Jejak

Jejak

Sabtu, 16 Januari 2016

Secangkir Kopi

Share it Please
      BRAKK! Kudengar suara keras menghantam sesuatu di luar. Aku sudah siap menyumpal kuping adikkku  Rafi, yang masih tertidur nyenyak dalam ayunan jariknya. Kalau kaget, dia akan menangis kencang. Dan hal itu malah membuat hantaman benda lainnya saling bersusulan. Ibu bilang, suara tangis Rafi sangat berisik. Dan aku harus menjaga Rafi agar tangisnya yang dulu melebihi minum obat tiga kali sehari, menjadi sangat jarang kecuali jika Rafi benar-benar lapar atau digigit semut gatal. Ketika suara berisik di luar telah berhenti, aku harus segera siap menuju dapur. Setelah ini ibu akan berteriak meminta secangkir kopi. Maka dengan sedikit tergesa-gesa aku berlari menuju dapur untuk merebus air. Aku yakin ibu masih membersihkan cangkulnya di luar. Sudah jadi rutinitas kami sehari-hari.
        Gelembung udara di dalam panci sudah bermunculan. Segera  kuambil sesendok bubuk kopi dari dalam toples, dan terhenti di toples gula. Bersih. Tak ada sisa-sisa gula yang mengerak di dinding toplesnya. Sudah kukerok untuk hari kemarin. Dan hari ini tak ada sisa nya. Mataku terasa begitu pedih, ada air yang menggenang di sudutnya. Namun tak lama, segera kuusap. Kuseduh kopi hitam seadanya meski tanpa gula dan segera melangkah keluar rumah.
        “Ratih, kopi!” bersamaan dengan teriakan keras ibu, aku telah sampai di hadapannya. Kuletakkan kopi pahit di tanah datar di samping duduknya. Ibu meminum kopi pahitku dan hanya menanggapinya dengan diam. Lalu kembali asyik sendiri dengan cangkul di tangannya.
“ibu, kopinya enak?” ku bentuk jempol kananku di hadapannya untuk meminta jawaban. Ibu melihat ke arahku dan tersenyum sembari menirukan membentuk jempol tangan. Air mataku makin deras, menatap wajah ibu yang tersenyum dengan tatapan kosong. Ku peluk tubuh kurusnya yang kotor berlumuran tanah. Aku menangis sekencang-kencangnya. Ibu tak lagi paham rasa kopi yang enak atau tidak. Ia juga tak paham bagaimana mengurus Rafi yang masih balita dan butuh ASI nya. Aku menangisi semua ingatannya yang hilang dan semua kewarasan yang sempat bersemayam di jiwanya. Ku ciumi ibu ku dengan segenap perasaan. Aku merasa bersalah telah memberinya kopi pahit tanpa gula.
        “Maaf ya bu. Maafkan Ratih ya” berkali-kali kuucapkan kalimat itu padanya. Ibu masih tersenyum. Masih saja tersenyum. Tak peduli apapun kesalahanku. Ku belai mesra rambut panjangnya yang gimbal, sama seperti waktu ibu masih sering membelai rambutku. Ku bersihkan sisa tanah yang menempel di bajunya. Aku sayang padanya. Tak peduli apa yang dibicarakan tetanggaku mengenai kelakuannya yang disebut sering kali mengganggu. Wanita ini tetap ibuku, dengan senyum teduhnya yang masih sama. Menentramkan buat aku.

Jember, 27 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author