Aku
curiga sesuatu yang aneh telah terperangkap dalam tubuhku. Ia bertubuh kecil,
punya sayap dan menyusup lewat pori-pori kulitku yang makin lama terlihat jadi
membesar. Atau jangan-jangan sebenarnya aku adalah bagian dari mereka yang
bukan manusia atau memang benar yang dituduhkan ibu dan dokter bodoh itu bahwa
aku mengidap mental disorder. Ah, sulit dipercaya. Semua keanehan dalam hidupku
ini bermula ketika aku menemani Tristan bermain dengan crayonnya. Anak dari
Mbak Lina, bocah penderita autis yang memiliki kemampuan imajinasi luar biasa
cerdasnya. Aku mengagumi cara Tristan membuat bentuk-bentuk kartun yang
terkadang abstrak dan selesai menjadi gambar yang menarik. Sudah kubilang
imajinasinya liar. Seperti saat itu, tiba-tiba Tristan menarik ujung bajuku dan
menunjukkan retakan tembok rumahnya yang bergaris-garis dengan semburat.
“Ini pegasus, mbak”
jari mungil Tristan berjalan mengikuti alur membentuk pegasus seperti dalam
benak pikirnya. Entah sebab imajiku yang sudah lapuk dimakan angka-angka,
problema dan ego yang semrawut sehingga aku tak mampu mengikuti jalur imaji
Tristan. Kepalaku cuma bisa mengangguk untuk pura-pura mengerti.
“Yang ini bentuknya
kayak pohon bunga sakura. Bunganya
jatuh”
“Ohh”
“Yang ini gajah”
“Belalainya mana?”
“Ini” dengan mantap
Tristan menunjuk retakan berkelok yang kuamini benar sebagai bentuk belalai. Menemukan
satu bentuk imaji yang sama dengan Tristan, membuatku bersemangat juga
menemukan bentuk-bentuk lainnya dari retakan tembok itu. Beberapa menit
selanjutnya kami sibuk dengan imaji masing-masing, dengan susah payah pun akhirnya
bisa kutemukan sebentuk wajah dalam retakan tembok. Kemudian entah kenapa satu
gambar yang kutemukan tadi sanggup membayangi di tiap waktu hingga Mbak Lina
telah datang, lalu aku pulang, tidur dan sosok itupun ikut masuk dalam tidurku.
Tepatnya masuk dalam mimpi, atau aku yang telah masuk dalam dunia lain. Entahlah.
Dalam mimpi itu,
mimpi anehku yang pertama, atau dalam dunia lain yang entahlah, aku
memperhatikannya dari jarak yang sangat dekat sebenarnya. Sekitar jarak baca
normal atau sekitar 30 cm dari tempat ia berdiri memetik portulaca. Tapi ia tak
menyadari keberadaanku. Tubuhku terjepit diantara ilalang berwarna biru
mengkilat yang tinggi menjulang bak rerumpunan bambu. Sosok wajah itu milik
bayi mungil yang punya bulu mata luar biasa lentik dengan iris mata berwarna
biru bening dan bibir mungilnya yang merah merekah. Dia masih bayi seumur Neina mungkin, sekitar
2 atau 3 minggu, tapi mampu berdiri sigap dengan sayap kecil yang mengepak di
sisi kanan kiri tubuhnya. Gila. Belum lagi aku bisa mengidentifikasi manusiakah
atau makhluk jenis lainnya yang ada di depanku ini, sesuatu yang sangat besar
bergerak di atasku. Gerakannya lamban serupa pesawat yang baru landing di
bandara. Dengan kadar takut yang makin tinggi, kalut dan rasa penasaran yang
tak habis-habis kudongakkan kepalaku melihat langit. Seekor bison (yang punya
sayap!) terbang melintas di atas kepalaku. Macam surealisme dalam video klip Up
& Up Coldplay! Bedanya, aku yakin sanggup menyentuhnya secara nyata jika
saja ia terbang agak rendah. Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi saat itu. Sekuatnya kucubit pipi dan kedua
lenganku, berharap ini cuma mimpi konyol dan akan hilang perlahan bahkan lupa
selama-lamanya setelah bangun dari tidur. Tapi cubitanku sungguh terasa sakit
dan herannya aku masih berada diantara ilalang biru dan seorang (atau seekor)
bayi yang masih mengusik liukan portulaca yang berkilauan. Chaos. Aku tak tahu
tengah berada di belahan bumi atau galaxi yang mana. Bagaimana caraku sampai di
tempat itu. Yang kuingat sebelumnya, aku hanya sedang tertidur di di kasur
beludruku setelah menemai Tristan bermain lalu tercebur dalam air gelembung
semacam soda dan jatuh diantara ilallang-ilalang warna biru itu.
Kemudian segalanya
mendadak sirna semacam bekas ingatan liburan semester ketika ada seseorang yang
menepuk bahuku. Rasanya seperti tersedot
dalam mesin penyedot debu dan aku telah kembali lagi di atas kasur beludru. Ibuku
yang telah membangunkanku dari mimpi Maha absurd dan mendapati tubuhku
berkeringat dan bernapas dengan susah payah.
Tak hanya sekali
dua kali mimpi itu muncul seperti nyata kualami. Dan kemudian bukan juga
kutemui dalam mimpi, tapi masuk dalam dunia nyataku. Mereka memperlihatkan
sosoknya secara frontal dan gilanya Cuma aku yang bisa melihatnya! Tidak ibu,
tidak dokter bodoh yang selalu meyakinkan ibu bahwa aku telah mengalami
halusinasi parah akibat mental disorder yang kuidap. Awalnya aku hampir percaya
bahwa yang kualami ini memang sebab penyakit mental yang tak tersembuhkan
mungkin. Tapi di suatu hari, ketika keluarga besar kami tengah makan bersama
termasuk juga Tristan keponakanku, sosok bayi mungil beriris mata biru itu
muncul dari balik meja. Ia tersenyum ke padaku dan selanjutnya pecah menjadi
partikel-partikel kecil yang berterbangan ke arahku. Makanku bertambah lahap,
aku mulai takut pada diriku sendiri. Tapi tetap berusaha menyimpan rapi segala
yang kulihat di sekelilingku atau aku akan dicap gila oleh keluarga besar.
Selanjutnya ketika semua piring telah tandas tak bersisa dan diangkut menuju
dapur untuk dicuci, orang-orang telah beranjak menuju ruang tivi ataupun
halaman, menyisakan aku dan Tristan yang masih mematung di tempat duduk
masing-masing. Kami saling bertatapan dan Tristan tersenyum.
“Aku lihat apa yang
kamu lihat mbak”
“Ah?”
“Aku juga lihat dia
pecah jadi partikel-partikel kecil lalu masuk dalam tubuhmu melalui pori-pori
kulit”
Aku diam mematung.
Belum juga selesai takjub dengan apa yang kulihat tadi, cara bicara Tristan
yang menjadi normal pun ikut membuatku bertambah frustasi memikirkannya.
“Mbak gak percaya
tadi Tristan lihat Vregi juga?”
“Tristan, Vregi itu
apa?”
“Iya yang tadi masuk
ke tubuh mbak itu, namanya Vregi. Dia makan banyak ya mbak”
Aku bergidik ngeri.
Sepertinya aku sedang berhalusinasi parah dan perlu dibangunkan dengan segera
sebelum muncul bison terbang lagi atau hal-hal yang membuatku lebih gila dari
ini.
----
bersambung----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar