Jejak

Jejak

Rabu, 25 Maret 2015

Tentang Sebuah Nama

Share it Please
Saya sedang sangat rindu menulis. Maka hari ini, akan saya ceritakan sedikit kisah tentang beberapa mimpi dan beberapa kerinduan setelahnya.

       Aplah arti sebuah nama? saya kira penting. Seorang kawan KKN saya bilang, nama adalah jati dirimu. Memang benar nama adalah sebuah doa untuk si empunya. Lewat sebuah nama pula, ada mimpi bapak yang ditiupkan di dalamnya. Jadi arti Radhiyyan Pratiwi itu apa? Haha... saya sudah tau makna dua baris nama itu. Gegara sering ditanyai arti nama saya waktu KKN, terlebih dosen pembimbing ikut tanya, saya jadi tambah penasaran. Karena sejak kecil, ketika mengaji di surau bersama pak ustadz, beliau juga gak bisa mengartikan nama saya padahal semua nama teman bisa diartikannya.  Di google ataupun sosmed, nama ini juga hanya satu atau dua orang yang memakainya. Maka ketika berkesempatan pulang Maret lalu, saat tengah menonton tv bersama bapak saya tanyakan perihal arti nama fenomenal yang punya penulisan alay ini.  Selayaknya bapak bijak lainnya, sembari menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, bapak saya memulai bicara setelah menelan makanannya.
            “Radhiyyan itu diambil dari bahasa Arab kamu tau. Radiyallahuanhu. Manusia yang diridhoi. Tapi penulisannya yang sedikit bergeser. (lah?). Sejarahnya dulu, waktu televisi belum semeriah saat ini, siaran radio paling diminati. Ada seorang penulis dan sutradara yang masa itu sangat terkenal dan ceritanya selalu bagus. Kalo sekarang, semacam Raditya Dika itu, penulis cerita. Penulis jaman dulu itu namanya Dian Pratiwi. Bapak suka sekali sama Pratiwi itu. Makanya kasih nama kamu terispirasi dari orang itu. Jadi gak heran kalo kamu sukanya nulis, cocoklah sama namanya” (-red)
               Hanya berhooh ria dengan mimik serius, selanjutnya saya searching di google tentang Dian Pratiwi si penulis yang jadi inspirator bapak dalam pemberian nama. Hasilnya nihil. Saya gak juga menemukan si pemilik nama Dian Pratiwi yang pernah berjaya di era nya. Atau saya salah ketik kata kunci nya ya? Entahlah. Atau jangan—jangan dia seorang penulis lokal di Madiun saja atau bagaimana. Saya gak tau. Atau jangan-jangan bapak salah ingat nama ya? Kalau begitu berarti nama asli saya seharusnya bukan Pratiwi? Ah.. tak tau lah.
                Cuma yang bisa saya pahami, rasanya saya ingin menyatu dengan nama ini. Dengan mimpi yang sepertinya bapak rajut dalam nama langka ini. Rasanya sedih ketika saya tumbuh dewasa tanpa cita-cita untuk mewujudkan keinginan masa kecil. Bikin novel, jadi penulis, menandatangani buku yang jadi best sealer. Atau ketika saya pernah berkeinginan kerja di sebuah media. Entah jadi wartawan atau tim kreatif. Rasanya, sisi-sisi kreatifitas saya luruh. Ditimbuni beragam laporan, tugas-tugas menjemukan, otak-otak realistis matrealistis dan bermacam-macam aktivitas robot lainnya. Saya rindu menulis tanpa beban. Tanpa berpikir tulisan ini jelek atau bagus. Yang penting saya menulis karena saya cinta. Jadi kapan terakhir kali saya menulis dengan rasa yang demikian? Bahkan tulisan ini pun sudah saya bumbui beberapa hal, tanpa kebohongan tentu saja. Tapi memang begitulah manusia. Tak akan sama dengan satu tahun yang lalu, bahkan seminggu yang lalu bisa saja telah berubah. Karena manusia berkembang. Entah pikirannya, entah penampilannya atau seujung kuku yang mungkin bertambah satu atau dua mili. 
                 Jadi disinilah saya sekarang, manusia yang pernah berpikiran untuk mengubur mimpi-mimpi masa kecilnya. Yang pernah menganggap apa yang saya lakukan ini, yang saya tekuni adalah sebuah masa buang-buang waktu. Yang tak bermanfaat sedikitpun. Menyedihkan sekali. Saya pernah berpikiran seperti itu, dan hingga saat inipun sebenarnya masih ada secuil perasaan semacam ini. tapi, ketika saya melihat kawan-kawan persma lainnnya, dengan membaca tulisan-tulisannya, rasanya ada mimpi yang dibangunkan secara paksa. Ditengah-tengah rutinitas mengerjakan proposal skripsi, saya ingin berontak saja rasanya. Hidup saya kok jadi sering dikoyak-koyak sepi sekarang. Tiap harinya Cuma ditemani laptop dan referensi-refrensi keminggris yang bikin kepala botak. Saya rindu nongkrong sampai pagi. Rindu kopi. Rindu bau asap rokok yang seringkali membawa inspirasi bagi mereka yang menghisapnya, dan mungkin saja buat saya yang secara pasif juga menghirupnya. Saya rindu mendapatkan banyak ilmu tentang apapun. Tentang jurnalistik. Dan menuliskan hal-hal yang saya rasakan. Saya benar-benar merindukannya.
              Apakah semua ini sudah terlambat dimulai ketika saya menjatuhkan pilihan untuk berkuliah di sini? Sebuah kampus yang kurikulumnya mengajarkan saya serupa manusia robot, yang kemudian harus berkutat dengan proyek penelitian yang saya rasa begitu berat meskipun belum saya lakukan (salah sendiri). Apakah nantinya saya harus bekerja di dalam laboratorium dalam pabrik? Atau menjadi R&D atau pekerjaan lain-lain yang terjadi dalam industri. Atau jangan-jangan menjadi guru seperti yang ibu cita-citakan. Jika memang begitu, jika memang pekerjaan itu adalah hal yang real untuk saya lakukan, apakah saya akan jadi manusia yang hidup kebosanan? Apakah mimpi bekerja di media televisi atau surat kabar harus saya hapus perlahan?
               Pertanyaan-pertanyaan itu bikin saya sedih. Tapi ada satu hal yang akan pasti saya lakukan. Saya sudah menetapkan Jogja sebagai kota impian saya. Entah untuk tempat berkarir atau hingga punya rumah tetap bersama suami dan anak cucu saya nantinya. Banyak budaya, ilmu dan kebersahajaan yang saya rasa begitu kental di tempat itu. Dan entah akan jadi Quality Control, R&D, tim kreatif, wartawan, desainer, penulis cerita, sutradara atau karir menarik lainnya, saya tak akan meninggalkan histori nama saya. Tentang menulisnya yang pasti. Bukankah dengan begitu sudah semestinya saya merasa bahagia? Saya sudah punya pekerjaan yang mempesona. Karena Pramoedya Ananta Toer bilang, Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dengan begini, dengan terus menulis, saya akan hidup abadi dalam kebahagiaan. Semoga.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author