“Sudah kubilang potong rambutmu,
Sa. Lihatlah rambutmu masuk dalam kuah bakso!”
Sa malah tertawa sangat girang
serupa gadis kecil yang dikasih permen. Aku hanya bisa menarik napas panjang,
untuk kesekian kali dan sekian waktu.
“Sudahlah put. Biar kita jadi
anak kembar betulan. Rambut sama panjang, tahi lalat diatas bibir. Mirip
sekali. Aku suka seperti ini”
Aku jengah mendengar ucapannya.
Segera kuambil kunciran rambut dari dalam tasku. Kemudian meraih pundaknya
untuk berbalik dan menguncir kuda rambut panjangnya yang tergurai macam bintang
iklan shampo.
“...dan aku suka saat-saat begini
Put” tambah Sa sembari menolehkan
kepalanya padaku. Aku tertawa dan mencubit gemas pipi putihnya yang mirip bayi.
Tak lama saat kami masih asyik
menyantap bakso, rintik hujan mulai jatuh. Binar mata Sa berubah. Sama seperti
aku. Ya, sejak kecil kami memang suka hujan. Seringkali menghabiskan waktu di
tengah hujan yang turun. Bahkan hingga putih abu-abu telah lepas dari tubuh
kami.
Hingga selepas senja dan gelapnya
malam mendominasi, kami masih belum beranjak dari warung bakso. Masih bercakap
seru tentang apapun. Dengannya, tak pernah ada yang membosankan. Semenjak kecil
hingga saat inipun tak ada yang berbeda. Tak ada sedikitpun.
Hanya saja aku yang sekarang
mulai menyadari sesuatu . malam ini dibawah temaram lampu warung yang sudah
tutup, ada yang lebih baik ketimbang hujan yang turun. Senyumnya. Senyum Sa,
suamiku.
#FF2: belajar flashfiction bareng PersManifest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar