Jejak

Jejak

Sabtu, 07 November 2015

Dialog kami

Share it Please
      Sore tadi saya gak bertemu hujan. Jendela tertutup sejak sebelum hujan turun, makanya petrichor gak cukup berkeliaran di kamar saat titik-titik air datang. Saya menikmati tidur sore tadi. Bangun dari tidur hujan sudah reda, tinggal gerimis sangat tipis yang tersisa. Karena lapar, dan entah kenapa sangat ingin, saya beranjak ganti baju untuk keluar kosan lalu berjalan sendirian menerobos titik-titik air. Mau cari makan dan berbincang dengan sisa hujan. 
       Jalanan sepi. Hanya ada beberapa motor dan satu dua orang berjalan pulang. Sebab waktu hampir maghrib dan tentu saja karena gerimis yang masih nyeriwis kecil. Saya bersyukur sih, karena lebih menikmati jalan sore tadi. Saya dan sisa hujan pun berjalan seiringan sambil berbincang. Hujan bilang, dia sedang rindu pagi. Bertemu senja yang sering disebut romantis nyatanya tak membuat ia senang, atau bisa menghilangkan rindunya pada pagi. Lalu saya sarankan padanya, datang saja besok saat mentari muncul. Terkadang saya pikir, pagi butuh ditemani karena banyak manusia masih tertidur saat ia datang. Tapi sisa hujan malah menggeleng pelan. Entahlah, saya gak paham sama air ini. Maka saya biarkan obrolan kami menggantung di langit kelabu. Kami cuma diam melanjutkan perjalanan.
      Sepulang dari warung, sisa hujan masih menanti saya di gang. Kami berjalan seiringan lagi. Giliran saya yang cerita. Kemarin malam saya bertemu seorang pria bertubuh kecil di depan Indomaret. Anak lelaki ini memanggil saya dan Cece yang baru saja keluar dari Indomaret membeli sekantong snack untuk melihat wayang. Saya berhenti Jan, mengambil snack untuknya karena saya pikir ia tengah lapar atau entahlah karena wajahnya yang terlihat lusuh dan keletihan. Tapi pemberian saya ditolak. Anak lelaki itu bilang dia menjual kaos (yang tidak saya lihat dimana kaos yang ia maksudkan). "saya butuh uang buat bayar kosan mbak. Saya jual kaos, itupun kalo mbak mau beli" katanya menambahkan. Saya terperangah mendengarnya. Selain bingung karena tak melihat satupun kaos yang dimaksud, juga karena ia yang menolak pemberian saya. 
         Saya jadi ingat film Rayya, Jan. Ada adegan ketika Rayya ditolak ketika membeli karak dengan uang lebih. Kita hanya punya kesamaan situasi. Dengan pemaknaan yang berbeda-beda tentu saja. Dalam Rayya, ada makna untuk menjunjung martabat disana. Sedangkan dalam situasi saya, mendadak sadar, saya berubah. Berubah dalam artian banyak hal. 
        Proses hidup akan terus berjalan hingga ajal. Sebab hidup tak hanya soal makan, tidur dan buang air, maka sudah semestinya sebagai manusia kita bergerak sambil menemukan makna. Supaya tak menjalaninya dengan kosong. Kata Arya dalam Rayya:

hidup itu bukan tentang apa yang kamu cari. tapi tentang apa yang kamu temukan. seluruh usia nggak akan cukup, mana sempat mau cari?

       Seringkali, saya sibuk mencari hingga lupa caranya menemukan, Jan. Saya menyesali ini. Melewatkan banyak hal hanya untuk sibuk mencari. Banyak potongan kisah mendadak muncul di kepala saya Jan. Mereka tak membuat saya sedih kok. Tenang saja. Mereka cuma hadir untuk memaafkan, lalu membiarkan saya hanyut dalam ketenangan yang tak bisa saya jelaskan. Entah ketenangan muncul karena saya lagi denganmu, atau ada hal-hal lain. Tapi saya menyukainya. Berharap mereka terus ada untuk mengingatkan saya. 
         Kemarin lusa, saya bertemu dengan seseorang Jan. Seorang pria yang begitu menyayangi, dan entah sekarang. Sudah cukup lama sejak ia menyatakan kalimatnya, lalu seringkali menghindari tatapan mata saya. Dia bilang, gelas yang retak tak mungkin kembali utuh. Dia benar Jan. Persahabatan kami sudah tak bisa utuh. Canda tawa kami pergi menuju penghabisan.
          Perubahan datang begitu cepat, manusia yang tersenyum bersamamu kemarin mampu membuat tangisan di pipimu hari ini. Sebab tak ada yang tau nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing kata Chairil.  Jadi tenanglah, Yan. Jangan panik melihat banyak perubahan bergerak di sekelilingmu. Hujan memberi saya waktu untuk terseyum. 

Terimakasih Jan, telah setia menemani dan tetap nyeriwis hingga kosan. 

         Sisa hujan kemudian berlalu sembari membawa pesan yang saya titipkan untuk seseorang. Tuan dari tahu enam, tempe dua, hongkong dua dan bulan yang indah malam itu. Meski tinggal sisa-sisa, hujan tadi masih menyimpan angin yang bisa mengabarkan pesan ke penjuru kota ini. Termasuk ke sudut hati. Kamu. 
         Ketika angin sisa hujan mengetuk pintu kamarmu, tolong maafkan. Saya menitipkan sekantong rindu dan rasa yang sulit dijelaskan. Saya sedang tak cukup kuat menikamnya sam.[]


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author