Jejak

Jejak

Sabtu, 23 Juli 2016

Still

(Masa kecil Mbak Lia, Mas Saipil dan saya. Di tahun 1994 sepertinya. Saat mulai berjalan jadi sebuah perayaan. ) 
        Sedang senja saat saya dan seorang kawan memutuskan beranjak menuju kereta makan. Kami pesan dua gelas teh hangat sebagai teman menyepi di sudut bangku yang punya meja dan dekat dengan jendela. Tak ada banyak pembicaraan sepanjang kereta berjalan, sebab kami tengah  menikmati senja yang terlalu nyaman untuk ditinggal. Selanjutnya kereta sudah berhenti di stasiun entah sedang kami belum memutuskan kembali ke tempat duduk sebenarnya. Saat itu, di luar kaca jendela terlihat seorang pria tengah memainkan layang-layangnya. Semacam bahan bakar ingatan, kami berdua jadi banyak bicara perkara kenangan.
“Dari kecil aku pingin bisa main layang-layang. Tapi sampai sekarang gak pernah bisa”
“Aku juga gak bisa. Sepupuku bisa bikin layang-layang cuma dari kresek hitam, trus diterbangin tinggi banget yan. Waktu layangannya jebol, dia gak nangis. Enteng aja dia bilang bisa bikin lebih banyak layang-layang” kawan saya yang bakal jadi teman sekamar kos itu menimpali.
“Enak ya. Waktu kecil perkara terbesar cuma matematika”
“Sama PR”
“Sama Bu Lilik”
Kami tersenyum. Lalu mengenang lagi banyak cerita saat masih SMA, lalu SMP dan tak pernah sekalipun berbicara tentang permasalahan yang sempat memberi jarak pada kami. Mungkin saja kami berdua tengah menjajal jadi dua manusia dewasa yang saling pengertian. Sebab tak baik juga untuk telinga demi membicarakan hal sepat yang telah berakhir di masa alay kami, meskipun cuma untuk dikenang.
                Masa peralihan rupanya butuh banyak pengertian untuk bertahan.  Dewasa mungkin saja adalah sandiwara dan kumpulan rasa sakitnya sebab diharuskan  mengerti pada hal-hal yang bising. Lau mesti bicara sendiri sebab pada satu waktu tak bisa dipahami telinga yang lain. Definisi yang gak menarik sama sekali. Jika saja semua anak kecil tau, mungkin tak akan ada yang ingin bertumbuh. Seperti kata Bapak saat mengantar saya ke stasiun sebelum ini. Apapun masalah yang dihadapi, selesaikan sendiri. Lakoni dengan sabar. Sepanjang hidup baru kali ini saya dengar nasihat bapak yang satu ini. Mungkin saja bapak sedang bikin seremoni paling sunyi untuk melepas putrinya menuju “awal”.  Saya bisa mengerti ucapan bapak yang juga bertumbuh selayaknya laki-laki lainnya, suka menyimpan sedihnya sendiri.  Tapi putrimu ini gak yakin sanggup menyimpan ceritanya sendiri, pak. Perempuan seringkali ingin mengekspresikan apa-apa yang dirasa dan kesulitan tanpa berbagi. Dewasa juga butuh prosesnya. Biar suatu hari, akan ada kekasih yang membuat anakmu percaya dan bertumbuh dewasa dengannya.
                Tiga minggu di rumah rasanya cukup untuk memutuskan. Mengingat beberapa tahun belakangan, rasanya saya gak pernah selama itu berada di rumah. Tuhan tunjukkan banyak hal tanpa perlu saya tanyakan. Objek yang sama, di mata saya dulu dan saat ini pun jadi terlihat berbeda. Ada pilinan kusut dalam otak yang merumuskan segala hal menjadi tak biasa. Ah... dewasa kok rumit ya, dek. Tiga minggu saya jadi banyak tahu dan tidak tahu. Ketika balik lagi ke Jember, saya dapat banyak kabar baru. Salah satunya ketika seorang sahabat yang seringkali punya waktu berdua menggalaukan perihal apapun di dunia ini, berujar lirih di depan saya. Ia memutuskan yakin akan menikah, meyakini jodoh dan rencana hidupnya. Saya bahagia tentu saja, bercampur haru mengenang apa-apa yang pernah kami bagi berdua dan sedikit cemburu. Akhirnya kamu sudah menemukannya. 
                Ia telah meyakini apa-apa yang menjadi inginnya. Sedang saya justru mulai limbung dan bergerak pasrah pada apa yang Tuhan ketahui. Belum berani untuk percaya pada hal-hal yang mengambang, sebab belajar dari perjalanan skripsi yang terlalu berharap dan seringkali berakhir sesal. Dan begitu heran ketika seseorang pernah berucap pada saya, “Aku yakin sekali kamu jodohku”. Ah, kok bisa bicara seyakin itu.
                Dewasa punya banyak pilihan hidup dan menuntut kita memutuskan. Tapi kita masih boleh banyak tertawa, bercanda dan bermain meski bukan lagi anak kecil. Terlalu serius mungkin saja membuat dunia jadi tua dan lihat saja banyak piranti make up yang merangkap bocah sekolah dalam tampilan dewasa yang belum waktunya. Banyak bocah yang jadi sotoy dan merasa lebih tua dalam memperlakukan sekitarnya. Kasihan, dia lupa cara untuk bercanda dan lupa bahwa belajar masih saja perihal menyenangkan. Menjadi bodoh bukanlah hina, dek.
                Di rumah, Ilham sering banyak tanya sama saya. Jam 16.00 itu berapa, kata yang terbaca di tivi itu artinya apa, kenapa ini begini, kenapa itu begitu. Jadi bukan hanya Ilham yang belajar, saya juga ikut belajar pada kata-kata yang umumnya seringkali saya dengar tapi gak pernah berusaha saya cerna. Saya belajar menjelaskan dengan cara paling sederhana agar bocah kelas dua itu paham apa yang saya katakan. Ilham diam mendengarkan ketika paham, dan bisa berubah tengil ketika apa yang saya jelaskan terlalu rumit dan gak bisa ia cerna. Jadi bisa bayangkan betapa sulitnya ibu saya dulu ketika mencoba jawab pertanyaan saya tentang bagaimana cara bikin adik.
                Ilham sedang banyak belajar tentang sesuatu di dunianya. Dewasa nanti ia juga akan lebih banyak tahu bukan hanya tentang perkara menyenangkan tapi juga sesal dan hal lainnya mungkin. Tapi nikmati saja hari ini, dek. Sesekali membangkang tak apa, banyaklah bermain dan menggambar komik juga. Puaskan dunia anakmu yang cuma takut pada matematika. Biar sesalmu tumbuh seminimal mungkin.


                Sedang penyesalan saya malah bertambah lagi. Di wisuda mereka saya gak bisa datang sebab banyak hal yang sungguh sulit dijelaskan dari sekedar alasan-alasan klasik.  Maafkan saya teman-teman. Semoga berkah apa yang kalian sandang di belakang nama masing-masing sekarang. Jangan lupa dunia bermain yang masih lapang. Selamat menjelajahi dunia baru, selamat hari anak-anak juga. []
Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author