Jejak

Jejak

Minggu, 04 November 2012

Semburat Luka

Share it Please


Bocah itu meringkuk lebih dalam di pelukan ibunya. Bulir air matanya, tak  jua bosan menuruni pipi mulusnya yang kini bagai aliran sungai deras, membasahi baju ibunya yang tetap setia memangkunya. Memangku segala derita dan luka yang kini sedang menjeratnya. Ali, bocah itu, hanya sanggup mematuhi kata-kata ibunya tuk menutup telinganya rapat-rapat. Membiarkan suara-suara bising yang tak ada habisnya mengumpat penuh nanar diluar gubuk mereka. Hanya berusaha mempercayai ucapan ibunya yang berkata “Semua akan baik-baik saja”, meski pada kenyataan ini semua tidak baik-baik saja. Semua kacau, semua musnah karena satu kata yang terlalu naif ia amalkan. Sebuah amalan yang ternyata sanggup membuat dunia dalam  sekejap berpaling memusuhinya. Kejujuran. Satu sikap yang bahkan membuat gurunya, sosok yang selalu menggembar-gemborkan kejujuran dalam pelajaran PPKN itupun, memandang sinis kearahnya. Ali tak cukup mengerti apa yang salah, apa yang ia perbuat dengan kejujuran yang kini tengah membantainya. Yang jelas lewat isak tangis ibu dan gurat khawatir ayahnya, bocah 11 tahun itu tau, betapa berat beban yang sedang ia tanggung sekarang. Hingga orang-orang dewasa yang mengatas namakan cinta anak di luar sana itu, begitu dengan ganasnya menghujat keluarganya.
                                                            *****                    
Pagi itu, suasana sekolah masih sepi. Ali melangkah lebih awal ke sekolah, menyiapkan mental dan pikirannya untuk menghadapi ujian nasional hari ini. Perasaan khawatir dan nervous, masih saja menggelayuti hatinya sejak kemarin. Meskipun ia termasuk anak yang paling pandai sekalipun disekolahnya, momok ujian nasional tetap saja terlihat sebagai sesuatu yang terlalu menakutkan baginya.  Ali melangkah pelan dan mencoba menarik nafasnya dalam-dalam. Pada  saat itu selain dirinya, juga terdapat segelintir siswa dan guru yang telah hadir. Termasuk bu Sita, wali kelas Ali. Ketika mereka berpapasan, bu Sita memanggil Ali untuk ikut ke ruang guru. Ali hanya menuruti perintah bu Sita menuju ke ruangan itu.
“Ali belajar tidak tadi malam?”, suara bu Sita memecah kesunyian kantor guru. Ali tersenyum memandang wanita setengah baya didepannya.
“Iya bu guru, Ali belajar. Tapi tetap aja ndredeg.
ndak papa le, lumrah mau ujian memang seperti itu. Padahal kamu anak pintar kok ndredeg apalagi teman-teman kamu yang pas-pasan, hayo”, sekali lagi Ali tersenyum mendengar kelakar Bu Sita.
le, ini bu Sita punya jawaban soal-soal ujian nanti. Memang gak semua, tapi InsyaAllah keluar sebagian. Nanti teman-temannya dibagi ya. Kalo teman-temanmu tanya ya dikasih tau. Ojo di pek dewe”.
Air muka Ali berubah seketika. Senyum polosnya menghilang bersamaan dengan keningnya yang mengerut, bingung.
“Bu guru, Ali gak berani ngasih temen-temen contekan. Kata ibu, Ali disuruh ngerjain ujian sendiri. Ndak boleh nengok-nengok”.
Seketika pula raut wajah Bu Sita turut berubah kaku, menatap tajam ke arah Ali yang menunduk takut. Wanita itupun menarik napas sangat dalam, mencoba untuk lebih bersabar menghadapi Ali. Ia sangat tau tentang muridnya itu. Untuk masalah prinsip, Ali terlalu  memegang teguh apa yang dikatakan oleh ibunya.
le kalo seperti ulangan harian begitu gak papa kamu gak nyontek. Memang harusnya ya seperti itu. Tapi ini Ujian akhir, apa kamu ndak kasian teman-teman kamu to? Kalo mereka gak lulus gimana coba?”, Ali hanya diam mematung. Ia mengerti apa yang bu Sita tanyakan, tapi ia tak mengerti apa yang semestinya dilakukan.
“Ali kenapa kok diam saja?! Ibu tau apa yang sedang  kamu pikirkan. Tapi le, Sekarang ibu cuma bisa ngandelin kamu untuk menolong teman-temanmu. Ibu harap Ali gak mengecewakan Ibu dan sekolah. Mestinya kamu itu bisa ngerti!”, nada bu Sita mulai meninggi, sedangkan Ali hanya bisa menelan ludah getirnya. Rasa kesal pada bu Sita tiba-tiba menyeruak dalam jiwanya. Ia pun segera pergi meninggalkan ruang guru dengan satu keyakinan bulat di hatinya.
            Ujian Nasional dimulai. Krusak-krusuk teman-teman Ali mulai terdengar. Beberapa kali pengawas ujian menegur teman Ali yag ketahuan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman lainnya. Beberapa kali suarapun terdengar bersahut-sahutan memanggil namanya. Tapi Ali tetap diam, fokus pada rentetan angka yang berjejer rapi di atas kertas soal miliknya. Rasa kecewa pada bu Sita masih saja bergelayut di otaknya. Tapi untuk masalah ujian hari ini, dengan sangat lancar penanya menari di atas bulatan-bulatan pada lembar jawaban. Ia berusaha menutup telinga rapat-rapat, dan terus saja memegang teguh nasihat ibunya. Hingga akhirnya waktu pengerjaan soal berakhir, Ali meletakkan lembar jawabannya pertama kali ke petugas. Diikuti, tatapan jijik teman-temannya yang kesal karena tingkah lakunya yang tidak setia kawan. Ali pun segera melangkah pergi. Cukup tak peduli.
                                                              *****
            Keadaan diluar masih liar. Celaan, hujatan dan berbagai hinaan tak jua berhenti berdengung di telinga Ali. Ibunya berkali-kali menciumi pipi Ali dengan penuh luka dan cinta. Sedangkan ayah Ali tak henti-hentinya bergulat dengan hape di tangannya. Menghubungi berbagai pihak yang diharapkan dapat membantu mereka. Deru nafasnya yang cepat, ikut mewarnai ketegangan suasana di gubuk mereka.
“Ali keluar!! Bocah ndablek tenan. Pinter kok keblinger!!”, sahutan lainnya menambah ramai
Ealah, bocah lagi metu kemarin sore ae kok sombong. Opo arep urip dewe, hah?!”.
Yo, sampek anakku gak lulus, tak bakar rumahmu”, dan umpatan-umpatan lain yang terus bergerak tanpa henti. Bagai kesetanan mereka berteriak-teriak, meninggalkan sisi kemanusiaan yang biasa mereka tanamkan pada anak cucunya. Dan kini, demi anak cucunya pula, mereka menggadaikan hati di depan gubuk hijau itu. Pemandangan miris yang begitu keji tertanam di hati Ali. Dalam sayup-sayup tangis nya, bocah itu berbisik di telinga ibunya “ Buk, emangnya Ali nakal ya? kan Ali takut dosa kalo nyontekin teman-teman buk”
Wanita itu cukup tercengang mendengar pertanyaan putra tunggalnya. Rasanya tak ada lagi daya yang sanggup ia keluarkan tuk menjawab pertanyaan Ali. Meski batinnya tetap menuntut mulutnya tuk bicara. Dan ia pun sangat ingin membiarkan Ali tau, tak ada yang salah dengan kejujuran yang kini tengah mengujinya. Namun kenyataannya, tak ada sepatah katapun yang mampu ia ucapkan, entah terlalu lelah atau keyakinannya mulai goyah. Ali mendekap Ibunya semakin erat. Debaran jantungnya masih bergerak sangat cepat bersamaan dengan deru nafasnya yang mulai terasa sesak, badannya melemah. Tapi bocah itu tak berusaha memahami kondisi nya saat ini dan juga tak mau peduli jika Ibunya tak menjawab apa yang ia tanyakan tadi. Tapi satu hal yang kini mulai tertancapkan dalam jiwa sucinya. Kejujuran ternyata begitu menyakitkan.
            Sayup-sayup suara di luar mulai reda. Ayah Ali melongokkan sedikit kepalanya di jendela, mengintip kedaan di luar yang mulai mundur. Kepala desa dengan beberapa orang berseragam terlihat mengendalikan para warganya. Hingga akhirnya mereka bubar dengan beberapa negosiasi yang telah mereka sepakati secara sepihak.
                                                                 ****
            Krusak-krusuk bocah-bocah itu kembali terdengar. Namun kini hanya tertuju pada satu sudut yang dipaksa untuk bergerak. Ali menuliskan jawabannya di sobekan kertas dan kemudian melalui teman disampingnya, kertas tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Begitu seterusnya hingga semua temannya memiliki jawaban penuh yang hampir seluruhnya sama. Ujian berakhir dengan senyuman yang terus tersungging di wajah mereka. Kata-kata manis meluncur deras untuk Ali. Tapi bocah itu hanya diam, rasa sakit hatinya masih terus menggerogoti. Tak ada rasa nyaman atau lega yang ia rasakan sekarang. Bahkan rasa takut dan kecewa yang begitu dalam. Tanpa terasa bulir air matanya mengalir turun, dan penyesalan pun menancap dalam jiwanya. Ali takut Allah marah. gejolak jiwanya masih terus bergelut. Ada satu sisi kecil yang timbul memberontak pada apa yang ia perbuat tadi. Tapi mengingat kejadian kemarin, pemberontakan hatinya hanya mampu dipendam, dan bocah itu terlalu takut mengungkapkan. 
                Esok dan esok harinya tak ada yang berbeda. Sapaan teman-teman Ali di tengah ujian terus merayap dari hari ke hari. Bahkan semakin liar membabui Ali. Bocah itu hanya pasrah memberikan apa yang mereka harapkan, dengan penuh rasa tekanan dan takut yang tidak wajar merajai jiwa kecilnya. Untuk menangis pun Ali tak sanggup, Ia bahkan terlalu takut. Bayangan-bayangan yang mencerca namanya tak ada habisnya berdengung di kepala Ali, bahkan tak pernah mau pergi. Hingga terasa pusing. Perasaan itu terus berlanjut dan semakin menumpuk hingga di hari ujian yang terakhir. Ali sama seperti sebelumnya, terduduk lesu dengan tatapan hampa. Namun tangannya terus berjalan membulati kertas jawaban, lalu teman disampingnya memberi kode padanya dan Alipun memberikan kertas jawaban.  
Sesuatu yang aneh terjadi disini. Kertas jawaban yang diberikan Ali memiliki jawaban yang semuanya sama. Hanya terdiri dari huruf A tanpa B,C,D lainnya. Dengan geram, teman disamping Ali menginjak kertas jawaban itu dilantai. Sembari memelototi Ali dengan kesal. Ali menunduk takut, tapi perasaannya terus menyuruhnya kembali melihat. Ya, bocah itu jelas sangat tau, bahkan mengenali tatapan jahat itu. Dan tiba-tiba suara-suara nakal berdengung-dengung di otaknya. Ali bingung, mencari-cari suara itu ke tiap sudut ruang  kelas. Ia hanya bisa memejamkan mata dan menutup telinganya rapat-rapat. Suara itu dan tatapan mata itu terus menghantui tak juga pergi. Perasaan was-was, takut, dan benci mengepung Ali. Ali kini, tak mampu mengendalikan jiwanya lagi.
            Orang-orang perlahan mendekati Ali yang tak jua berhenti menangis sejak ujian tadi. Diantara mereka Bu Sita, teman-teman Ali juga para orang tuanya, menatap penuh iba. Air mata Ali tumpah pada akhirnya, sesaat setelah pelukan Ibu dan ayah menghambur untuk putra tercintanya itu. Dan bahkan tak sanggup untuk berhenti. Ratapan yang terdengar sangat memilukan. Diam-diam penontonpun menangis, pelan-pelan yang kemudian terdengar garang. Di sekolah, banjir air mata terjadi. Mereka semua tiba-tiba merasa sangat tak berarti. Bahkan diantara mereka meratapi sesal sembari memukul kepala mereka sendiri. Tak ada yang  berkata. Hanya Ali yang kini terdiam sangat sedih karena tak ada lagi air mata yang mampu dikeluarkan. Suaranya hampir habis. Ibu dan ayah Ali pun kini hanya mampu meratapi nasib, sesal pasti akan menggerogotinya sepanjang hidup. Perasaan gagal melindungi Ali tak mampu dipungkiri. Tangisan mereka terus melolong sepanjang hari. Bu Sita tiba-tiba tak sadarkan diri. Begitu pula beberapa yang lain. Pengorbanan jiwa Ali ternyata mampu menyadarkan orang-orang tak berbudi itu. Ali, bocah itu, tiba-tiba menjadi sebuah simbol kejujuran yang tertindas. Dan kini, satu yang tak perlu dicurigai, Penyesalan datang terlambat lagi.

selesai-  by Radhiyyan Pratiwi-cerpen buletin magang manifest "E.coly"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author