Jejak

Jejak

Sabtu, 22 Oktober 2016

Koentji

Share it Please
"Kamu boleh jadi apapun. Kemanapun" 
Semacam dengungan kepercayaan di telinga waktu mendengar jawaban ibu. Sebelumnya saya iseng-iseng tanya ke beliau, ingin anaknya ini kerja apa, boleh kerja dimana dan dengan yakinnya beliau menjawab kalimat itu. 
"Tapi kalo kamu jadi wartawan, ibu kurang sreg" Saya cuma diam mendengar ucapannya, lalu ibu meneruskan alasan jawabannya yang tanpa perlu saya tanyakan. Beliau punya beberapa kekhawatiran. Entahlah apa yang sebenar-benarnya ada dalam benaknya itu. Sebelumnya, ibu pernah menantang saya jadi wartawan. Itu dulu. Tapi seiring waktu bergulir, jawabannya berubah lagi. Saya nggak bisa berdebat banyak dengannya. Sebab belum pernah tau juga kondisi seperti apa yang sebanar-benarnya bakal ditemui seorang wartawan yang sesungguhnya. Dan gak ingin juga berdebat banyak dengannya, sebab seringkali tiap saya keukeuh dengan pilihan saya yang tak ia suka sesuatu pasti terjadi. 
         Trauma paling membekas terjadi waktu saya masih SD. Saat itu, hari Jumat tengah hari. Saya berencana main barbie di rumah teman yang rumahnya mesti melewati empang. Saya dan dua orang kawan melewati jalan empang yang rupanya saat itu entah sedang dilakukan apa,  mungkin sedang pembersihan lumpur dari dalam empang yang kemudian dibuang di pinggirannya (ngawur), sehingga tanahnya bisa serupa lumpur yang mampu menghisap tubuh kecil kami. Sungguh itu momen paling membekas seumur hidup. Semacam ada tangan dari dalam tanah yang mampu menarik tubuh kami masuk ke dalam tanah, sandal-sandal yang gak bisa diangkat oleh kaki dan malah tertinggal dalam lumpur. Kami panik, dan secara brutal menangis dan berteriak-teriak histeris sedang lumpur terus menyedot makin dalam. Untungnya, ada dua orang dewasa yang saat itu sedang berjaga di sekitaran empang. Kami tertolong hari itu, lalu gak jadi menyebrang empang dan berbalik pulang. Sampai di rumah, dengan jantung yang masih berdebar gak karuan, saya berbicara dengan nada berbisik di samping ibu. menceritakan apa yang saya alami tadi yang pungkasnya beliau jawab dengan nada gusar "Dibilangin suruh tidur siang. Jangan main. Kalo Ibu gak ridho, Alloh juga gak ridho" Setelah itu, saya cukup kapok. 
        Tapi dewasa ini, banyak bukti kembali saya rasakan lagi. Waktu itu pernah mendaftar mau ikut penjelajahan ke Papua selama satu minggu. Segala macam pengorbanan sa kira sudah cukup dilakukan, segalanya terasa sudah di depan mata. Tiap ada orang papua lewat, rasanya pingin saya sapa tapi malu. hehehe. Tapi rupanya, persetujuan ibu yang bilang iya-iya aja di telinga saya, gak sesuai dengan apa yang di hatinya. Dan benar apa yang saya tebak, sebenar-benarnya Ibu gak pernah meridhoi niat itu. Yasudahlah gak akan bisa didebat. Makanya tiap ibu lagi marah, saya takut bantah. Omongannya itu semacam bertuah. Huhu...
         Sekarang sa sudah lulus. Hampir wisuda deng tepatnya. Mau jadi apa ya? Kan bingung. Dasar mahasiswa abal-abal saya ini. Katanya Sam si penulis Catatan Akhir Kuliah di blognya, lulusan yang baik itu bukan yang cepat lulusnya, tapi yang tahu habis lulus mau kemana. Duh kakak, saya mah tahu dong habis lulus pinginnya kemana. 

Nikah! *senyum pepsodent*. Tapi sayang, jodohnya belum ketemu. Ugh, bang toyib.  

Yasudah, kerja dulu aja adek bang meski belum tau dimana. Pinginnya di luar kota, biar mengenal daerah, manusia dan budaya barunya. Pinginnya. Tapi pasrah saja sih. Wong Alloh selalu bikin rencana hidup yang Maha misterius kok. Hanya saja, ada sesuatu yang seringkali bikin melo.

Sebagai anak rantau kadang saya suka mikir, kapan lagi setelah ini ada waktu panjang hidup sebagai bagian dari keluarga di rumah. Yang setiap harinya tau rutinitas bapak, ibu dan dedeque. Melihat senyum mereka setiap hari, dimarahi, makan tanpa bayar, dan rutinitas lainnya yang orang lain anggap biasa-biasa saja. Lima tahun hidup di Jember, baru kemarin 2 bulan benar-benar tinggal di rumah dan rasanya seperti mengenal lagi masing-masing manusia yang hidup dalam rumah itu. Habis ini kerja. Kalo nanti bisa dapat kerja di luar kota, sa akan ngekos lagi. Ibu bilang, orang tua memang harus selalu ikhlas melepas anaknya. Semacam kalimat pasrah yang tulusnya gak main-main. Tingkatan cinta yang warbiyasah bisa kau lihat pada mereka.
          Hidup memang mesti berjalan.. Buat mereka juga sa mau berjuang. Tapi ya semacam jodoh kan, kerja juga punya waktu dan momentumnya sendiri. 

"The right person,

the right moment,
and the right way."


Bersabar adalah koentji. Selamat bejuang dan menemukan apa-apa yang terbaik dalam hidup.  []



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author