Jejak

Jejak

Rabu, 08 Juni 2016

Skenario Terbaik

Share it Please
http://3.bp.blogspot.com/-Gb4DDXlvCGM/Ux0NqmwbNPI/AAAAAAAABEU/Z_CwAC8px3o/s1600/

Sore menjelang berbuka kemarin hari, motor seorang kawan yang akan saya bawa ke kosan rupanya bocor di jalan. Di sekitar Mastrip saya berbalik arah menuju tambal ban dekat gerbang kampus FKG. Disana sudah ada hingga tiga motor pengendara yang tengah menunggu bannya ditambal juga. Bapak tukang tambal ban mengusulkan saya mencari tempat yang lain sebab antrian masih panjang. Saya bergegas pergi mencari di depan PKM, dan mendapati tukang tambal ban di seberang jalan depan bank. Rupanya di hari itu rejeki tukang tambal ban sedang baik, sesampainya di tambal ban kedua saya juga harus mengantri sebab sudah ada dua sepeda motor yang sedang ditambal bannya. Setelah saya,kemudian datang lagi satu sepeda motor yang bannya bocor. Saya menunggu sembari duduk di bangku panjang yang biasa jadi tempat ngopi kala siang atau malam. Mungkin sebab sedang puasa, warung kopi ini masih tutup. Saya masih antrian ketiga dan waktu berbuka kurang beberapa waktu lagi. Saya menikmati saja duduk sembari memperhatikan sekitaran. Udara dingin yang segar sebab hujan habis turun dengan derasnya dan beberapa lapak es dadakan yang mulai buka menjadi teman di senja hari kemarin.
Di seberang jalan tepat di depan saya, sebuah motor yang ditumpangi dua dedek mahasiswi berhenti. mereka memperhatikan sekeliling sembari membuka kresek berwarna hitam dan mengeluarkan dua gelas es buah yang terlihat segar. Selanjutnya mereka taruh dua gelas es buah diatas jok motor mereka. Saya penasaran dengan apa yang mereka lakukan. ketika seorang pria paruh baya melewati mereka, salah satu diantaranya berteriak “Pak beli es buahnya pak” Si bapak paruh baya hanya melirik dan melewati mereka begiu saja. Saya garuk-garuk kepala. dedeq-dedeq gemez ini sungguh punya sistem marketing yang aneh atau ndak bondo sama sekali. Beberapa menit berikutnya, dua temannya yang lain datang membawa senampan es buah. Saya menarik nafas lega. Rupanya yang tadi hanya pemanasan. tak hanya senampan, tapi juga sebuah poster putih yang tak terbaca dari jarak tempat saya duduk. Mereka berjualan khas dedek-dedek mahasiswa di FTP fair yang menawarkan produk makanannya, berteriak memaksa minta dibeli sembari meninggikan kualitas produk berdasarkan gizi-gizi hasil googling (aku pisan yo ngono mbiyen, ndab). Sudah beberapa waktu terlewat dan tak satupun melirik dagangan mereka. Satu orang kawannya datang lagi, ikut meramaikan iklan es buah. Tapi masih sama saja dengan penjual es di samping mereka yang juga bawa rombongan dari sebauh organisasi sepertinya, sepi pembeli. Sedang ibu penjual es blewah di samping saya sudah kedatangan banyak pembeli sedari tadi. Waktu berbuka tinggal sebentar lagi. Sepertinya wajah-wajah mereka mulai resah meski jalan di sepanjang kalimantan mulai penuh ramai.
Penjual takjil dadakan seperti mereka menjadi salah satu pernik ramadhan kala menjelang berbuka. Salah satu ciri khas sepanjang jalan yang membuat pengendara punya banyak pilihan untuk membeli. Entah untung atau tidak, saya rasa bukan itu poin penting yang mereka mau. Tapi lebih karena momen merayakan ngabuburit bersama untuk jadi kenangan yang berharga. Sebab berjualan mendadak di pinggir jalan memang hal yang menarik untuk dilakoni. Seperti survival game yang pernah dilaksanakan oleh matkul Kwu dulu atau seperti FTP fair. Prosesnya memasak, berbelanja, merancang harga, marketing dan lain-lainnya justru lebih dikenang dibandingkan penghasilan yang memang tak seberapa. Pengalaman selalu jadi guru yang baik ya.
Masa itu telah terlewat buat saya. Sekarang sudah di tahap akhir dan rasanya banyak sekali hal yang menguji sabar. Mungkin benar jika tahapan skripsi tak hanya bersoal perkara itu, ada banyak cabang masalah yang mengakar darinya. Melihat dedek-dedek gemes ini, saya jadi memikirkan apa saja yang sudah saya lakukan sebagai mahasiswa selama ini. Bekal apa yang bisa saya bawa untuk hidup dalam masyarakat nantinya. Kok rasanya hampir nggak ada. Perjalanan ke Surabaya kemarin, mendadak bikin saya mikir hal-hal yang sesak. Betapa setelah ini, tak ada lagi yang menjamin hidup saya dari rasa nyaman. Ketika menjadi seorang mahasiswa, kesalahan sekecil apapun bisa saja dimaklumi sebab kita masih seorang mahasiwa yang dibimbing, sedang setelah lulus nantinya tak ada yang bisa menjamin apa kesalahan yang kita lakukan bisa ditolerir sebab kita telah jadi seorang profesional atau minimal sarjana yang dianggap tuntas menyelesaian pendidikan. tak ada lagi tiket masuk atau potongan harga yang lebih murah untuk pelajar. Tak ada pemakluman dari masyarakat sekitar sebab belum mendapati pekerjaan. Dianggap lebih dewasa menyikapi permasalahan. Dianggap lebih pandai dan harus bersikeras untuk diri sendiri. Mesti kembali beradaptasi. Lalu muncul banyak pertanyaan kapan lainnya setelah kapan lulus terlewati. Contohnya, kapan menikah? Lalu sepertinya tahun ini akan jadi tahun terakhir saya menerima angpao dari saudara dekat. hahaha. Tahun depan mestinya sudah saya yang ganti memberikan angpao ke ponakan yang mendadak jadi bertambah banyak laki-lakinya. Satu hal yang pasti, memberi tak boleh jadi beban dan tumbuh menjadi dewasa dengan segala perniknya adalah keniscayaan. Baiklah, saya jadi pingin nikah saja, adek lelah garap revisian bang. #eeeh. Nikah juga ndak sebercanda itu, dek.
Saya ingin saja mengeluhkan beberapa hal belakangan. Tapi sudahlah, sepertinya Tuhan memang menghendaki jalan cerita yang rumit dan harus terus “menunggu” semacam ini. Seperti yang bu penguji katakan “kamu pasti lama sekali menyusun skripsimu ini. beruntunglah kamu mendapat dua pembimbing yang disiplin merevisi tulisan mahasiswa”. Saya tersenyum. Kecut. Penderitaaan yang saya rasa malah dianggap keberuntungan oleh ibu manis yang setiap kali ditemui mengaku selalu sibuk. Rasanya saya mau bilang juga, saya tambah beruntung lagi sebab mendapat ibu dan pak imut sebagai penguji saya. Kantong sabar saya mesti lebih besar dari sebelumnya.  Ah, kadang hidup jadi sebercanda ini rupanya. Tapi, iya. Mungkin saja saya memang beruntung untuk di waktu depan. Sekuat apapun saya berusaha untuk cepat, seberapa besarpun saya berharap kalo Tuhan belum menghendaki ya mau apalagi to selain pasrah. Toh, Allah selalu punya skenario yang baik cum menarik hati syalala. Meski kadang terasa nyeri. Seperti jalan ceritanya soal jarak dan waktu.
Apa saya, kamu memang sekuat itu? Apa ini Cuma permainan hati yang ndak tau ujungnya mau kemana? Kalo untuk alasan itu saya minta berhenti saja. Sakit lo. Menahan rindu saja sudah perih, apalagi Cuma main-main. iya, dalam kebutaan semacam ini sepertinya kita hanya bisa meraba-raba, menimbang, dengan terkadang-kadang memunculkan banyak keresahan, pasrah atau hal-hal lainnya. Apa kita memang sekuat itu? Apa memang mesti tabah menunggu?
Saya sedang lelah. Hanya butuh hujan deras hari ini, yang berujung pelangi indah dan senyum milikmu diantaranya. Hujan di sepanjang jalan Kalimantan kemarin serupa aromaterapi yang diramu untuk menenangkan pikir. Tukang tambal ban, menyudahi menambal ban motor kawan saya. “ini pakunya, mbak” si bapak menunjukkan sepotong paku berukuran sedang pada saya. “Bolongnya dua. Untung saja masih bisa ditambal. selamet kamu, biasanya ndak bisa mbak” beliau meneruskan lagi. Saya ndak paham sama penjelasan bapaknya mengenai tambal ban yang habis ia lakukan. Tapi mendengar kata selamat dari ucapannya, saya hanya tahu Tuhan telah menolong saya sore itu. Diah menelepon saya kemudian. Lalu saya menghampirinya untuk berbuka puasa bersama di bunderan DPR, tempat favorit kami. Mungkin karena spotnya yang menarik menghadap air mancur atau sambalnya yang enak atau mungkin karena kawan makannya. Saya kira karena semuanya. Saya mensyukuri semua yang sedang saya miliki saat ini. Setelah lulus nanti, belum tentu saya masih memilikinya lagi. Terimakasih Tuhan untuk semua yang saya punyai. Untuk banyak pelajaran. Untuk ramadhan yang masih bisa saya jalani. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author