Jejak

Jejak

Senin, 23 November 2015

Stereotip

Share it Please
      Sebagai pembuka, saya ingin mengingat bahwa tulisan sebelum ini telah saya hapus dari wajah blog. Karena, entah mengapa membuat saya sedih sendiri mendapati diri saya yang berusaha sok tegar padahal, yah. jelas masih saja mengingat kamu.
*tariknafaspanjangbacksonglapangdada*

Oke, skip. 

pict taken by Gozalli
     Lihat boneka mungil itu? Saya tengah duduk dalam sebuah seminar hasil kawan saya ketika mendadak melihat gantungan flashdisk milik teman menggantung lucu ditangannya. Saya pinjam, dan lama saya perhatikan dengan seksama. Kemudian muncul persepsi begini, kok boneka ini saya banget. Selain lagu di atas kapal kertas milik Banda Neira, saya punya representasi baru tentang seorang saya pada boneka ini. Rasanya seperti bertemu seorang saya yang lain di depan kaca. Mendadak begitu. Terlepas dari hidungnya yang juga mungil, haha saya melihat ia begitu semaunya. Namun terlihat kaku dengan penampilan glamour yang ia kenakan. Kenapa begitu terpaksa, sayang? Lepaskan saja jika itu sangat mengganggumu. Kita tak akan pernah bisa terlihat baik di mata semua orang, jadi berusaha setulusnya saja untuk terlihat baik di mata Tuhan. Aman. Jika disuruh pilih miniatur boneka yang menggambarkan diri sendiri, saya merasa bukan barbie. Saya hanyalah boneka kecil yang begitu adanya. Ah, sulit menjelaskan, lebih enak makan sosis depan kedai kampus.
      Saya sedikit miris pada pandangan orang belakangan. Seringkali memandang seseorang secara personal dari stereotip yang ia miliki. Padahal gak selalu begitu dalam beberapa aspek. Semisalnya saja, seorang kawan saya pernah cerita bahwa temannya yang easy going itu rupanya salah satu anggota organisasi islam yang saya kategorikan garis keras. Gak menyangka saja. Saya pernah berkenalan dengannya, dan ia tak terlihat fanatik dari luar. Ramah dan tak memberi sekat klasik "laki kiri, perempuan kanan". Menarik. 
       Pun, akhir-akhir ini sebuah organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia tengah mendapat cacian disana-sini. Saya punya banyak kawan dekat yang dulu satu kontrakan dengan saya tergabung dalam organisasi besar tersebut. Ya, saya tahu hubungan pertemanan kami ketika itu seperti dibatasi sekat tak terlihat. Dekat tapi berbatas. Semacam itulah.  Sebabnya, karena saya berada dalam organisasi yang begitu menjunjung tinggi independensi dan tak suka pada manusia-manusia berkepentingan kelompok. Kami, semacam dua kubu yang bertentangan. Meski dasarnya dalam lubuk hati saya paling dalam, tak pernah secara personal membawa hal itu dalam hubungan pertemanan kami. Namun pernah juga berpikiran sangat kecewa akibat sikap-sikap mereka yang begitu golonganable. Tapi saya pikir lagi sekarang, mungkin saja saya terlalu didoktrinasi stereotip yang mereka punya sepertinya. Mereka orang-orang yang baik pada saya. 
      Jadi, begitulah. Pikiran kita rupanya mudah sekali terdoktrinasi ya pada stereotip yang dimiliki seseorang. Saya kira ini gak adil untuknya. Diluar kepentingan politik dari kelompok dan hal-hal politik yang dia bawa lo ya. Saya polos soal itu. Saya cuma membicarakan hal-hal personal dalam hubungan sosial pertemanan. 
      Saya jadi ingat peristiwa sadis tahun 1965-1966. Pembantaian jutaan jiwa manusia yang dianggap komunis di masa orde baru. Peristiwa yang terlahir dari stereotip yang dibentuk pemimpinnya. Para perempuan yang dianggap gerwani dilucuti satu persatu pakaiannya kemudian diperkosa dengan begitu keji  dan sangat tak manusiawi. Saya suka cengeng tiap kali membaca artikel soal penyiksaan dan pemerkosaan gerwani, atau ketika pertama kali melihat film The Act of killing dan Senyap. Cerita bagaimana para penjagal itu membunuhi orang-orang yang dianggap PKI dengan sangat sadis. Sangat miris dan ketika ingat film itu, saya langsung bertanya pada bapak ketika pulang. Apa kakek saya seorang penjagal PKI? Saya begitu lega ketika bapak menjawab tidak memiliki hubungan apapun dengan itu. Saya takut menanggung rasa bersalah ketika mendengar jawaban iya. Saya membayangkan peristiwa ketika itu begitu perih. Saya merasa tanggal lahir saya begitu salah, dikenang sebagai kekejaman PKI. Hiks, wong saya itu orange gampang nangis kok dianggep kejam. Emoh aku. 
       Stereotip. Kata-kata ini entah kenapa begitu menggelitik buat saya. Seseorang bisa membenci teman karena streotip golongan yang ia punya. Bisa jadi, sikapnya sedikit banyak dipengaruhi cara pikir dalam golongannnya. Tapi terlepas dari itu, kawan-kawan saya masih asik. Kami tak pernah membahas apapun soal organisasi masing-masing. Hingga saat ini, kami cukup nyaman dengan hubungan pertemanan ini. 
      Sama halnya dengan sekelompok perempuan yang suka bergosip. Misalnya, salah satu dari mereka bermasalah dengan perempuan lain diluar mereka. Kemudian ia menceritakan perihal masalahnya pada kelompok kemudian mereka bergunjing, munculah banyak pandangan, banyak gosip tentang perempuan lain itu. Semua anggota dalam kelompok akhirnya membenci satu orang itu yang tadinya cuma bermasalah sama satu orang dalam kelompok. Solidaritas tinggi mamen.  Bahkan jika gosip tadi menyebar ke seluruh penjuru dan si pendengar tak bisa memilah dengan baik dan menelan mentah-mentah berita yang ia dapat, mampus sudah satu perempuan yang bermasalah tadi. Ia punya "label" baru. Jahat sekali ya. 
      Katanya mau hidup damai dalam keberagaman. Wong menerima perbedaan pilihan orang lain saja ndak bisa, gimana mau tentram. Masak semua orang disuruh punya pikiran yang sama kayak kita. Haha. Metaok yan
       Jangan dikira saya suci, gak pernah bergosip. Halah, itu makanan perempuan kebanyakan. haha. Duh dek. Padahal kadang kalo lagi genah, saya suka mikir bergosip itu perilaku jahat yang merugikan orang. Ya karena itu tadi, lewat bergunjing kita jadi ikutan gak suka sama keburukan yang orang lain perbuat. Suka lupa bercermin boroknya diri sendiri. 
      Maka itu perlunya menyaring informasi. Jika orang tersebut tak pernah berlaku buruk padamu, ngapain ikut membenci? Toh nggak pernah menyaksikan sendiri atau melakukan perbuatan buruknya pada kita. Jangan mudah terdoktrinasi. Apalagi gosip murahan. Duh, kesehatanmu lo. 
      Sebagai penutup, itu cuma saran klasik yang sebenarnya juga banyak dipikirkan orang lain namun masih saja sering dilupakan. Saya cuma mengingatkan barangkali lupa dan juga menjelaskan bahwa saya bukan manusia baik hati suci berseri sepanjang hari yang gak suka bergosip. Duh, jangan sampai terdoktrinasi oleh tulisan saya ini. haha. Tulisan ini saja hasil peraduan pikir untuk menyindir saya sendiri yang masih suka kemakan stereotip dan gosip murahan. Baiklah saya mau mandi dan berangkat menuju harapan. Mau nitip salam dulu sama cahaya pagi yang mulai terang, untuk tuan rembulan penuh disana. 

Selamat pagi, sam. Saya rindu kamu. Kamu iya nggak? *penutup yang gak nyambung* []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author