Jejak

Jejak

Kamis, 28 Januari 2016

Pusat Cahaya

Share it Please
Beberapa postingan di mojok.co suka bikin saya senyum-senyum sendiri. Utamanya pembahasan mengenai perempuan dan mode yang akhir-akhir ini jadi tambah kocak. Contohnya tulisan Kalis Mardiasih berjudul “Sebab Perempuan Butuh Kecerdasan, Bukan Label, Titik!” atau tulisannya yang lain berjudul “Sebuah Curhat untuk Girlband Jilbab Syar’i”. Memang fenomena semacam alis strong, gincu atau monokrom semakin hari jadi menggelikan. Kita semacam lupa bahwa ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan selain dandan. Iklan makin provokatif, kebutuhan Instagram yang harus terus hits menjadikan perempuan sebagai korban lelaku artifisial yang mudah sekali kena rayu. #Phfft. Oh, Tuhan... lindungi kami dari diskonan harga dan para lelaki hidung pelangi.
            Tadi pagi saya baca berita mengenai aktipis perempuan Mesir Shaimaa el-Sabagh yang tewas di pelukan suaminya sebab ditembak sama polisi. Romantis njeh? Dapurmu kui! kalo di film-film, itu mah adegan yang lagi menyayat hati dengan pesan-pesan terakhir yang bikin gak habis pikir, kok masih bisa ngomong panjang. Tapi itu bukan di film, tetapi sebuah kisah nyata seorang aktipis perempuan yang mati dibunuh. Saya salut sekali sama perempuan-perempuan tangguh yang gak peduli dengan embel-embel makhluk lemah dan berani mengejar mimpi tanpa takut batasan-batasan yang menjerat perempuan. Saya ngepens sama Butet Manurung dan seorang perempuan yang mencintai bapak sepenuh hati, ibu saya tentu saja. Jadi saya mau cerita.
            Ibu adalah seorang perempuan dari gunung di Pacitan yang hanya lulusan SD. Alasannya tak meneruskan (mungkin) bukan karena perkara biaya, tetapi berkat kepercayaan orang tua zaman dulu bahwa perempuan tak wajib sekolah tinggi. Saya pikir Ibu jadi salah satu korban marginalisasi perempuan ketika itu. Maka selulus SD, ibu yang masih unyu-unyu itu sudah dilamar seorang lelaki yang di masanya kaya dan diterima oleh simbah saya. Ketika bikin konferensi meja kotak, pakde, simbah kakung, mbah dok dan ibu saya membicarakan hal ini.
“Simbok seneng to karo bocah iku?” ibu saya bertanya ke simbah
“Iyo seneng to”
“Neg ngono simbok ae seng nikah karo wonge”
Tak dapat titik temu untuk harapannya meneruskan sekolah, akhirnya ibu saya yang baru lulus SD itu minggat ke Jakarta. Simbah menyesal lantas untuk membuat ibu kembali lagi pulang ke rumah, simbah mengiming-ngimingi untuk sekolah lagi. Tapi terlambat, ibu sudah kadung berangkat ke Jakarta. Tentu kondisi jaman itu juga tak semudah sekarang, yang tinggal telepon ketika kasih kabar. Alloh punya jalan yang manis untuk ibu.  
            Lantas bertemu dengan bapak yang seorang pekerja kontraktor. Seorang pria yang terpaut usia 10 tahun lebih tua darinya. Tapi, ibu yang belum cinta lalu pulang kembali ke Pacitan. Bapak yang berasal dari Madiun dan kepalang jatuh cinta pada perempuan gunung ini, akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian cintanya ke Pacitan. Jelas bukan perjalanan yang mudah to njeh. Wong bapak jelas nggak bisa tanya ancer-ancer rumah via BBM ke ibu. Hanya dengan modal alamat desa akhirnya bapak berangkat. Rupanya bapak salah masuk rumah, ke rumah orang yang ndilalah nama bapak dan anak perempuannya sama kayak simbah kakung dan ibu. Jadi ketika bapak sudah berbincang panjang lebar dengan bapaknya dan menunggu si pujaan hati keluar, rupanya perempuan yang dinantikan keliru. Bapak langsung saja pamit dan bertanya rumah yang benar. Singkat cerita, bertemulah mereka. Lalu pacaran, menikah, lantas dianugrahi tiga putri dan seorang laki-laki.
            Bapak masih bekerja kontraktor yang suka berpindah-pindah. Hal ini menjadikan masa kecil saya sangat jarang bertemu bapak sampai kelas 3 SD. Mungkin sebab tak mau lagi sering LDR, akhirnya bapak sama ibu memutuskan pindah ke Madiun dan membangun usaha warung sendiri. Lambat laun usaha berganti-ganti dan jadilah bersetia pada usaha angkringan yang setiap malam mereka jagongi.  
            Bapak. Seorang pria yang sangat posesif pada anak-anak perempuannya namun sangat longgar dalam kebebasan bermimpi. Mungkin karena bapak sama ibu sudah terbiasa merantau di masa muda, makanya anak-anaknya pun dibebaskan kemana saja dengan satu syarat, menjaga kepercayaan bapak dan ibu. Hal yang seringkali didengungkan ibu di tiap kesempatan menelpon. Bapak sejak kecil bekerja untuk keluarganya, membiayai sekolah adik-adiknya sampai telat waktunya menikah. Pria yang sanggup melakukan apapun demi keluarga dan seringkali sangat perhatian dalam balutan ‘sok cuek’ padahal kepikiran banget. Salah satu manusia dengan pemikiran kolot yang saya tahu. Haha. buatnya, perempuan haruslah bersikap selayaknya perempuan tulen. Yang harus anggun, sopan, duduk yang begini, cara bicara yang begini, harus bisa ini dan itu. Repot tenan. 
            Ibu. Perempuan yang baru saya sadari suka sekali membaca. Ibu seringkali memborong majalah milik saudara saya atau membaca buku-buku bacaan islami sejenis hidayah atau nurani. Ketika saya kecil, saya suka didongengi sebelum tidur. Cerita kancil, cerita putri-putri dan lain-lain yang jelas saja sudah lupa. Adik saya yang kelas 1 SD juga suka didongengi sejak kecil, dibacakan buku-buku cerita hingga sekarang fasih baca buku ceritanya sendiri. Ibu pendongeng yang baik dan ekspresif. Perempuan yang mudah sekali menangis melihat acara-acara mengharukan di televisi semacam catatan harian Olga, orang pinggiran atau acara kontes menyanyi yang punya scene dimana seorang kontestannya yang punya nasib sedih dieksploitasi demi menaikkan rating. Cengeng yang menular ini kadang bikin kami nangis bareng pas betul-betul sedih. Juuh tibake.
          Dua pusat cahaya dalam hidup saya. Alasan saya untuk terus membuat rencana dan mewujudkannya buat mereka. Terimakasih banyak telah mau merawat bocah ingusan ini. Terimakasih telah tidak menelantarkan saya seperti anak-anak di panti asuhan Rizky di Batam, yang bahkan di umur 4 tahun telah jadi pelaku sodom pada balita yang usianya lebih kecil. Terimakasih telah merawat saya dalam lingkungan yang baik, bukan di lingkungan PSK yang mungkin saja untuk meminta uang jajan pun harus dengan merayu laki-laki. 
             Bapak sedang krisis kepercayaan pada saya sepertinya. Sebab skripsi yang tak kunjung selesai sedangkan tetangga saya yang angkatan di bawah saya sudah lulus. Saya paham sekali, ini tentu saja membuatnya khawatir. Mbak saya saja lulus 4 tahun dengan IPK  yang bagusnya ampunan, selain itu kuliahnya di Malang aman-aman saja. Bisa pulang, ketika waktunya pulang dan sudah kerja dengan nyaman. Perilakunya perempuan sekali. Nggak kayak saya yang jarang sekali pulang, skripsi gak kunjung selesai dan berotak biasa-biasa saja di tengah himpitan cemas dari MEA. Phfftt.. 

           Bapak tenang, saya mengerjakan skripsi kok. Nggak lagi pernah nongkrong kayak kuliah dulu, sudah menolak banyak tawaran ngetrip (wkwkwk) dan nggak lagi ambil kerja. Saya sungguhan fokus sama skripsi dan beberapa upgrade diri. Beberapa godaan memang seringkali mengganggu, bikin tulisan sepanjang ini misalnya. Tapi cuma saat saya ingin sekali. Ini juga karena rindu kamu, pak. Atau kalo lagi stres saya cuma bisa tidur sama makan gara-gara panelis yang gak kunjung peka.
            Maaf ya pak saya harus molor dan gak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Saya juga gak bisa kayak Silvi yang meski molor tapi bisa biayai SPP nya sendiri. *malu. Tapi saya janji bisa membahagiakanmu dan tentu saja membuat bangga. Kapannya itu bikin saya sedih. Jangan tanya dulu ya pak, tapi saya usahakan secepatnya kok.

Lalu bertumbuh jadi perempuan tangguh seperti yang kamu mau, meski gak seperempuan yang kamu harapkan, pak. Boleh ya?

Ibu, terimaksih banyak telah percaya.

Tumben kali ini kalian berkebalikan? Mungkin kalian betulan jodoh. [] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author