Jejak

Jejak

Kamis, 28 Januari 2016

Pusat Cahaya

Beberapa postingan di mojok.co suka bikin saya senyum-senyum sendiri. Utamanya pembahasan mengenai perempuan dan mode yang akhir-akhir ini jadi tambah kocak. Contohnya tulisan Kalis Mardiasih berjudul “Sebab Perempuan Butuh Kecerdasan, Bukan Label, Titik!” atau tulisannya yang lain berjudul “Sebuah Curhat untuk Girlband Jilbab Syar’i”. Memang fenomena semacam alis strong, gincu atau monokrom semakin hari jadi menggelikan. Kita semacam lupa bahwa ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan selain dandan. Iklan makin provokatif, kebutuhan Instagram yang harus terus hits menjadikan perempuan sebagai korban lelaku artifisial yang mudah sekali kena rayu. #Phfft. Oh, Tuhan... lindungi kami dari diskonan harga dan para lelaki hidung pelangi.
            Tadi pagi saya baca berita mengenai aktipis perempuan Mesir Shaimaa el-Sabagh yang tewas di pelukan suaminya sebab ditembak sama polisi. Romantis njeh? Dapurmu kui! kalo di film-film, itu mah adegan yang lagi menyayat hati dengan pesan-pesan terakhir yang bikin gak habis pikir, kok masih bisa ngomong panjang. Tapi itu bukan di film, tetapi sebuah kisah nyata seorang aktipis perempuan yang mati dibunuh. Saya salut sekali sama perempuan-perempuan tangguh yang gak peduli dengan embel-embel makhluk lemah dan berani mengejar mimpi tanpa takut batasan-batasan yang menjerat perempuan. Saya ngepens sama Butet Manurung dan seorang perempuan yang mencintai bapak sepenuh hati, ibu saya tentu saja. Jadi saya mau cerita.
            Ibu adalah seorang perempuan dari gunung di Pacitan yang hanya lulusan SD. Alasannya tak meneruskan (mungkin) bukan karena perkara biaya, tetapi berkat kepercayaan orang tua zaman dulu bahwa perempuan tak wajib sekolah tinggi. Saya pikir Ibu jadi salah satu korban marginalisasi perempuan ketika itu. Maka selulus SD, ibu yang masih unyu-unyu itu sudah dilamar seorang lelaki yang di masanya kaya dan diterima oleh simbah saya. Ketika bikin konferensi meja kotak, pakde, simbah kakung, mbah dok dan ibu saya membicarakan hal ini.
“Simbok seneng to karo bocah iku?” ibu saya bertanya ke simbah
“Iyo seneng to”
“Neg ngono simbok ae seng nikah karo wonge”
Tak dapat titik temu untuk harapannya meneruskan sekolah, akhirnya ibu saya yang baru lulus SD itu minggat ke Jakarta. Simbah menyesal lantas untuk membuat ibu kembali lagi pulang ke rumah, simbah mengiming-ngimingi untuk sekolah lagi. Tapi terlambat, ibu sudah kadung berangkat ke Jakarta. Tentu kondisi jaman itu juga tak semudah sekarang, yang tinggal telepon ketika kasih kabar. Alloh punya jalan yang manis untuk ibu.  
            Lantas bertemu dengan bapak yang seorang pekerja kontraktor. Seorang pria yang terpaut usia 10 tahun lebih tua darinya. Tapi, ibu yang belum cinta lalu pulang kembali ke Pacitan. Bapak yang berasal dari Madiun dan kepalang jatuh cinta pada perempuan gunung ini, akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian cintanya ke Pacitan. Jelas bukan perjalanan yang mudah to njeh. Wong bapak jelas nggak bisa tanya ancer-ancer rumah via BBM ke ibu. Hanya dengan modal alamat desa akhirnya bapak berangkat. Rupanya bapak salah masuk rumah, ke rumah orang yang ndilalah nama bapak dan anak perempuannya sama kayak simbah kakung dan ibu. Jadi ketika bapak sudah berbincang panjang lebar dengan bapaknya dan menunggu si pujaan hati keluar, rupanya perempuan yang dinantikan keliru. Bapak langsung saja pamit dan bertanya rumah yang benar. Singkat cerita, bertemulah mereka. Lalu pacaran, menikah, lantas dianugrahi tiga putri dan seorang laki-laki.
            Bapak masih bekerja kontraktor yang suka berpindah-pindah. Hal ini menjadikan masa kecil saya sangat jarang bertemu bapak sampai kelas 3 SD. Mungkin sebab tak mau lagi sering LDR, akhirnya bapak sama ibu memutuskan pindah ke Madiun dan membangun usaha warung sendiri. Lambat laun usaha berganti-ganti dan jadilah bersetia pada usaha angkringan yang setiap malam mereka jagongi.  
            Bapak. Seorang pria yang sangat posesif pada anak-anak perempuannya namun sangat longgar dalam kebebasan bermimpi. Mungkin karena bapak sama ibu sudah terbiasa merantau di masa muda, makanya anak-anaknya pun dibebaskan kemana saja dengan satu syarat, menjaga kepercayaan bapak dan ibu. Hal yang seringkali didengungkan ibu di tiap kesempatan menelpon. Bapak sejak kecil bekerja untuk keluarganya, membiayai sekolah adik-adiknya sampai telat waktunya menikah. Pria yang sanggup melakukan apapun demi keluarga dan seringkali sangat perhatian dalam balutan ‘sok cuek’ padahal kepikiran banget. Salah satu manusia dengan pemikiran kolot yang saya tahu. Haha. buatnya, perempuan haruslah bersikap selayaknya perempuan tulen. Yang harus anggun, sopan, duduk yang begini, cara bicara yang begini, harus bisa ini dan itu. Repot tenan. 
            Ibu. Perempuan yang baru saya sadari suka sekali membaca. Ibu seringkali memborong majalah milik saudara saya atau membaca buku-buku bacaan islami sejenis hidayah atau nurani. Ketika saya kecil, saya suka didongengi sebelum tidur. Cerita kancil, cerita putri-putri dan lain-lain yang jelas saja sudah lupa. Adik saya yang kelas 1 SD juga suka didongengi sejak kecil, dibacakan buku-buku cerita hingga sekarang fasih baca buku ceritanya sendiri. Ibu pendongeng yang baik dan ekspresif. Perempuan yang mudah sekali menangis melihat acara-acara mengharukan di televisi semacam catatan harian Olga, orang pinggiran atau acara kontes menyanyi yang punya scene dimana seorang kontestannya yang punya nasib sedih dieksploitasi demi menaikkan rating. Cengeng yang menular ini kadang bikin kami nangis bareng pas betul-betul sedih. Juuh tibake.
          Dua pusat cahaya dalam hidup saya. Alasan saya untuk terus membuat rencana dan mewujudkannya buat mereka. Terimakasih banyak telah mau merawat bocah ingusan ini. Terimakasih telah tidak menelantarkan saya seperti anak-anak di panti asuhan Rizky di Batam, yang bahkan di umur 4 tahun telah jadi pelaku sodom pada balita yang usianya lebih kecil. Terimakasih telah merawat saya dalam lingkungan yang baik, bukan di lingkungan PSK yang mungkin saja untuk meminta uang jajan pun harus dengan merayu laki-laki. 
             Bapak sedang krisis kepercayaan pada saya sepertinya. Sebab skripsi yang tak kunjung selesai sedangkan tetangga saya yang angkatan di bawah saya sudah lulus. Saya paham sekali, ini tentu saja membuatnya khawatir. Mbak saya saja lulus 4 tahun dengan IPK  yang bagusnya ampunan, selain itu kuliahnya di Malang aman-aman saja. Bisa pulang, ketika waktunya pulang dan sudah kerja dengan nyaman. Perilakunya perempuan sekali. Nggak kayak saya yang jarang sekali pulang, skripsi gak kunjung selesai dan berotak biasa-biasa saja di tengah himpitan cemas dari MEA. Phfftt.. 

           Bapak tenang, saya mengerjakan skripsi kok. Nggak lagi pernah nongkrong kayak kuliah dulu, sudah menolak banyak tawaran ngetrip (wkwkwk) dan nggak lagi ambil kerja. Saya sungguhan fokus sama skripsi dan beberapa upgrade diri. Beberapa godaan memang seringkali mengganggu, bikin tulisan sepanjang ini misalnya. Tapi cuma saat saya ingin sekali. Ini juga karena rindu kamu, pak. Atau kalo lagi stres saya cuma bisa tidur sama makan gara-gara panelis yang gak kunjung peka.
            Maaf ya pak saya harus molor dan gak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Saya juga gak bisa kayak Silvi yang meski molor tapi bisa biayai SPP nya sendiri. *malu. Tapi saya janji bisa membahagiakanmu dan tentu saja membuat bangga. Kapannya itu bikin saya sedih. Jangan tanya dulu ya pak, tapi saya usahakan secepatnya kok.

Lalu bertumbuh jadi perempuan tangguh seperti yang kamu mau, meski gak seperempuan yang kamu harapkan, pak. Boleh ya?

Ibu, terimaksih banyak telah percaya.

Tumben kali ini kalian berkebalikan? Mungkin kalian betulan jodoh. [] 
Continue Reading...

Minggu, 24 Januari 2016

Coban Sewu

        Bisa bikin ending cerpen di tengah ruwetnya skripsi, rupanya mengharukan. hahaha. Beberapa hari ini saya sedang jadi manusia di luar nalar diri sendiri. Kemarin saja mendadak jadi pembalap dari Jember-Malang, nyetir melintasi piket nol dan itu rasanya "gue lagi keren" hahaha. Kita memang tidak pernah tahu sebelum mencobanya ya. 
         Jadi ceritanya saya, Diah, mas Panji sama mbak Yuke berangkat ke Coban Sewu dan Goa tetes di Lumajang-Malang Sabtu lalu. Janjian pukul 07.00 dan baru berangkat pukul 8 pagi. Alhasil kami mesti ngebut untuk lekas sampai di tempat tujuan. Perjalanan yang diperkirakan 2,5 jam jadi molor sebab di perjalanan ban motor mas Panji bocor dua kali. Perjalanan berangkat saya bonceng Sakdiah sebab tubuh masih fit jadinya berani. hehe. Kami sampai di tempat pukul setengah 12 siang. Makan dulu sebelum naik ke air terjun. Hal yang gak saya sangka, mas Panji sama mbak Yuke gak henti-hentinya bilang saya kayak pembalap. haha. Nggak sadar.
        Habis makan, kenyang kami berempat memutuskan naik. Bayar tiket ke goa tetes 5 ribu. lalu jalan melewati jalan yang sudah halus. perjalanan seru melewati anak tangga yang curam ke bawah. kaki saya cukup gemetar mungkin sebab masih kelelahan perjalanan.  Tapi alamnya punya view apik sebagai teman melepas letih dan panik sebab jalan yang curam. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit. Melihat goa tetes dari kejauhan, membuat semangat kami menggebu ingin segera sampai di tujuan. Jalan semakin terjal dan licin. Butuh hati-hati dan waspada agar tidak terpeleset. Lalu sampailah di goa tetes. air terjun berbentuk gundukan yang banyak. Indahnya, bikin nagih. Berfoto sebentar di sini dan belum menuju goa tetesnya kami segera menuju coban sewu untuk menhemat waktu. rencananya, saat pulang baru kami akan menuju goa tetes dibagian atas. Proses selalu jadi hal yang paling berharga, begitu juga dengan perjalanan menuju coban sewu ini. Melewati sungai dengan arus yang cukup besar, naik gunung, jalan menuruni air terjun kecil-kecil jadi hal yang begitu lekat di ingatan. Perjalanan yang menarik dan tidak begitu melelahkan. Lalu sebelum masuk lokasi coban sewu ada pembayaran tiket lagi 5ribu. selanjutnya kami kembali melewati sungai, tangga bambu dan perjalanan yang sama. Kelelahan yang dibayar tunai. Air terjun coban sewu benar-benar memikat. Tak cuma satu air terjun, tapi terdiri dari beberapa. 
         Semacam berada dalam gelas, saya bingung melukiskan indahnya dalam kata-kata. Tak sampai satu jam kami berada di coban sewu tiba-tiba hujan deras turun mengguyur. kami segera balik ke tempat tiket yang sedang kukut. Hujan makin deras, kami pulang bersama bapak-bapak tim SAR coban sewu. mengikuti langkah mereka melalui jalan yang berbeda dari keberangkatan awal. lewat tangga yang menjulang tinggi dan jauh sekali. Rasanya nafas tercekat dan kemengnya berasa sampai sekarang. Bapak-bapak ini keren sekali tiap hari naik turun tangga sepanjang ini. Teriamaksih bapak-bapak. pengalaman luar biasa menjadi pengunjung terakhir di coban sewu yang bahkan ikut kukut bareng bapak-bapak tim SAR nya. hujan makin deras dan kami terus memanjat melawan hujan yang saya sayang. Akhirnya menyatu denganmu. hehee. 
         begitu saja ceritanya. Sebab memang waktu yang tak cukup puas berada disana karena terhalang hujan. Saran, berangkatlah pagi agar bisa sepuasnya menikmati dua wisata alam air terjun paling mengaggumkan. JAdi saya punya air terjun favorit lainnya setelah madakaripura. Sekarang waktunya kembali pada realita. IMR ku sayang, mari kita selesaikan perjuangan ini []
Continue Reading...

Sabtu, 16 Januari 2016

Secangkir Kopi

      BRAKK! Kudengar suara keras menghantam sesuatu di luar. Aku sudah siap menyumpal kuping adikkku  Rafi, yang masih tertidur nyenyak dalam ayunan jariknya. Kalau kaget, dia akan menangis kencang. Dan hal itu malah membuat hantaman benda lainnya saling bersusulan. Ibu bilang, suara tangis Rafi sangat berisik. Dan aku harus menjaga Rafi agar tangisnya yang dulu melebihi minum obat tiga kali sehari, menjadi sangat jarang kecuali jika Rafi benar-benar lapar atau digigit semut gatal. Ketika suara berisik di luar telah berhenti, aku harus segera siap menuju dapur. Setelah ini ibu akan berteriak meminta secangkir kopi. Maka dengan sedikit tergesa-gesa aku berlari menuju dapur untuk merebus air. Aku yakin ibu masih membersihkan cangkulnya di luar. Sudah jadi rutinitas kami sehari-hari.
        Gelembung udara di dalam panci sudah bermunculan. Segera  kuambil sesendok bubuk kopi dari dalam toples, dan terhenti di toples gula. Bersih. Tak ada sisa-sisa gula yang mengerak di dinding toplesnya. Sudah kukerok untuk hari kemarin. Dan hari ini tak ada sisa nya. Mataku terasa begitu pedih, ada air yang menggenang di sudutnya. Namun tak lama, segera kuusap. Kuseduh kopi hitam seadanya meski tanpa gula dan segera melangkah keluar rumah.
        “Ratih, kopi!” bersamaan dengan teriakan keras ibu, aku telah sampai di hadapannya. Kuletakkan kopi pahit di tanah datar di samping duduknya. Ibu meminum kopi pahitku dan hanya menanggapinya dengan diam. Lalu kembali asyik sendiri dengan cangkul di tangannya.
“ibu, kopinya enak?” ku bentuk jempol kananku di hadapannya untuk meminta jawaban. Ibu melihat ke arahku dan tersenyum sembari menirukan membentuk jempol tangan. Air mataku makin deras, menatap wajah ibu yang tersenyum dengan tatapan kosong. Ku peluk tubuh kurusnya yang kotor berlumuran tanah. Aku menangis sekencang-kencangnya. Ibu tak lagi paham rasa kopi yang enak atau tidak. Ia juga tak paham bagaimana mengurus Rafi yang masih balita dan butuh ASI nya. Aku menangisi semua ingatannya yang hilang dan semua kewarasan yang sempat bersemayam di jiwanya. Ku ciumi ibu ku dengan segenap perasaan. Aku merasa bersalah telah memberinya kopi pahit tanpa gula.
        “Maaf ya bu. Maafkan Ratih ya” berkali-kali kuucapkan kalimat itu padanya. Ibu masih tersenyum. Masih saja tersenyum. Tak peduli apapun kesalahanku. Ku belai mesra rambut panjangnya yang gimbal, sama seperti waktu ibu masih sering membelai rambutku. Ku bersihkan sisa tanah yang menempel di bajunya. Aku sayang padanya. Tak peduli apa yang dibicarakan tetanggaku mengenai kelakuannya yang disebut sering kali mengganggu. Wanita ini tetap ibuku, dengan senyum teduhnya yang masih sama. Menentramkan buat aku.

Jember, 27 Desember 2014
Continue Reading...

Jumat, 15 Januari 2016

Beda

        Pertengahan Januari 2016. Saya bangun shubuh tanpa kembali tidur lagi. Entah dapat angin apa, mendadak saya ingin mengulang kebiasaan beberapa waktu lalu. Bangun tidur, sholat shubuh, lalu naik ke lantai tiga. Langit pagi masih terlalu muda dan belum tersentuh polesan sinar matahari utuh. Tapi sudah terang , sebab saya gak akan berani kalo masih gelap. hehe Kemudian duduk diatas atap seorang diri, bicara sama langit yang tadi pagi cuma kelihatan satu bintang. Atap kosan waktu fajar memang tempat yang menyenangkan. Meski gak bisa lihat matahari terbit, tapi segaris warna jingganya bisa terlihat dari sini. Dari ketinggian ini, saya bisa lihat gunung yang kemungkinan adalah argopuro dengan jelas, juga atap kos lainnya yang berdiri tegap dan berasa tak berjarak satu sama lain. Dua kosan selain kos biru ini punya ketinggian yang sama, lantai tiga yang difungsikan sebagai jemuran. Tapi sejauh ini saya gak pernah lihat manusia di atap atau lantai tiga ketika fajar. Kelihatannya cuma saya, dan saya menyukai itu. hahaha. 
        Fajar tak kalah dari senja. Mereka punya sisi romantis yang sama saya kira. Bedanya, tak banyak orang menikmati fajar sebab lebih terlena dalam tidur. Sama kayak saya biasanya. Jadi, karena hari ini terasa beda, saya nikmati fajar sepuasnya. Memperhatikan perubahan warna langit. Menikmati angin dingin. Melihat burung-burung. Melihat ada satu bintang di luasnya langit. Lalu bicara dengan mereka. Kata Sheilaon7 di salah satu lirik lagunya 

"aku mulai nyaman berbicara pada dinding kamar" 

Ah, om Eross. Harusnya kamu bangun pagi lalu lihat langit fajar waktu bikin lirik itu. Bicara sama langit lebih nyaman ketimbang pada dinding kamar. Sumpek. Dinding semacam batasan, sedang langit punya tempat yang luas tanpa batas. Halah.
          Baik, langit sudah berubah. Ia terang sebab matahari telah muncul. Waktunya saya turun untuk kembali ke kamar. Sebab ini hari yang tak biasa maka saya gak ingin tidur, beranjak bersih-bersih kamar seluruhnya lalu masak. Selanjutnya berjanji untuk menyelesaikan excel yang kemarin bikin penat. Saya berasa keren karena menepati janji yang saya buat hari ini. Hehe. Lantas malamnya, saya kedatangan tamu dari Banyuwangi. Mantan mbak kos yang paling saya sayang, mbak Nisa. Manusia cerewet yang akhirnya bikin malam ini panjang penuh tawa dan cerita. Ah, Jumat yang baik.
           Hal-hal lainnya,  saya menangkap sosoknya lagi hari ini. Kami bertemu dalam satu frame yang kaku. Mestinya kami tahu sebabnya. Hingga saya kesulitan harus menuliskan apa. Saya punya banyak pertanyaan yang mengganjal di pikiran, sangat tidak melegakan. Namun terlepas dari itu, saya ingin tahu kamu punya waktu tidur yang cukup. Jangan lupa menjaga pola tidurmu, sebab saya tak ingin melihat kamu tersiksa letih hingga tanganmu gemetar begitu. Kurangi merokok dan banyak minum air putih. Saya hanya khawatir, sam. Ah, kamu pasti punya banyak alasan untuk mengindahkannya.
        Jarak selalu jadi hal yang mengganggu, sam. Katanya, jarak paling mengerikan adalah ketika tak lagi saling memikirkan. Ah, saya nggak ingin meneruskan tulisan ini. Makin kalut dan ngantuk. Mungkin sedang butuh kamu. Tidurlah sam, selamat malam []

Ada yang tak bisa kita mengerti dari alasan angin. begitulah akhirnya kita bertanya 
(tuan pemilik rembulan penuh, 2016)
Continue Reading...

Kamis, 07 Januari 2016

Memori Kereta Api

         Mendadak saya ingat kereta api. Tadi siang saya, Fitri dan temannya ngobrol perkara kenangan kami soal kereta api. Tak banyak perihal kereta yang kami bicarakan sih sebab kami mengobrol ngalor ngidul secara acak. Kami hanya saling mengingat dan melengkapi kenangan tentang jajanan yang dulu sering kami beli ketika kereta mulai berjalan. Biasanya di sepanjang perjalanan Madiun sampai Surabaya akan ada banyak penjaja nasi pecel, brem, wingko. Kemudian Surabaya hingga Jember, nasi yang dijajakan akan berbeda lagi, kebanyakan nasi campur atau nasi rames. Lalu di daerah Klakah para penjual punya komoditi jualan yang berbeda lagi, hampir semua pedagang yang naik dari Klakah menjual buah-buahan misalnya mangga, jeruk, salak. ada juga bibit tanaman dan burung dalam sangkar. Berhenti di Klakah selalu mengingatkan saya pada kedawung yang akhirnya saya tahu bahwa ia adalah nama lain dari trembesi. Tapi warnanya putih. hmm.. Klakah termasuk salah satu pemberhentian stasiun yang khas sebab hal-hal tadi. Masih banyak komoditi jualan yang berlalu lalang tanpa henti di dalam kereta seperti sate kerang, penjual kopi keliling, kerupuk, penjual stroberi, dan masih banyak lagi yang bisa didapatkan sepanjang perjalanan saya dari madiun-jember. Jajan favorit saya di kereta adalah tahu petis Bangil. Tahunya besar dan sambel petisnya mantap. Lalu, jika mau turun ke stasiun, kita bisa beli es dawet di stasiun yang sepertinya sampai sekarang masih setia berjualan disana. Tapi belinya harus sambil lari-lari sebab berkejaran dengan pemberangkatan kereta api. haha. Saya tak pernah lagi melihat adegan orang berlari-larian untuk beli dawet di stasiun Bangil sekarang. 
           Bukan hanya komoditi jualannya yang beragam, cara promosi pedagang pun bermacam-macam. Tak jarang mengundang gelak tawa para penumpang kereta api. Misalnya saja salah satu penjual buah yang saya ingat, ia mengucapkan buah setroberi dengan lafal seteropberi dengan mantap dan wajah yang polos. Orang-orang yang baru bertemu dengannya atau baru pertama naik kereta ini pasti akan tertawa mendengarkannya. 
          Ah.. kereta. Ada pedagang, tentu juga ada pengamen dan pengemis yang bisa bolak-balik dalam kereta. Hal-hal mengganggu dan terkadang juga membuat geli sendiri. Misalnya saja pengamen banci yang bikin teman saya mual sampai gak minat makan karena badannya yang panuan tapi tetap pede menganakan rok sangat mini. Aduh mas, eh mbak. 
           Dulu, ketika awal masa kuliah kereta belum tertata rapi dengan tatanan tempat duduk yang sudah tertera di tiket. Tulisan di tiket no seat. Artinya kita bisa duduk, berdiri, tidur atau jongkok dimanapun sesuka hati. Saya dan kawan-kawan pernah tidak mendapatkan tempat duduk ketika hari setelah hari lebaran. Kereta penuh sesak. Akhirnya kami berdiri. Dua dari kami berempat sudah dapat tempat duduk. Sedang saya dan Fitri masih berdiri di dekat pintu untuk menunggu adanya penumpang yang turun di stasiun berikutnya. Hari mulai siang dan kami lapar, maka kami memutuskan beli pop mie dan memakannya sambil berdiri. Bukan keputusan yang tepat dan cenderung bodoh saya kira. Kondisi kereta yang penuh manusia pedagang berlalu lalang, pengamen, pengemis tentu mengganggu kami menyuapkan mie dalam mulut. Seorang pedagang bahkan dengan polosnya mengangkat lengannya hingga ketiaknya tepat di depan saya yang sedang makan mie. Subhanalloh, sedapnyahh. Belum lagi, kaki yang diinjak-injak oleh pedagang yang rupa-rupanya cukup apatis dengan kondisi sekitar. hufth. Sakit njeeh. 
              Lalu perihal naik turun harga tiket kereta juga saya cicipi. Mulai dari harga Rp 26.000 naik 36,000, 50.000, 120.000 turun lagi saya gak terlalu ingat naik turun harganya hingga yang sekarang ini 80.000-100.000 untuk ekonomi logawa atau sritanjung, kereta yang sejak semester satu setia saya tunggangi. 
            Saya sudah seharusnya berterimakasih pada pak Ignasius Jonan, si Dirut utama KAI. Sejak masa kepemimpinannya KAI berubah drastis. transportasi yang dulu seingkali dianggap kumuh (ingat manusia yang suka jejer diatas atap kereta?) mulai bersolek menjadi transportasi yang nyaman bahkan kelewat berubah drastis dari awal. Saya merasa beruntung jadi salah satu saksi hidup yang mengikuti alur perubahan kereta api khususnya logawa dan sritanjung. dari kereta no seat yang memiliki kamar mandi dengan tempat pembuangan asal cemplung ke luar alias lintas rel, kini berubah menjadi transportasi cukup nyaman dengan AC yang kadang-kadang mati atau bocor dengan kamar mandi yang sudah terkelola dengan baik termasuk saluran pembuangannya. meski yah, tahulah bagaimana kondisi wc umum pada umumnya. Ada saja yang sangat bau. kereta saat ini bahkan sudah dilengkapi colokan, dan bebas dari asap rokok. Tak ada lagi pedagang yang berlalu lalang, pengemis, pengamen atau penumpang yang berdiri karena tak dapat tempat duduk. semua tertata rapi. saya menikmati tidur panjang selama di kereta. Meski terkadang rindu dinamika hiruk pikuk kereta waktu dulu. 
            Jadilah sekarang saya mencipta dinamika sendiri di dalam kereta. Dulu, ketika tiket no seat tentu saja kami duduk bergerombol dengan teman-teman hingga satu bangku penuh hanya milik serombngan tanpa campur manusia asing. dulu, kami berlima (teman-teman saya yang kuliah disini) seringkali pulang dan balik ke Jember sama-sama. semakin bergesernya waktu, kami mulai berani melakukan perjalanan sendirian. Toh, tak akan pernah tersesat selama kau naik kereta. tempat pemberhentian jelas kecuali kamu ketiduran dan tak dengar pemberitahuan bahwa stasiunmu telah sampai. saya punya banyak waktu untuk berbincang dengan orang baru yang kira-kira asyik diajak bicara selama perjalanan. Atau minimal bertanya dimana ia berhenti. Paling asyik kalo penumpang disebelah saya bawa bayi atau anak kecil yang lucu. Gemess. Paling menyebalkan kalo duduk di sebelah cowok yang suka nyepik, minta nomer hape atau cari kesempatan bersandar. Yassalam !
Selain teman bicara yang baru, saya juga suka menunggu senja dari balikjendela kereta tepat ketika melewati persawahan daerah Probolinggo. Saya suka ketagihan mengikuti matahari tenggelamnya dari kereta yang berjalan. Apalagi ketika momen itu tepat saat kereta melewati persawahan tanpa tedeng aling-aling. Pemandangan memuaskan buat mata saya. Favorit sekali. 
          Ah, kereta.saya rindu dinamikamu yang dulu meski puas juga dengan pelayanan saat ini. Teman saya dari Madiun satu persatu sudah menyelesaikan pendidikannya di kota ini. Dari lima, tinggal saya dan Sriani yang belum selesai. Sedang tiga lainnya sudah sidang. Fitri akan melanjutkan profesi, Eka akan berkemas dan kembali setelah Januari berakhir, sedang Arda yang terlebih dahulu wisuda telah menjadi guru di Madiun. hehe.. Saya dan kawan-kawan telah kau bawa kemari bersama-sama dan kembali pulang ke Madiun satu persatu. Terimakasih ya untuk pelayanan dan banyak kenangan yang berharga. haha. Alur hidup kami setelah ini akan berbeda. Mungkin tak lagi bersama-sama menunggangimu sambil cekikikan sesukanya, Tapi semoga berhasil dan bahagia dengan cita dan pilihan kami masing-masing []


Continue Reading...

Jumat, 01 Januari 2016

Happy New Tears

      Awal 2016 rasanya sesak. Banyak ketidak tahuan yang tidak pernah terpikirkan di tahun sebelumnya, mendadak muncul bak ceceran bungkus plastik yang mengapung di danau indah. Bungkus plastik mungkin saja tak banyak berpengaruh pada ekosistem dalam air. Tapi dia mengganggu pemandangannya. Membuat gemas yang melihat. 
    Saya gak benar-benar tahu apa air mata sungguhan  obat penyembuh luka untuk perempuan. Jika iya, maka saya mungkin manusia yang overdosis karena kebanyakan minum obat. Menangis adalah hal-hal yang mampu melegakan. Sebenarnya saya cukup membersihkan bungkusan plastik yang mengganggu. Lalu tak perlu lagi ambil pusing dengan hal-hal itu. saya mestinya sadar, sampah akan silih berganti memenuhi danau sebab manusia-manusia yang gagal paham pada perannya. toh semua manusia begitu kan? saya juga manusia yang begitu.
       Sebuah surat yang datang dari masa lalu dan pergumulan hidup yang penuh drama. Ah, mereka. Saya pasti tanpa sadar juga tengah bermain drama. Saya mungkin juga manusia yang penuh kepalsuan. Adakah yang tidak? berpura-pura menyimpan rindu juga hal yang palsu. 
    Ah sudahlah. saya hanya ingin ucapkan terimakasih pada awal tahun. terimakasih telah memberitahu, mungkin kau ingin aku belajar ketika menjalani waktu bersamamu. Sampaikan pada masa lalu, terimakasih telah mengerti dan biarkan kita tumbuh terus jadi manusia yang memperbaiki diri. Hubungan yang selesai selalu mampu memberikan pelajaran yang baik. begitu kan? Lalu pada drama mereka yang tak habis-habis, semoga saya bisa mengikisnya dalam hidup. Dalam drama lemparan senyum bisa saja kau anggap ramah, tapi kita seringkali lupa ada perasaan tulus yang tak pernah ada dalam sebuah drama.
       2015 terimakasih untuk hal-hal manis yang sudah terjadi. saya tahu kamu tahun yang baik. Biar saya melangkah sekarang, dalam tahun yang penuh keajaiban dan kebaikan. 

2016 saya rindu pada tuan dari rembulan dan hal-hal yang menyertai kami malam itu. Tolong sampaikan, berhenti bersikap seolah-olah tak pernah peduli. []

Continue Reading...

Followers

Follow Us

Follow The Author