Jejak

Jejak

Kamis, 07 April 2016

Cantik Bernama Lani

Share it Please
       Senja telah memudar di langit pantai saat kuputuskan bersetia duduk di tepiannya. Dinginnya lantai pasir, deru ombak juga lampu dari mercusuar yang berkedip adalah ikatan paling eksotis untuk menampik ajakan masuk ke dalam rumah penginapan kami. Aku tak peduli dingin, kedamaian sedang menjelma menjadi jaket tebal dengan bulu-bulu halus di sekitar leherku. Sangat nyaman. Rasa yang jarang kutemui di tengah padatnya kota. Hal yang mungkin tak bisa dipahami oleh siapapun, bahkan oleh ragaku sendiri.
      Lima menit yang hening kemudian pecah sebab tapak kaki yang bergerak mendekat. Aku menoleh ke belakang dan melihat ia tersenyum cukup lebar.
“Boleh kutemani mbak?”
“Tentu”
Kupersilahkan ia duduk di sampingku. Hampir tanpa suara ia memposisikan diri dan tetap hening meski bermenit-menit terlewati.
“Kau menikmati apa Lani?” aku mulai buka suara sebab semakin lama merasa janggal dengan kesunyian yang kami cipta masing-masing. Gadis tambun di sampingku menoleh.
“Tidak ada mbak. Hanya takjub pada bayangan kita yang bersebelahan sejak tadi” aku mengernyitkan dahi dan ikut mengamati bayangan kami.
“Ada yang salah? apa jadi tiga atau hilang satu?” Kugoda Lani yang memang penyuka tontonan horror dan seringkali berpikir di luar kebiasaan.
        Lihat saja, kukira sejak tadi kami punya jeratan mata yang sama. Ombak bergelung, lampu mercusuar atau bintang-bintang yang bertaburan bak wijen di onde-onde. Namun Lani malah memilih bayangan kami berdua sebagai objek matanya. Lani tertawa. Memperihatkan gigi-gigi kecilnya yang rapi berderet.
“Mbak, bayanganku terlihat lebih besar sekali. Milikmu kecil. Terlihat kontras dan bergerak harmonis sejak tadi. Aku suka sekali”
“Bayangan kita bisa selaras dan serasi kalo kamu mau diet Lan” Lani tersenyum jenaka. Gadis yang tak pernah mau meninggalkan kebiasaan makan berat di atas jam 10 ketika kami lembur sampai malam.  Hal-hal yang justru dihindari hampir semua wanita yang menjaga kerampingan, kecuali mereka benar-benar lapar.
“Aku suka lapar kalo malam. Berpikir membuat tenagaku cepat habis”
“Setidaknya kamu perlu mengatur porsi makanmu, Lan. Rajin berolahraga, menahan nafsu makan, belajar make up dan voila... kamu bisa secantik aku”
Lani masih dengan senyumnya yang lebar.
“Aku tak ingin melakukan hal-hal yang tak kusuka mbak. Menjalani diet adalah siksa. Padahal banyak makanan enak yang bisa kau nikmati setiap harinya. Juga berdandan cantik, kurasa jadi batasan gerak yang konyol. Bahkan kupikir make up hanyalah piranti jahat yang memoles kepalsuan di dunia”
“Astaga! kamu tidak sedang berusaha menjadi pria kan?” Gelak tawa Lani mengeras diantara pecahan ombak.
“Aku masih suka menjadi perempuan mbak. Perempuan yang paham kodratnya. Untuk itu, aku masih terus belajar menjadi manusia bernama wanita”
“Bahkan kamu tak pernah sekalipun menyentuh piranti make up, Lan. Ke kantor dengan tampilan seadanya. Bergerak semaumu, loncat kesana kemari. Mau kau apakan pembelajaran manusia bernama wanita itu?”
“Buatmu harus seperti apakah wanita itu mbak?”
“Tentu saja ia harus pandai berdandan cantik agar suamimu nanti tak bosan memandangmu, bisa memasak, bergerak anggun, lembut dan hal-hal manis lainnya”
         Lani mengangguk lemah bibirnya masih tersenyum. Namun sebagai seorang atasannya di kantor, aku tahu sorot mata itu tengah memikirkan sesuatu.
“Mbak, tapi wanita bukan hanya sekedar pemanis untuk pria. Di dunia ini, Tuhan mencipta wanita bukan sebagai objek tapi juga subjek seperti laki-laki. Kukira kita mulai lupa akan hal itu. Male Gaze, meminjam istilah dari Laura Mulvey. Terlalu banyak dari kita hanya ditempatkan sebagai objek oleh laki-laki. Dipandang sebab kecantikan, dinilai semacam ini dan itu. Kecantikan perempuan jadi pemuas pandang laki-laki. Lalu kita jadi terjerat pada hal-hal artifisial. Kecanduan produk-produk pemutih, pelangsing, melukis alis, pemburu gincu, meluruskan rambut dan oplas bila perlu. Semua hanya untuk mendapat pengakuan cantik. Sekarang cantik bukan lagi mitos yang sulit dijangkau. Siapapun bisa cantik. Menjadi putih, langsing. Dan siapapun kini telah sulit menjadi diri sendiri”
         Aku tersihir. Kurasa sepanjang waktu mengenal Lani baru kali ini ia menumpahkan pikiran yang bersarang di otaknya. Selama ini aku dan juga teman-teman kantor wanita yang lain hanya menganggap ia sebagai tomboy yang alergi gincu dan piranti lainnya. Tak pernah berpikir sedetail ini.
“Lani, berdandan buatku sebagai pemuas diri. Aku suka terlihat cantik di cermin”
“Aku tak mengatakan itu salah mbak. Menjadi cantik adalah naluri setiap perempuan, pun aku. Poinnya bukan hal ini yang ku permasalahkan. Hanya saja aku mulai gelisah sebab banyak kegilaan yang kita lakukan atas nama cantik dan kesempurnaan, lalu didapuk sebagai hiasan. Kita sama-sama subjek dengan laki-laki. Dan lihatlah mereka, bisa cuek dengan segala yang mereka miliki. Dengan bangga mengatakan dirinya keren. Tak banyak khawatir pada perut yang buncit juga bertingkah semaunya. Apa yang salah? Apa sebabnya kita seringkali diminta anggun, teratur dan dilihat lemah? lalu punya banyak batasan dalam masyarakat sedang mereka bebas dari itu”
         Lani menarik nafasnya panjang. Mungkin lelah setelah banyak pembicaraan yang sedikit menelurkan emosi buatnya. Entah apa yang menyebabkan pikirannya terbentuk demikian.
“Bisa jadi apa yang kamu pikirkan itu benar Lani. Kita mulai lupa menjadi diri sendiri. Ingin selalu serupa cantik seperti yang lain. Tapi, jangan terlalu berprasangka. Bisa jadi apa yang ada dalam pikiran kita tak seburuk kenyataannya”
              Lani tersenyum lagi dan aku tahu tak ada raut lega yang tergambar di wajahnya.
“Aku mau masuk. Mbak Intan bareng?” mendadak ia beranjak sembari membersihkan pasir yang terikut sisa duduk.  
“Nggak. kamu duluan aja” Lani tersenyum, lalu berjalan pergi menjauh. Menyisakan ruang kosong diantara pecahan ombak dan bintang-bintang. Juga menyisa lorong pikir yang tiba-tiba menyembul. Entahlah, tapi kupikir Lani cantik sekali. []

2 komentar:

Followers

Follow Us

Follow The Author