Jejak

Jejak

Senin, 26 Oktober 2015

Wulan

Share it Please
        Saya dapat kabar sahabat SD saya meninggal hari ini. Feri Tri Wulandari, namanya. Kami sudah cukup lama tidak berkomunikasi intensif. Terakhir kali mungkin saat masih kelas 3 SMP atau awal-awal SMA. Sudah lewat beberapa tahun yang lalu. Tapi kenangan bersamanya di SD dan juga SMP, meski intensitasya tak sesering waktu SD, masih melekat di ingatan saya. 
       Wulan ketika SD adalah sosok kawan yang sangat baik, sabar dan perhatian. Dia seringkali jadi bahan bullyan teman laki-laki di SD karena kulitnya yang hitam legam. Tapi dia tak pernah membalas olokan mereka atau bersedih karena itu. Hanya sekali Wulan pernah menangis, saya lupa karena apa, yang pasti karena diganggu anak laki-laki di kelas saya yang nakalnya gk karu-karuan. 
       Kami berteman karib. Dia seperti seorang kakak buat saya ketika itu, karena kepribadiannya yang hangat dan suka ngemong. Saya suka main ke rumahnya, meski gak setiap hari. Seringkali bermain lempung yang kemudian dibuat jadi alat masak-masakan lalu kami jemur hingga kering. Wulan anak yang kreatif saya pikir. Disaat teman-teman yang lain beli mainan masak-masakan, dia bikin sendiri. Makanya saya suka ke rumahnya. Karena ada saja yang dia lakukan. Pertama kali tahu cara buat mie juga bareng Wulan di rumah Nanda ketika itu. Saya ingat waktu ibu buat mie, cairannya banyak. Saya gak berpikir cairan itu air. Maka kami tuangkan minyak sebanyak mungkin untuk merebus mienya. Keren ya. hahaha. Untung saja ibunya Nanda datang lalu segera mengganti minyak dengan air. Kenangan lainya yang paling melekat adalah tentang kami berdua yang suka sekali berkirim surat untuk bercerita tentang apapun, misalnya keinginan kami untuk masuk SMP yang sama, keinginan Wulan yang ingin punya rambut panjang atau hal-hal lain yang sialnya saya lupa.
        Lulus dari SD, kami tidak berada dalam SMP yang sama.Tapi agenda bertukar surat masih jadi agenda rutin. entah bagaimana cara kami saling memberikan surat ketika itu. Kok saya lupa. Mungkin waktu dia mampir toko ibu saya, atau ketika sesekali saya main kerumahnya. Isi suratnya di SMP masih saya samar-samar saya ingat. Ia mulai bercerita mengena cinta pertamanya. Dia menyukai seorang laki-laki di sekolahnya yang tak lain sahabatnya sendiri. Atau ketika dia dicemburui oleh gadis lain. Atau dia yang cemburu karena saya sudah punya kawan-kawan baru. Kami selayaknya pacar yang suka saling cemburu kalo salah satu diantra kami main dengan kawan-kawan baru. Dikenang begini, rasanya lucu juga bagaimana lebaynya kita memperbincangkan masalah kecemburuan kita saat itu. 
         Lalu, semakin sibuknya kita di UNAS, semakin banyak teman disekitar yang silih berganti, membuat spasi panjang pada kita. Tak pernah lagi bertemu, hanya saling titip salam ketika aku bertemu ibumu atau kamu yang bertemu ibuku. Saling bertanya kabar dan posisi dimana sekarang lewat mereka. Seingatku, kita terakhir kali bertemu selulus SMA ketika kamu akan berangkat kerja di Jakarta ya? Ah.. sudahlah. Saya melewatkan banyak hal sepertinya. 
        Wulan, kita tak bisa lagi menyambung surat seperti dulu. menrima surat kertas darimu dan membacanya. surat-surat yang jumlahnya sangat banyak itu saya simpan di dompet biru. Entah kemana dompet itu sekarang. Maafkan saya Wulan. Andai saja saat itu saya bisa lebih bisa menghargai bukti sebuah kenangan. saya cuma bisa mengirim surat doa buatmu saat ini. Tenanglah disana, kawan. Tak akan ada yang mengolokmu si kulit hitam disana. Semoga semua amal ibadahmu diterima di sisiNya. Saya sayang kamu dan semua masa kecil kita yang indah. Terimakasih ya :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author