Saya sedang sangat rindu menulis. Maka hari ini, akan saya
ceritakan sedikit kisah tentang beberapa mimpi dan beberapa kerinduan
setelahnya.
Aplah arti sebuah nama? saya kira penting. Seorang kawan KKN saya bilang, nama adalah jati dirimu. Memang benar nama adalah sebuah doa untuk si empunya. Lewat sebuah nama pula, ada mimpi bapak yang ditiupkan di dalamnya. Jadi arti
Radhiyyan Pratiwi itu apa? Haha... saya sudah tau makna dua baris nama itu.
Gegara sering ditanyai arti nama saya waktu KKN, terlebih dosen pembimbing ikut
tanya, saya jadi tambah penasaran. Karena sejak kecil, ketika mengaji di surau
bersama pak ustadz, beliau juga gak bisa mengartikan nama saya padahal semua
nama teman bisa diartikannya. Di google
ataupun sosmed, nama ini juga hanya satu atau dua orang yang memakainya. Maka
ketika berkesempatan pulang Maret lalu, saat tengah menonton tv bersama bapak
saya tanyakan perihal arti nama fenomenal yang punya penulisan alay ini. Selayaknya bapak bijak lainnya, sembari
menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, bapak saya memulai bicara setelah menelan
makanannya.
“Radhiyyan itu diambil dari bahasa Arab kamu tau.
Radiyallahuanhu. Manusia yang diridhoi. Tapi penulisannya yang sedikit
bergeser. (lah?). Sejarahnya dulu, waktu televisi belum semeriah saat ini,
siaran radio paling diminati. Ada seorang penulis dan sutradara yang masa itu
sangat terkenal dan ceritanya selalu bagus. Kalo sekarang, semacam Raditya Dika
itu, penulis cerita. Penulis jaman dulu itu namanya Dian Pratiwi. Bapak suka
sekali sama Pratiwi itu. Makanya kasih nama kamu terispirasi dari orang itu.
Jadi gak heran kalo kamu sukanya nulis, cocoklah sama namanya” (-red)
Hanya berhooh ria dengan mimik serius, selanjutnya saya
searching di google tentang Dian Pratiwi si penulis yang jadi inspirator bapak
dalam pemberian nama. Hasilnya nihil. Saya gak juga menemukan si pemilik nama
Dian Pratiwi yang pernah berjaya di era nya. Atau saya salah ketik kata kunci
nya ya? Entahlah. Atau jangan—jangan dia seorang penulis lokal di Madiun saja
atau bagaimana. Saya gak tau. Atau jangan-jangan bapak salah ingat nama ya?
Kalau begitu berarti nama asli saya seharusnya bukan Pratiwi? Ah.. tak tau lah.
Cuma yang bisa saya pahami, rasanya saya ingin menyatu
dengan nama ini. Dengan mimpi yang sepertinya bapak rajut dalam nama langka
ini. Rasanya sedih ketika saya tumbuh dewasa tanpa cita-cita untuk mewujudkan
keinginan masa kecil. Bikin novel, jadi penulis, menandatangani buku yang jadi
best sealer. Atau ketika saya pernah berkeinginan kerja di sebuah media. Entah
jadi wartawan atau tim kreatif. Rasanya, sisi-sisi kreatifitas saya luruh. Ditimbuni
beragam laporan, tugas-tugas menjemukan, otak-otak realistis matrealistis dan
bermacam-macam aktivitas robot lainnya. Saya rindu menulis tanpa beban. Tanpa
berpikir tulisan ini jelek atau bagus. Yang penting saya menulis karena saya
cinta. Jadi kapan terakhir kali saya menulis dengan rasa yang demikian? Bahkan
tulisan ini pun sudah saya bumbui beberapa hal, tanpa kebohongan tentu saja.
Tapi memang begitulah manusia. Tak akan sama dengan satu tahun yang lalu,
bahkan seminggu yang lalu bisa saja telah berubah. Karena manusia berkembang.
Entah pikirannya, entah penampilannya atau seujung kuku yang mungkin bertambah
satu atau dua mili.
Jadi disinilah saya sekarang, manusia yang pernah berpikiran
untuk mengubur mimpi-mimpi masa kecilnya. Yang pernah menganggap apa yang saya
lakukan ini, yang saya tekuni adalah sebuah masa buang-buang waktu. Yang tak
bermanfaat sedikitpun. Menyedihkan sekali. Saya pernah berpikiran seperti itu,
dan hingga saat inipun sebenarnya masih ada secuil perasaan semacam ini. tapi,
ketika saya melihat kawan-kawan persma lainnnya, dengan membaca
tulisan-tulisannya, rasanya ada mimpi yang dibangunkan secara paksa.
Ditengah-tengah rutinitas mengerjakan proposal skripsi, saya ingin berontak
saja rasanya. Hidup saya kok jadi sering dikoyak-koyak sepi sekarang. Tiap
harinya Cuma ditemani laptop dan referensi-refrensi keminggris yang bikin
kepala botak. Saya rindu nongkrong sampai pagi. Rindu kopi. Rindu bau asap
rokok yang seringkali membawa inspirasi bagi mereka yang menghisapnya, dan
mungkin saja buat saya yang secara pasif juga menghirupnya. Saya rindu
mendapatkan banyak ilmu tentang apapun. Tentang jurnalistik. Dan menuliskan
hal-hal yang saya rasakan. Saya benar-benar merindukannya.
Apakah semua ini sudah terlambat dimulai ketika saya
menjatuhkan pilihan untuk berkuliah di sini? Sebuah kampus yang kurikulumnya mengajarkan saya serupa manusia robot, yang kemudian harus berkutat dengan proyek penelitian
yang saya rasa begitu berat meskipun belum saya lakukan (salah sendiri). Apakah nantinya saya
harus bekerja di dalam laboratorium dalam pabrik? Atau menjadi R&D atau
pekerjaan lain-lain yang terjadi dalam industri. Atau jangan-jangan menjadi
guru seperti yang ibu cita-citakan. Jika memang begitu, jika memang pekerjaan
itu adalah hal yang real untuk saya lakukan, apakah saya akan jadi manusia yang hidup kebosanan? Apakah mimpi bekerja di media televisi atau surat kabar harus saya
hapus perlahan?
Pertanyaan-pertanyaan itu bikin saya sedih. Tapi ada satu
hal yang akan pasti saya lakukan. Saya sudah menetapkan Jogja sebagai kota
impian saya. Entah untuk tempat berkarir atau hingga punya rumah tetap bersama
suami dan anak cucu saya nantinya. Banyak budaya, ilmu dan kebersahajaan yang
saya rasa begitu kental di tempat itu. Dan entah akan jadi Quality Control,
R&D, tim kreatif, wartawan, desainer, penulis cerita, sutradara atau karir
menarik lainnya, saya tak akan meninggalkan histori nama saya. Tentang menulisnya yang pasti. Bukankah dengan begitu sudah semestinya
saya merasa bahagia? Saya sudah punya pekerjaan yang mempesona. Karena
Pramoedya Ananta Toer bilang, Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dengan
begini, dengan terus menulis, saya akan hidup abadi dalam kebahagiaan.
Semoga.[]