Jejak

Jejak

Selasa, 25 Agustus 2015

Ketika itu

Share it Please
            "yahmene ki awakdewe lagi ngaji Yan terus tumbas dawet gone mbah Warsinah"
            "iyo Nik. Terus bengine dolan putri-putrian gae rukuh ndk Masjid"

         Aku dan Anik sedang mengenang masa kecil siang ini. Awalnya, teman masa kecilku ini, mengirimkan foto-foto via BBM. Potret ketika tubuh kurusku tengah berada di perayaan pesta ulang tahun. Selanjutnya kami pun seru bercerita tentang tingkah polah yang kami lakukan ketika itu. Aku terus tertawa membaca balasan BBMnya. Bukan hanya tertawa yang kutulis haha atau wkwk dengan ekspresi yang sebenarnya tak tertawa sama sekali. Bukan. Aku betulan tertawa karena mengenang banyak hal yang terjadi bertahun-tahun silam. Aku bahagia, begitu saja. Karena rupanya kenangan masa kecil punya banyak cerita dan sangat bermakna di masa ini. 

         Ketika BBMan dengan Anik, aku sedang mengambil jeda dari grafik spider yang warna warninya abstrak. Beruntung Anik tiba-tiba mengirimkan foto-foto nostalgia. Aku sedang butuh tertawa lepas akhir-akhir ini. Banyak pikiran tentu saja. Tentang skripsi dan waktu target yang mendekat cepat, tentang pria melankoli yang tak kunjung peka (atau karena dia memang tidak merasa sesuatu begitu? ah bodo), tentang hal-hal setelah ini. banyak hal yang bercampur jadi satu. Hingga akhirnya aku memilih menjauh dari banyak hal yang sedang terasa memuakkan. 

           Waktu dewasa yang dulu sering aku pikirkan, sudah datang rupanya. Masih enak beli dawet di mbah Warsinah. Masih enak mengaji di masjid meski bagaimanapun malasnya waktu itu. Masih enak lihat anak laki-laki bermain layangan meski aku tak pernah bisa melakukannya. MAsih enak bermain di kali, bermain masak-masakan, bermain bos-bosan, bermain ibu dan anak, bermain petik lele, tepuk nyamuk, petak umpet, berenang, jualan. Apalagi ya? hehe.. ingatanku saat ini juga mulai berbatas nggak seperti dulu. Ketika itu. Rasanya ingin kusebutkan semua kenangan yang pernah aku lakukan. Aku juga pernah ke sawah dan menunjuk awan-awan yang berarak dengan bentuk-bentuk yang serupa tertentu dengan kawan-kawan. Pernah juga dimarahi ibuk karena seharianasik main mengejar capung hingga sore. hingga lupa makan seharian. Ibuk marah karena aku belum makan. 

           Ketika itu, aku, mbak Lia, dan Mira masih suka berebut makanan. Menjambak, menggelitik leher, memarahi, mengolok tanpa batasan. Tanpa merasa canggung atau sejenisnya. Ketika salah, langsung ditegur tanpa canggung. Entah kenapa dewasa ini semua berubah jadi sekat-sekat kasat mata tapi jelas begitu terasa buat aku. Rupanya, kereta yang diam itu berbeda dengan kereta yang telah berjalan. Meskipun besinya sama. Bentuknya, panjangnya masih sama. Masinisnya pun sama. Tapi buat mereka kereta yang berjalan tetap berbeda dengan kereta yang berhenti. Aku sendiri bisa apa? :) 

         Hingga malam, aku masih merenungi banyak hal. Perbedaan besar antara usia 21 yang menjelang 22 dengan cerita ketika itu. Aku kangen banyak potongan kisah, bersyukur atas banyak hal yang belum modern kala itu. Kasihan Ilham yang memasuki masa gadget. Aku khawatir sebenarnya, dia tumbuh jadi manusia apatis. Ah... aku jugaa takut, dunia yang masih kutinggali saat ini berubah makin parah. Lebih parah dari saat ini. lebih memberi batasan. Lebih membuatku terlihat seperti anak kecil yang merengek minta permen. Padahal aku cuma ingin sedekat nadi. begitu saja. 
             
           Maafkan, aku masih saja bertingkah semacam bocah kecil yang rindu didongengi ibunya. Aku lebih suka mendengarkan banyak orang bercerita ketimbang aku yang berbicara sebenarnya. Karena, aku tak pernah suka terlihat sebenarnya. Aku lebih suka mendengarkan cerita mereka, mendapatkan sari-sari dari riuh rendah suara-suara. Tapi aku tak suka diam sepenuhnya juga. Ibu bilang aku cerewet, mungkin itu kenapa bibirku tak punya gembok. Seringkali juga suka bicara semaunya. MAsih sama seperti ketika itu. 

          Aku sedang mengenang, merenung, memikirkan ulang banyak hal. Aku sedang tidak menangis kok. Tapi sedari tadi ketika mulai menulis ini, dadaku bergemuruh. Aku tak tahu pasti kenapa. Mungkin rindu. Tapi aku tak yakin juga, karena jelas aku tak akan pernah kembali atau mengulang hal-hal yang terjadi ketika itu. Mungkin menyesali keteledoranku yang belum berubah anteng. MAsih saja pecicilan disana-sini. Aku sulit merubah ini. Kata Dina, mungkin aku terlalu ekspresif. Mungkin saja akan kucoba ketika berada dalam sebuah lingkaran yang mulai memasang batasan-batasan. Aku akan mencoba. Merobohkannya kalo bisa. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author