanya Ali yang kini terdiam sangat sedih karena tak ada lagi air mata yang mampu dikeluarkan. Suaranya hampir habis. Ibu dan ayah Ali pun kini hanya mampu meratapi nasib, sesal pasti akan menggerogotinya sepanjang hidup. Perasaan gagal melindungi Ali tak mampu dipungkiri. Tangisan mereka terus melolong sepanjang hari. Bu Sita tiba-tiba tak sadarkan diri. Begitu pula beberapa yang lain. Pengorbanan jiwa Ali ternyata mampu menyadarkan orang-orang tak berbudi itu. Ali, bocah itu, tiba-tiba menjadi sebuah simbol kejujuran yang tertindas. Dan kini, satu yang tak perlu dicurigai, Penyesalan datang terlambat lagi.

selesai-  by Radhiyyan Pratiwi-cerpen buletin magang manifest "E.coly"
Continue Reading...

SELALU TENTANG KAMU


                                           


 ”Nesya!”
“Vi..Vino” ucap  Vino sembari menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum geli, padahal dulu dia pacar kecilku kok malah kenalan begini sih? Kelihatan banget Vino kikuk. Gak tertutupi aku pun begitu. Tentu saja setelah 8 tahun kami berpisah, karena aku yang harus ikut orang tua pindah dinas ke Bandung. Gak nyangka, cowok yang tengah berdiri di depanku sekarang ini cakep banget. Dengan badannya yang proporsional pula. Haduh… bikin meleleh pisan lihat mata tajamnya yang lagi kikuk. Hahaha.. Vino,Vino. Gak inget apa dengan kegilaan-kegilaan waktu kita SD dulu. Sampai main pacar-pacaran segala. Uh, pengen banget rasanya memeluk dia saat ini. Aku kangen banget sama Vino. Dulu kita kan terkenal sebagai preman couple dari TK sampai kelas 3 SD. Tapi kenapa ya, sikap Vino terlihat aneh? Sepertinya Cuma aku saja yang merasa happy ketemu dia lagi. Tiba-tiba saja Vino melepaskan tangannya secara kasar dari ku. Aku menatapnya heran. Ini Vino ku yang dulu kan?
“Nesya pindah di sekolahnya Vino ya?” tanya mama Vino membuyarkan perasaan kecewaku. Aku mengangguk pada sahabat mamaku itu.
“Vin, besok Nesya berangkat sekolah bareng kamu. Dia kan masih baru, belum punya teman. Jagain dia ya” hehehe.. aku nyengir lebar mendengar amanat tante Ayu. Bareng Vino? Dijagain Vino? Siapa yang nolak sih..
Gak..gak usah tan. Ngerepotin Vino ntar.” Jawabku sok jual mahal. Padahal di dalam hati lagi teriak heboh, ‘Gak usah dengerin kata-kata Nesya tadi ya tan. Tadi Cuma bohongan aja. Nesya gak bakal nolak kok dianterin Vino. Bener deh’ hihihi.. dan kemudian kulihat ekspresi muka Vino yang sumpah aneh dan gak banget. Maksudnya apa tuh? Disuruh jaga cewek cakep gini masak gak mau? Dasar..
Ma, Vino..”
No comment” seru tante Ayu sambil berlalu untuk ngerumpi bareng mama papaku di luar.
Vino melengos dan kemudian duduk di sofa yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku tersinggung banget sama sikapnya itu.
Kalo kamu gak mau gak papa. Aku gak maksa”omongku rada ketus. Vino melirik ke arahku dengan tatapan cute abis. Aduduh, nih orang kuat banget pesonanya.
Kamu kira segampang kamu ngomong  gak usah gitu?! Mamaku pasti ngamuk tau”
Loh, kenapa jadi dia yang nyolot sih?
Dasar anak mami! Kasian banget sih, beraninya di belakang. CEMEN!!” ku lihat Vino berdiri dengan  tatapan gak terima. Dia berjalan mendekati aku. Dan terus berjalan sampai aku mundur-mundur dan terpojok di tembok. Sekarang jarak kami Cuma satu jengkal! Eh kalo lagi di adegan film nih, adegan kayak gini tuh mau dicium. Haah?!! Awas saja kalo sampai dia lakuin hal itu. Tiba-tiba saja Vino menjatuhkan batu kecil ke lantai. Maksudnya?
Perang dimulai loser!” ucapnya tepat di telinga kananku, lalu melenggang pergi begitu saja. Perang katanya?  SIAAAL.... aku gak terima sama kelakuannya itu. GAK TE RI MA.
“Vino!!!” panggilku keras. Dia menoleh dan THAG, ku lempar batu kecil tadi tepat mengenai kepalanya. Vino mengaduh.
Accept” jawabku mantap. Lalu berlari pergi dari rumahnya. Aku benci Vino.
                                                                        ****
            Perkenalkan nama saya Nesya Alifagustita. Pindahan dari Bandung....bla,bla,bla..”
Begitulah perkenalan singkatku di hari pertama masuk sekolah baru.  Sungguh, aku menyukai sekolah baruku ini. Semua teman baruku baik, terutama Zahra yang kini jadi teman sebangkuku. Dan yang lebih baik lagi aku gak satu kelas sama si Kopin. Yang ku maksud kopin itu, tentu saja Vino, Kodok vino. Dari tadi pagi, udah bikin Bete terus. Bentak-bentak aku gak jelas, tapi di depan mama sopannya selangit. Dasar penjilat!
Waktu lagi asyik melamun, Zahra nyamperin aku.
“Nes, kamu sodaranya Vino?” tanya Zahra tiba-tiba. Aku menoleh kaget.
Bukan kok. Kita temen dari orok”
Ooh.. pantesan”
Pantes kenapa?”
Dia kelihatan dekat dan gak cuek gitu sama kamu. Kelihatan manis”
GUBRAKK... dekat dan gak cuek? Di garis bawahin deh. Aku kan musuhnya sekarang. Zahra gak salah ngomong kah.
“Zahra, aku itu lagi mulai perang sama dia mulai kemarin. Dan kamu bilang kita deket? Gak mungkin sayang, karena aku itu benci banget sama dia!” Zahra malah ngakak.
Dasar aneh. Ya udah yuk ke kantin. Pengen gado-gado nih.” Meskipun aku masih penasaran, tapi ku iyakan saja ajakannya ke kantin.
            Aku dan Zahra banyak membicarakan tentang aku selama jalan menuju kantin. Saat melewati lapangan basket, ada satu hal yang membuat perhatianku tersita. Gerombolan cewek yang sedang berteriak histeris di pinggir lapangan. Dan aku dengar mereka teriak VINO!! Langkahku berhenti mendadak, ku perhatikan sesosok pria tampan yang baru saja mencetak 3point. Cool!
Kok berhenti?” konsentrasiku buyar oleh tepukan Zahra di pundakku.
“Oh, eh i..itu Vino..” Zahra tersenyum.
Naksir ya? Katanya benci”
Gak lah Ra, kita kan musuh” Zahra terkekeh.
“Tapi aku gak akan heran kok kalo kamu suka sama dia. Semua cewek di sini juga gitu Nes. Tapi dia nya super cuek sih, kasar lagi orangnya. Btw, tadi aku lihat kamu dianter Vino ke ruang guru. Makanya aku pikir dia care banget sama kamu. Buktinya dia mau nganter dan nunggu kamu sampai selesai dan sampai gak ikut ulangannya pak Kusno. Keren banget!” aku bengong mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Zahra. Hiperbola deh nih anak.
“Dia kan memang dapet mandat dari mamanya buat nganterin aku Ra”
Sampai rela telat ikut ulangannya pak Kusno gitu? Halo.. Nesya sayang! Kamu tau gak sih, pak Kusno itu guru paling killer di sekolah ini. Kalo memang si Vino dapat mandat, bisa aja kan dia nganter terus cepet-cepet balik ke kelasnya. Ngapain juga nunggu kamu lama-lama?”
            Oo , bener juga sih, kenapa Vino kayak gitu ya? halaah Nesya, kan Vino sendiri yang bilang waktu itu. Dia takut sama mamanya. Ya, pasti itu alasannya.
Dia kan...” kalimatku di potong Zahra yang berteriak memanggil namaku, yang kemudian dilanjutkan benturan yang ku rasakan di kepalaku. Rasanya pusing, bintang-bintang berputar dikepalaku dan...
                                                                        ****
            “Nesya”
Ku dengar seorang cowok memanggil namaku. Suara Vino kah? Ku buka mataku perlahan, kepalaku masih pusing. Dan saat mataku membuka lebar, Vino dan Zahra telah berdiri di sampingku.
“Nes, sadar. Gue vino, lo inget gue kan?” tanya Vino dengan bodohnya.
Kamu kira aku amnesia?” jawabku sambil berusaha menjitak kepalanya. Vino, tertawa. Apa? Vino ketawa. Gak salah lihat kan. Kesan pertamaku melihat tawanya, Ya ampuun CAKEP gila..
Ku lirik Zahra yang tengah berdiri di samping vino, ia mengedipkan matanya padaku. Aku Cuma nyengir. Entah kenapa aku begitu berharap semua yang Zahra katakan padaku tadi benar. Vino gak membenciku. Vino, tetap Vinoku yang dulu. Tapi kok...
Heh, cepet bangun. Dah waktunya pulang tau. Dasar manja!” tiba-tiba saja Vino membentakku setelah Zahra pulang beberapa menit yang lalu. Nih orang kok mirip bunglon sih. Bentar baik, bentar galak. Maunya apa sih.
Ya udah, pulang sana. Aku disini aja”
Kalo mama kamu nanya, aku mesti jawab apa hah?”
Bilang aja aku di gigit buaya. Puas lo!”
Cepetan!”
“GAK”
aku gendong”
Hening..
            Tanpa banyak cap cip cup, Vino meraih bahuku untuk duduk dan menggendongku di punggungnya. Aku Cuma bisa pasrah karena tubuhku yang masih lemah. Jantungku berdegup kencang. Aduh Nesya, Vino pasti bisa ngerasain debaran jantung kamu yang segitu kencangnya. Bau parfum Vino begitu menenangkan. Aku gak ngerti deh. Yang pasti aku merasa seneng. Vino.. kenapa sih kamu mesti bersikap seperti ini sama aku?
            Sepanjang jalan menuju mobil, Vino Cuma diam. Seperti menikmati tiap langkah yang ia lalui bersamaku. Hehe.. itu kan mauku. Vino, kamu tau gak. Aku dari dulu selalu..
 Selalu tentang kamu.
                                                                        ****
            Beberapa minggu kemudian ada pengumuman prom nite party yang mengharuskan datang berpasangan.
Aku sama siapa nih Ra?”
Sama Vino aja.”
Gak  ah, sama dia. Paling dia juga gak mau”
Kalo sama aku, kamu mau gak?” aku dan Zahra segera berbalik ke belakang. Oh, Rasya. Lo, dia kan teman basketnya Vino.
Kamu ngajak aku atau Zahra?”tanyaku heran. Rasya tertawa.
Kamu lah. Zahra kan udah punya cowok” Oh iya, baru inget kalo Zahra baru jadian seminggu yang lalu. Tunggu, kira-kira nanti Vino ngajak aku bareng gak ya? ah, ngapain juga mikirin dia. Mana mungkin juga Vino ngajak aku jadi pasangannya.
Iya sya, aku mau” Rasya tersenyum.
Ok, nanti aku jemput ke rumah kamu. Dekat rumah Vino kan?” aku mengangguk.
See you” Rasya pun berbalik pergi. Oh, akhirnya dapat pasangan juga.
                                                                        ****
DIN..DIN..
Suara klakson mobil Rasya di depan rumahku.
DIN..DIN..
Iya Sya bentar!” teriakku dari dalam rumah.
DIN..DIN..
Lagi? Huh, nyebelin banget sih nih anak. Ku percepat langkahku untuk membuka pintu. Dan.. ternyata pangeran kodok keselek bangku yang datang. VINO.
Ngapain kamu kesini?”
Jemput nona lelet”
Eh aku maksudnya? Sorry ya tuan kodok. Aku dah punya pasangan prom. Jadi jangan harap deh jadi pasangan promku” jawabku sinis, tapi Vino malah ketawa ngejek.
Nih, mandat dari Rasya. Dia gak bisa jemput karena mobilnya mogok” ucap Vino sembari menunjukkan sms dari Rasya.
Phft..Ok, dan akhirnya tuan putri ini menyerah. Gak mungkin kan gak ikut prom setelah berjam-jam aku dandan di salon. Dan tentu saja aku terlalu telat untuk memesan taksi. Vino tersenyum saat aku duduk di sampingnya. Ku kibaskan rambut panjangku yang tergerai ke samping, sedikit menyindir kelakuannya yang aneh.
Kenapa?” tanyaku ketus.
Jelek banget sih lo”  APA? Dengan santainya dia mengucapkan kata-kata yang gak sopan itu ke aku.  Dasar otak udang!
Aku gak butuh pendapat kamu” jawabku kalem. Gak akan ku biarkan Vino merusak moodku malam ini.
 Tapi aku kan gak buta. Bisa membedakan mana yang cantik dan mana yang jelek” Hmmh..diam Nes, gak usah dijawab. Anggap saja lalat yang nguwing-nguwing gak jelas. Batinku berusaha sabar, sesabar-sabarnya.
“ehm dan aku yakin banget. Di bandingin kamu, Vina pasti lebih can..”
“CUKUP VIN!” bentakku gak tahan lagi “Kalo aku jelek, apa pengaruhnya sih buat hidup kamu? Aku gak suka kamu membandingkan aku sama siapapun. Berhenti disini!” perintahku. Segera ku banting keras  pintu mobilnya, setelah secara mendadak Vino menghentikan laju mobilnya
            Dasar kodok otak udang! Tau yang lebih parah? Dia gak ngejar aku. Mobilnya Cuma diam di tempatnya. Gak bergeming. Aargh.. sebel! Sepertinya acara prom malam ini benar-benar gak akan ku hadiri. Moodku hilang gak berbekas sekarang.
            Hiks... dan semakin aku berjalan menjauh, baru ku sadari berpasang-pasang mata nakal berkeliaran menatapku. Aku risih dan baru ku sadari aku sendiri. Ya Allah mereka mendekat dan mengepungku. Aku takut, mereka mau apa sih?
“Hai cantik?” aku menunduk ngeri sambil terus berdoa dalam hati. Dan kemudian seseorang menarik lengan kiriku. Mama...
Aduh beb dicariin kemana-mana juga. Ternyata disini” aku tau pemilik suara itu. Suara Vino!
Cewek lo Vin?” ku lihat Vino mengangguk. Ku tatap wajah mereka satu persatu, heran. Karena ternyata, para berandal ini kenal Vino.
Iya. Ayo beb, jangan sampai telat. Gue balik dulu bro!” Vino pun segera merangkul pundakku dan balik ke mobil.
Dan kemudian, tess.. air mataku turun deras menghujani wajahku. Ya Allah... kalo tadi Nesya di apa-apain gimana? Nesya kan masih pengen sekolah, pengen jadi dokter dulu. Terus punya suami yang cakep kayak Vino. Hwaa..baru inget. Kalo tadi gak ada Vino gimana coba masa depanku.
“Vin... makasih ya” ucapku pelan. Pelan banget. Emang dasar payah, masih saja aku jual gengsi . Vino Cuma diam. Tetap fokus pada setir mobilnya. Aku yakin banget meskipun suaraku kecil, Vino masih bisa mendengar apa yang ku katakan. Tapi gak tau kenapa ia masih bersikap seperti itu padaku. Dadaku terasa perih. Ternyata segitu besarnya kebencian Vino padaku.
            Beberapa saat kemudian mobil berhenti, tapi disini bukan rumahku ataupun taman cinta yang sedang ada pesta prom nitenya. Yang terlihat hanyalah hamparan sebuah bukit yang disinari beberapa lampu saja. Aku bingung sedangkan Vino malah menatapku sembari tersenyum.
Turun yuk Nes” ajaknya lembut. Tanpa menunggu jawaban dari ku, ia langsung menarik tanganku dan mengajakku pergi ke puncak bukit. Kami duduk diatas rumput hijau yang juga dihampari ilalang. View nya cantik banget. Kita bisa lihat bintang secara luas dari atas sini. Benar-benar bisa membuatku melupakan peristiwa tak mengenakkan tadi.
Bintangnya cantik banget ya Nes. Kayak kamu” ujar Vino memecah kebisuan diantara kami. Apa? Dia bilang aku cantik? Ku tatap wajah Vino lekat-lekat dan dia tersenyum.
“sadar gak sama yang kamu ucapin tadi? Mau kamu apa sih Vin, tega banget kamu permainin aku” bentak ku gak tahan. Tentu saja aku marah. Gara-gara dia juga kan peristiwa tadi bermula. Kini Vino menatapku tajam dan tak sedetikpun ia mengalihkan pandangannya dari mataku. Jantungku berdegup cepat. Gak tau kenapa.
Maaf Nes, aku memang salah. Aku masih merasa kesal saat kamu datang kesini. Karena kamu pindah ke Bandung secara tiba-tiba. Aku tau gak seharusnya aku bersikap seperti ini. Selalu memusuhi kamu”
Itu udah lama Vin. Dan kamu tau itu bukan kesalahan aku.”
Iya, tapi aku sakit Nes waktu kamu pergi. Aku merasa kehilangan banget”
Hening…
 Vino, dia sadar gak sih sama ucapannya tadi? Karena aku menyadari aku sangat bahagia mendengar tiap kata yang ia ucapkan itu.
Kita belum putus kan Nes?”
Maksud kamu?”
Kita masih pacaran, waktu kamu pindah ke Bandung. Kita belum putus Nes” ucap Vino mantap. Apa?! Bahkan Vino masih menganggap aku pacarnya. Oh God..
Vino, itu Cuma pacarannya anak kecil. Cuma main-main”
Aku gak main-main Nes. Bahkan aku masih setia sama kamu, sampai detik ini!”
Apa lagi ini? Aku gak sedang bermimpi kan. Haduuh.. air mataku turun lagi. Dia.. Vino ku, benarkah? Kupeluk tubuh Vino erat-erat. Dan terus menangis di bahunya. Ternyata firasatku selama ini salah. Vino gak pernah membenciku. Aku nangis lagi. Ku tatap wajahnya yang masih tersenyum manis itu.
Aku sayang kamu Vin”
Vino mengusap air mataku dan mengecup lembut keningku.
Aku selalu Nesya. Selalu sayang kamu”
Dan selanjutnya, sudah tak terbendung lagi ribuan air mata yang turun di pipiku. Aku bahagia mendengar tiap kata yang keluar dari bibirnya. Vino menggenggam tanganku, lalu menciumnya. Rasanya seperti ada hawa plong yang keluar dari diriku. Dan satu hal yang telah ku ketahui saat ini, impianku memiliki suami ganteng seperti Vino bukanlah mustahil tentunya! Yippy... Thanks God. Satu persatu mimpiku tercapai. Berita baik lainnya, aku diterima di fakultas kedoteran Universitas ternama. ^^

by Radhiyyan Pratiwi

Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author