BRAKK! Kudengar suara keras
menghantam sesuatu di luar. Aku sudah siap menyumpal kuping adikkku Rafi, yang masih tertidur nyenyak dalam
ayunan jariknya. Kalau kaget, dia akan menangis kencang. Dan hal itu malah
membuat hantaman benda lainnya saling bersusulan. Ibu bilang, suara tangis Rafi
sangat berisik. Dan aku harus menjaga Rafi agar tangisnya yang dulu melebihi minum
obat tiga kali sehari, menjadi sangat jarang kecuali jika Rafi benar-benar
lapar atau digigit semut gatal. Ketika suara berisik di luar telah berhenti,
aku harus segera siap menuju dapur. Setelah ini ibu akan berteriak meminta
secangkir kopi. Maka dengan sedikit tergesa-gesa aku berlari menuju dapur untuk
merebus air. Aku yakin ibu masih membersihkan cangkulnya di luar. Sudah jadi
rutinitas kami sehari-hari.
Gelembung udara di dalam panci
sudah bermunculan. Segera kuambil
sesendok bubuk kopi dari dalam toples, dan terhenti di toples gula. Bersih. Tak
ada sisa-sisa gula yang mengerak di dinding toplesnya. Sudah kukerok untuk hari
kemarin. Dan hari ini tak ada sisa nya. Mataku terasa begitu pedih, ada air
yang menggenang di sudutnya. Namun tak lama, segera kuusap. Kuseduh kopi hitam
seadanya meski tanpa gula dan segera melangkah keluar rumah.
“Ratih, kopi!” bersamaan dengan
teriakan keras ibu, aku telah sampai di hadapannya. Kuletakkan kopi pahit di
tanah datar di samping duduknya. Ibu meminum kopi pahitku dan hanya
menanggapinya dengan diam. Lalu kembali asyik sendiri dengan cangkul di
tangannya.
“ibu, kopinya enak?” ku bentuk
jempol kananku di hadapannya untuk meminta jawaban. Ibu melihat ke arahku dan
tersenyum sembari menirukan membentuk jempol tangan. Air mataku makin deras,
menatap wajah ibu yang tersenyum dengan tatapan kosong. Ku peluk tubuh kurusnya
yang kotor berlumuran tanah. Aku menangis sekencang-kencangnya. Ibu tak lagi
paham rasa kopi yang enak atau tidak. Ia juga tak paham bagaimana mengurus Rafi
yang masih balita dan butuh ASI nya. Aku menangisi semua ingatannya yang hilang
dan semua kewarasan yang sempat bersemayam di jiwanya. Ku ciumi ibu ku dengan
segenap perasaan. Aku merasa bersalah telah memberinya kopi pahit tanpa gula.
“Maaf ya bu. Maafkan Ratih ya”
berkali-kali kuucapkan kalimat itu padanya. Ibu masih tersenyum. Masih saja
tersenyum. Tak peduli apapun kesalahanku. Ku belai mesra rambut panjangnya yang
gimbal, sama seperti waktu ibu masih sering membelai rambutku. Ku bersihkan
sisa tanah yang menempel di bajunya. Aku sayang padanya. Tak peduli apa yang
dibicarakan tetanggaku mengenai kelakuannya yang disebut sering kali
mengganggu. Wanita ini tetap ibuku, dengan senyum teduhnya yang masih sama.
Menentramkan buat aku.
Jember, 27 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar