Jejak

Jejak

Minggu, 04 November 2012

bongkar kebiasaan lama !

Share it Please

         Ingatan saya mulai berakrobat mundur ke masa-masa SD. Dimana dalam pelajaran IPS saya belajar mengenai Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam melimpah, serta keanekaragaman budaya, ras, agama dan bangsanya.Selain itu, makanan pokok ditiap daerah nya pun beraneka ragam seperti makanan pokok suku madura adalah jagung, ambon makanan pokoknya sagu dan papua makanan pokoknya ketela pohon. Namun fakta yang terlihat sekarang jauh berbeda dengan pelajaran yang pernah saya dapatkan saat itu. Sebagian besar penduduk Indonesia sekarang hanya berkiblat pada satu jenis makanan pokok, nasi. 
         Kini di dalam masyarakat pun tumbuh suatu pemikiran yang beranggapan seseorang belum makan jika belum makan nasi. Meskipun telah makan mie, roti, atau umbi-umbian yang notabene sama-sama mengandung karbohidrat itupun, dianggap sekadar camilan pengganjal perut. Entah hal apa yang telah melencengkan pikiran masyarakat saat ini. bahkan mulai timbul anggapan baru yang merusak citra makanan produk lokal sendiri. Seperti singkong yang diidentikkan sebagai makanan desa, sehingga terasa kampungan jika memakannya. Dari hal-hal kecil itu justru tanpa disadari, malah menanamkan sikap kurangnya apresiasi masyarakat terhadap produk lokal itu sendiri. Seperti halnya pada beras, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi nasi menyebabkan produksi beras di Indonesia tidak mencukupi kebutuhan masyarakat sendiri. harga beras melonjak karena permintaan yang melebihi ketersediaan. Pemerintah pun memutar arah untuk mengimpor beras yang berakibat jatuhnya harga jual beras petani di Indonesia. 
          Mungkin, adanya kesalahan sistem di pemerintahan Soeharto dengan adanya kebijakan nasionalisasi beras itu, yang memberi pengaruh cukup besar dalam pola konsumsi masyarakat. Kini, sebagian besar masyarakat Indonesia seperti kecanduan pada nasi. Usaha Soehato untuk memperbaiki kembali kebijakan nasionalisasi beras nya dengan adanya program beras Tekat (beras yang terbuat dari keTela, Kacang, dan Djagung), sepertinya tak cukup berhasil membangun citra keanekaragaman pangan di masyarakat. 
          Sebagai masyarakat modern saat ini, seyogyanya kita mampu menelaah kembali pola konsumsi beras kita yang sangat liar.  Ditilik dari kandungan gizi nya pun, makanan pokok seperti ubi jalar tidak kalah dibandingkan beras. Nilai kandungan gizi Ubi Jalar per 100 g (3.5 oz) terdapat Energi 360 kJ (86 kcal) Karbohidrat 20.1 g dan banyak kandungan lainnya seperti protein, gula, serat, kalsium dan masih banyak lainnya.  Sedangkan karbohidrat yang dikandung 100 gr beras ternyata hampir mencapai 80 gr atau sekitar 80 %.  Disamping kandungan protein dan air. Namun ternyata, mengkonsumsi nasi secara berlebihan pun dianggap tidak baik. dalam suatu Penelitian yang dilakukan dengan melihat kembali empat penelitian sebelumnya yang melibatkan sekitar 350.000 orang. Hasilnya diperoleh semakin banyak makan nasi putih, maka semakin tinggi kesempatan seseorang untuk mengembangkan kondisi diabetes tipe 2.
Temuan yang dimuat dalam British Medical Journal menganalisis seluruh partisipan melalui satu porsi nasi 18 gram dan faktor lain, seperti berat badan, tingkat olahraga dan diet. Selama masa penelitian (4-22 tahun), sekitar 13.200 orang mengembangkan diabetes.
Orang Asia dianggap berisiko tinggi terkena diabetes tipe 2. Hal ini disebabkan orang Asia cenderung memiliki asupan jauh lebih tinggi untuk mengonsumsi nasi dibandingkan orang Barat, rata-rata tiga hingga empat porsi dalam sehari. 
             Dengan adanya keanekaragaman pangan dalam kehidupan masyarakat, sepertinya dapat mengurangi beban pemerintah untuk terus memasok kebutuhan nasi. Selain itu, pola konsumsi makanan yang beragam, berkali-kali lipat lebih baik dibandingkan cenderung  pada satu jenis makanan pokok. tentu saja karena adanya kandungan gizi yang juga beragam. semestinya, kesadaran untuk membongkar pola konsumsi masyarakat harus digencarkan secara intensif. jika masyarakat Indonesia dapat kembali pada kebiasaan lama melalui timbulnya keanekaragaman pangan ini, tentunya akan jarang ditemui busung lapar di pinggiran indonesia seperti sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author