Beberapa
postingan di mojok.co suka bikin saya senyum-senyum sendiri. Utamanya pembahasan
mengenai perempuan dan mode yang akhir-akhir ini jadi tambah kocak. Contohnya
tulisan Kalis Mardiasih berjudul “Sebab Perempuan Butuh Kecerdasan, Bukan
Label, Titik!” atau tulisannya yang lain berjudul “Sebuah Curhat untuk Girlband
Jilbab Syar’i”. Memang fenomena semacam alis strong, gincu atau monokrom
semakin hari jadi menggelikan. Kita semacam lupa bahwa ada hal-hal lain yang
perlu diperhatikan selain dandan. Iklan makin provokatif, kebutuhan Instagram
yang harus terus hits menjadikan perempuan sebagai korban lelaku artifisial
yang mudah sekali kena rayu. #Phfft. Oh, Tuhan... lindungi kami dari diskonan harga dan para lelaki hidung pelangi.
Tadi pagi saya baca berita mengenai aktipis perempuan Mesir Shaimaa
el-Sabagh yang tewas di pelukan suaminya sebab ditembak sama polisi. Romantis njeh? Dapurmu kui! kalo
di film-film, itu mah adegan yang lagi menyayat hati dengan pesan-pesan
terakhir yang bikin gak habis pikir, kok masih bisa ngomong panjang. Tapi itu
bukan di film, tetapi sebuah kisah nyata seorang aktipis perempuan yang mati
dibunuh. Saya salut sekali sama perempuan-perempuan tangguh yang gak peduli
dengan embel-embel makhluk lemah dan berani mengejar mimpi tanpa takut
batasan-batasan yang menjerat perempuan. Saya ngepens sama Butet Manurung dan
seorang perempuan yang mencintai bapak sepenuh hati, ibu saya tentu saja. Jadi
saya mau cerita.
Ibu adalah seorang perempuan dari gunung di Pacitan yang hanya lulusan SD.
Alasannya tak meneruskan (mungkin) bukan karena perkara biaya, tetapi berkat
kepercayaan orang tua zaman dulu bahwa perempuan tak wajib sekolah tinggi. Saya pikir Ibu jadi salah satu korban marginalisasi perempuan ketika
itu. Maka selulus SD, ibu yang masih unyu-unyu itu sudah dilamar seorang lelaki
yang di masanya kaya dan diterima oleh simbah saya. Ketika bikin konferensi
meja kotak, pakde, simbah kakung, mbah dok dan ibu saya membicarakan hal
ini.
“Simbok seneng
to karo bocah iku?” ibu saya bertanya ke simbah
“Iyo seneng
to”
“Neg ngono
simbok ae seng nikah karo wonge”
Tak dapat
titik temu untuk harapannya meneruskan sekolah, akhirnya ibu saya yang baru
lulus SD itu minggat ke Jakarta. Simbah menyesal lantas untuk membuat ibu
kembali lagi pulang ke rumah, simbah mengiming-ngimingi untuk sekolah lagi.
Tapi terlambat, ibu sudah kadung berangkat ke Jakarta. Tentu kondisi jaman itu
juga tak semudah sekarang, yang tinggal telepon ketika kasih kabar. Alloh punya
jalan yang manis untuk ibu.
Lantas bertemu dengan bapak yang seorang pekerja kontraktor. Seorang pria yang
terpaut usia 10 tahun lebih tua darinya. Tapi, ibu yang belum cinta lalu pulang
kembali ke Pacitan. Bapak yang berasal dari Madiun dan kepalang jatuh cinta
pada perempuan gunung ini, akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian
cintanya ke Pacitan. Jelas bukan perjalanan yang mudah to njeh. Wong bapak jelas
nggak bisa tanya ancer-ancer rumah via BBM ke ibu. Hanya dengan modal alamat
desa akhirnya bapak berangkat. Rupanya bapak salah masuk rumah, ke rumah orang
yang ndilalah
nama bapak dan anak perempuannya sama kayak simbah kakung dan ibu. Jadi ketika
bapak sudah berbincang panjang lebar dengan bapaknya dan menunggu si pujaan
hati keluar, rupanya perempuan yang dinantikan keliru. Bapak langsung saja
pamit dan bertanya rumah yang benar. Singkat cerita, bertemulah mereka. Lalu
pacaran, menikah, lantas dianugrahi tiga putri dan seorang laki-laki.
Bapak masih bekerja kontraktor yang suka berpindah-pindah. Hal ini menjadikan
masa kecil saya sangat jarang bertemu bapak sampai kelas 3 SD. Mungkin sebab
tak mau lagi sering LDR, akhirnya bapak sama ibu memutuskan pindah ke Madiun
dan membangun usaha warung sendiri. Lambat laun usaha berganti-ganti dan
jadilah bersetia pada usaha angkringan yang setiap malam mereka jagongi.
Bapak. Seorang pria yang sangat posesif pada anak-anak perempuannya namun
sangat longgar dalam kebebasan bermimpi. Mungkin karena bapak sama ibu sudah
terbiasa merantau di masa muda, makanya anak-anaknya pun dibebaskan kemana saja
dengan satu syarat, menjaga kepercayaan bapak dan ibu. Hal yang seringkali
didengungkan ibu di tiap kesempatan menelpon. Bapak sejak kecil bekerja untuk
keluarganya, membiayai sekolah adik-adiknya sampai telat waktunya menikah. Pria
yang sanggup melakukan apapun demi keluarga dan seringkali sangat perhatian
dalam balutan ‘sok cuek’ padahal kepikiran banget. Salah satu manusia dengan
pemikiran kolot yang saya tahu. Haha. buatnya, perempuan haruslah bersikap selayaknya
perempuan tulen. Yang harus anggun, sopan, duduk yang begini, cara bicara yang
begini, harus bisa ini dan itu. Repot tenan.
Ibu. Perempuan yang baru saya sadari suka sekali membaca. Ibu seringkali
memborong majalah milik saudara saya atau
membaca buku-buku bacaan islami sejenis hidayah atau nurani. Ketika saya kecil,
saya suka didongengi sebelum tidur. Cerita kancil, cerita putri-putri dan
lain-lain yang jelas saja sudah lupa. Adik saya yang kelas 1 SD juga suka
didongengi sejak kecil, dibacakan buku-buku cerita hingga sekarang fasih baca
buku ceritanya sendiri. Ibu pendongeng yang baik dan ekspresif. Perempuan yang
mudah sekali menangis melihat acara-acara mengharukan di televisi semacam
catatan harian Olga, orang pinggiran atau acara kontes menyanyi yang punya
scene dimana seorang kontestannya yang punya nasib sedih dieksploitasi demi
menaikkan rating. Cengeng yang menular ini kadang bikin kami nangis bareng pas
betul-betul sedih. Juuh
tibake.
Dua pusat cahaya dalam hidup saya. Alasan saya untuk terus membuat rencana dan
mewujudkannya buat mereka. Terimakasih banyak telah mau merawat bocah ingusan
ini. Terimakasih telah tidak menelantarkan saya seperti anak-anak di panti
asuhan Rizky di Batam, yang bahkan di umur 4 tahun telah jadi pelaku sodom pada
balita yang usianya lebih kecil. Terimakasih telah merawat saya dalam
lingkungan yang baik, bukan di lingkungan PSK yang mungkin saja untuk meminta
uang jajan pun harus dengan merayu laki-laki.
Bapak sedang krisis kepercayaan pada saya sepertinya. Sebab skripsi yang tak kunjung selesai sedangkan tetangga saya yang angkatan di bawah saya sudah lulus. Saya paham sekali, ini tentu saja membuatnya khawatir. Mbak saya saja lulus 4 tahun dengan IPK yang bagusnya ampunan, selain itu kuliahnya di Malang aman-aman saja. Bisa pulang, ketika waktunya pulang dan sudah kerja dengan nyaman. Perilakunya perempuan sekali. Nggak kayak saya yang jarang sekali pulang, skripsi gak kunjung selesai dan berotak biasa-biasa saja di tengah himpitan cemas dari MEA. Phfftt..
Bapak tenang, saya mengerjakan skripsi kok. Nggak lagi pernah nongkrong kayak kuliah dulu, sudah menolak banyak tawaran ngetrip (wkwkwk) dan nggak lagi ambil kerja. Saya sungguhan fokus sama skripsi dan beberapa upgrade diri. Beberapa godaan memang seringkali mengganggu, bikin tulisan sepanjang ini misalnya. Tapi cuma saat saya ingin sekali. Ini juga karena rindu kamu, pak. Atau kalo lagi stres saya cuma bisa tidur sama makan gara-gara panelis yang gak kunjung peka.
Maaf ya pak saya harus molor dan gak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Saya juga gak bisa kayak Silvi yang meski molor tapi bisa biayai SPP nya sendiri. *malu. Tapi saya janji bisa membahagiakanmu dan tentu saja membuat bangga. Kapannya itu bikin saya sedih. Jangan tanya dulu ya pak, tapi saya usahakan secepatnya kok.
Bapak sedang krisis kepercayaan pada saya sepertinya. Sebab skripsi yang tak kunjung selesai sedangkan tetangga saya yang angkatan di bawah saya sudah lulus. Saya paham sekali, ini tentu saja membuatnya khawatir. Mbak saya saja lulus 4 tahun dengan IPK yang bagusnya ampunan, selain itu kuliahnya di Malang aman-aman saja. Bisa pulang, ketika waktunya pulang dan sudah kerja dengan nyaman. Perilakunya perempuan sekali. Nggak kayak saya yang jarang sekali pulang, skripsi gak kunjung selesai dan berotak biasa-biasa saja di tengah himpitan cemas dari MEA. Phfftt..
Bapak tenang, saya mengerjakan skripsi kok. Nggak lagi pernah nongkrong kayak kuliah dulu, sudah menolak banyak tawaran ngetrip (wkwkwk) dan nggak lagi ambil kerja. Saya sungguhan fokus sama skripsi dan beberapa upgrade diri. Beberapa godaan memang seringkali mengganggu, bikin tulisan sepanjang ini misalnya. Tapi cuma saat saya ingin sekali. Ini juga karena rindu kamu, pak. Atau kalo lagi stres saya cuma bisa tidur sama makan gara-gara panelis yang gak kunjung peka.
Maaf ya pak saya harus molor dan gak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Saya juga gak bisa kayak Silvi yang meski molor tapi bisa biayai SPP nya sendiri. *malu. Tapi saya janji bisa membahagiakanmu dan tentu saja membuat bangga. Kapannya itu bikin saya sedih. Jangan tanya dulu ya pak, tapi saya usahakan secepatnya kok.
Lalu
bertumbuh jadi perempuan tangguh seperti yang kamu mau, meski gak seperempuan
yang kamu harapkan, pak. Boleh ya?
Ibu,
terimaksih banyak telah percaya.
Tumben kali
ini kalian berkebalikan? Mungkin kalian betulan jodoh. []