(Masa kecil Mbak Lia, Mas Saipil dan saya. Di tahun 1994 sepertinya. Saat mulai berjalan jadi sebuah perayaan. ) |
Sedang senja saat saya dan seorang kawan memutuskan beranjak menuju
kereta makan. Kami pesan dua gelas teh hangat sebagai teman menyepi di sudut
bangku yang punya meja dan dekat dengan jendela. Tak ada banyak pembicaraan
sepanjang kereta berjalan, sebab kami tengah menikmati senja yang terlalu nyaman untuk
ditinggal. Selanjutnya kereta sudah berhenti di stasiun entah sedang kami belum
memutuskan kembali ke tempat duduk sebenarnya. Saat itu, di luar kaca jendela
terlihat seorang pria tengah memainkan layang-layangnya. Semacam bahan bakar
ingatan, kami berdua jadi banyak bicara perkara kenangan.
“Dari kecil aku pingin bisa main layang-layang. Tapi sampai sekarang
gak pernah bisa”
“Aku juga gak bisa. Sepupuku bisa bikin layang-layang cuma dari kresek
hitam, trus diterbangin tinggi banget yan. Waktu layangannya jebol, dia gak
nangis. Enteng aja dia bilang bisa bikin lebih banyak layang-layang” kawan saya
yang bakal jadi teman sekamar kos itu menimpali.
“Enak ya. Waktu kecil perkara terbesar cuma matematika”
“Sama PR”
“Sama Bu Lilik”
Kami tersenyum. Lalu mengenang lagi banyak cerita saat masih SMA, lalu
SMP dan tak pernah sekalipun berbicara tentang permasalahan yang sempat memberi
jarak pada kami. Mungkin saja kami berdua tengah menjajal jadi dua manusia dewasa
yang saling pengertian. Sebab tak baik juga untuk telinga demi membicarakan hal
sepat yang telah berakhir di masa alay kami, meskipun cuma untuk dikenang.
Masa peralihan
rupanya butuh banyak pengertian untuk bertahan.
Dewasa mungkin saja adalah sandiwara dan kumpulan rasa sakitnya sebab
diharuskan mengerti pada hal-hal yang
bising. Lau mesti bicara sendiri sebab pada satu waktu tak bisa dipahami
telinga yang lain. Definisi yang gak menarik sama sekali. Jika saja semua anak
kecil tau, mungkin tak akan ada yang ingin bertumbuh. Seperti kata Bapak saat
mengantar saya ke stasiun sebelum ini. Apapun masalah yang dihadapi, selesaikan
sendiri. Lakoni dengan sabar. Sepanjang hidup baru kali ini saya dengar nasihat
bapak yang satu ini. Mungkin saja bapak sedang bikin seremoni paling sunyi
untuk melepas putrinya menuju “awal”.
Saya bisa mengerti ucapan bapak yang juga bertumbuh selayaknya laki-laki
lainnya, suka menyimpan sedihnya sendiri.
Tapi putrimu ini gak yakin sanggup menyimpan ceritanya sendiri, pak. Perempuan
seringkali ingin mengekspresikan apa-apa yang dirasa dan kesulitan tanpa
berbagi. Dewasa juga butuh prosesnya. Biar suatu hari, akan ada kekasih yang membuat anakmu percaya dan
bertumbuh dewasa dengannya.
Tiga minggu di
rumah rasanya cukup untuk memutuskan. Mengingat beberapa tahun belakangan,
rasanya saya gak pernah selama itu berada di rumah. Tuhan tunjukkan banyak hal
tanpa perlu saya tanyakan. Objek yang sama, di mata saya dulu dan saat ini pun
jadi terlihat berbeda. Ada pilinan kusut dalam otak yang merumuskan segala hal
menjadi tak biasa. Ah... dewasa kok rumit ya, dek. Tiga minggu saya jadi banyak
tahu dan tidak tahu. Ketika balik lagi ke Jember, saya dapat banyak kabar baru.
Salah satunya ketika seorang sahabat yang seringkali punya waktu berdua
menggalaukan perihal apapun di dunia ini, berujar lirih di depan saya. Ia
memutuskan yakin akan menikah, meyakini jodoh dan rencana hidupnya. Saya
bahagia tentu saja, bercampur haru mengenang apa-apa yang pernah kami bagi
berdua dan sedikit cemburu. Akhirnya kamu sudah menemukannya.
Ia telah meyakini
apa-apa yang menjadi inginnya. Sedang saya justru mulai limbung dan bergerak
pasrah pada apa yang Tuhan ketahui. Belum berani untuk percaya pada hal-hal yang
mengambang, sebab belajar dari perjalanan skripsi yang terlalu berharap dan
seringkali berakhir sesal. Dan begitu heran ketika seseorang pernah berucap
pada saya, “Aku yakin sekali kamu jodohku”. Ah, kok bisa bicara seyakin itu.
Dewasa punya
banyak pilihan hidup dan menuntut kita memutuskan. Tapi kita masih boleh banyak
tertawa, bercanda dan bermain meski bukan lagi anak kecil. Terlalu serius
mungkin saja membuat dunia jadi tua dan lihat saja banyak piranti make up yang
merangkap bocah sekolah dalam tampilan dewasa yang belum waktunya. Banyak bocah
yang jadi sotoy dan merasa lebih tua dalam memperlakukan sekitarnya. Kasihan,
dia lupa cara untuk bercanda dan lupa bahwa belajar masih saja perihal
menyenangkan. Menjadi bodoh bukanlah hina, dek.
Di rumah, Ilham
sering banyak tanya sama saya. Jam 16.00 itu berapa, kata yang terbaca di tivi
itu artinya apa, kenapa ini begini, kenapa itu begitu. Jadi bukan hanya Ilham
yang belajar, saya juga ikut belajar pada kata-kata yang umumnya seringkali
saya dengar tapi gak pernah berusaha saya cerna. Saya belajar menjelaskan
dengan cara paling sederhana agar bocah kelas dua itu paham apa yang saya katakan.
Ilham diam mendengarkan ketika paham, dan bisa berubah tengil ketika apa yang
saya jelaskan terlalu rumit dan gak bisa ia cerna. Jadi bisa bayangkan betapa
sulitnya ibu saya dulu ketika mencoba jawab pertanyaan saya tentang bagaimana
cara bikin adik.
Ilham sedang
banyak belajar tentang sesuatu di dunianya. Dewasa nanti ia juga akan lebih
banyak tahu bukan hanya tentang perkara menyenangkan tapi juga sesal dan hal
lainnya mungkin. Tapi nikmati saja hari ini, dek. Sesekali membangkang tak apa,
banyaklah bermain dan menggambar komik juga. Puaskan dunia anakmu yang cuma
takut pada matematika. Biar sesalmu tumbuh seminimal mungkin.
Sedang penyesalan
saya malah bertambah lagi. Di wisuda mereka saya gak bisa datang sebab banyak
hal yang sungguh sulit dijelaskan dari sekedar alasan-alasan klasik. Maafkan saya teman-teman. Semoga berkah apa
yang kalian sandang di belakang nama masing-masing sekarang. Jangan lupa dunia
bermain yang masih lapang. Selamat menjelajahi dunia baru, selamat hari
anak-anak juga. []