Jejak

Jejak

Rabu, 25 Juni 2014

25 Juni

Share it Please

Sejujurnya aku bingung harus mengawali tulisan ini dari mana. Tentu saja kita punya banyak memori yang tak bisa diurai detail satu persatu. Akan terlalu banyak dan aku takut kamu akan malas membacanya. Meskipun aku yakin, kamu tak akan mengabaikan ini. Kamu baik.
Aku akan mulai dari beberapa ingatan yang sangat membekas. Saat kecil, aku lupa tepatnya aku masih umur berapa, kamu harus pindah ke Pacitan untuk meneruskan SMP setamat SD. Sejujurnya, aku tak pernah merasa kehilangan saat itu. Dan selanjutnya kita suka berkirim surat. Hp di jaman itu, belum kita kenal ya?  Saat liburan, ketika kita saling bertemu dirumah mbah, aku terpana melihat  ibu menciumimu hingga menangis. Ini terjadi saat kamu akan kembali pulang kerumah bude di Pacitan, dan tak ikut bersama kita untuk pulang kerumah.  Ku rasa, itu pertama kalinya aku melihat ibu menangis.
Beberapa bulan setelah itu , kita pindah dirumah ini. Aku senang, dirumah yang baru kamu ikut tinggal lagi bersama kami. Tapi rasanya, hanya tiga tahun kita benar-benar tinggal dirumah baru. Itupun harus terpotong dengan waktu-waktumu menjelajahi tempat-tempat lestari seperti gunung bersama teman-teman SAKA mu. Aku begitu kesal sebenarnya. Kamu selalu saja tak pernah di rumah saat hari libur datang. Kita memang tak pernah melakukan hal yang elit, seperti shopping bersama. Tapi hanya dengam melihatmu dirumah dan duduk bersamaku melihat tivi, atau sekedar bercanda hingga kadang menjahili Mira, itu saja aku senang.
Waktu kita singkat ya, hanya terasa tiga tahun dan selanjutnya kamu harus meninggalkan rumah lagi, untuk  meneruskan pendidikan. Kamu diterima kuliah di Malang. Aku ikut senang, akhirnya penantianmu pada telepon berdering, terbayar sudah. Tapi hal itu, menjadi momen yang begitu kuat dalam ingatanku. Aku merasa kehilangan, ketika melihatmu berbenah baju-baju untuk pindah ke Malang. Selepas kamu berangkat, aku merasa rumah kita kosong. Aku berjalan menuju meja belajar yang menyepi di sudut kamar. Ada dua pucuk surat yang terlipat, tulisannnya to: Dian dan satu surat lainnya to: Mira. Segera saja, ku buka lipatan surat bergaris-garis itu. Dari mu.
Sebenarnya, aku sangat berharap surat itu berisi kalimat-kalimat puitis yang akan membuat aku begitu terharu. Nyatanya, harapanku jauh dari kenyataan. Isinya, tentang draft-draft yang harus aku kerjakan selepas kamu tak berada dirumah. Ya, memang harus ku akui, kamu “mbok Nah” paling sip dirumah. Hahaha.. semua yang ada dirumah begitu terawat, tanaman-tanaman di pot depan rumah tumbuh bagus dan subur. Mungkin, kamu suka bercocok tanam dan kamu ingin mewariskan kerajinan mu itu padaku. Ahh.. kamu salah orang mbak. Aku tak bisa merawat mereka dengan benar.  Dan benar saja hasilnya, setiap sore aku selalu kena omel bapak yang menurunkan watak utamanya padamu, begitu rajin dan disiplin. Tapi tentu saja bapak tak punya waktu untuk mengurusi kembang-kembang didepan rumah, jadi aku yang terkena imbasnya. Walhasil, tebakan bapak benar, mereka mulai menguning dan mati. Padahal, saat kamu dirumah hal itu cukup mustahil. Hehe...
Tak hanya tentang merawat tanaman depan rumah, ada list lainnya yang begitu banyak dan aku tak bisa mengingatnya. Aku hanya ingat, jumlahnya ada 2 lembar penuh kertas folio. Jangan nakalin Mira, bantuin ibu bersih-bersih rumah dan sebagainya menjadi beberapa list yang tertulis di akhir. Saat itu, air mulai menggenang di mataku. Merasa sepi dan sangat rindu sosok mu yang suka mengomel karena aku tak pernah mengerjakan apa yang kamu tugaskan dengan benar.  atau saat kita rajin dimarahi ibu karena bercanda terlalu gaduh hingga terdengar sampai toko, aku juga rindu saat kita bertiga masih malas untuk bangun pagi, dan dengan bodohnya segera berlari dari tempat tidur ketika suara tapak kaki bapak terdengar masuk rumah. Ingat menggelitik lehermu dan berakhir dengan bekas cakaran tajam ditanganku. Rindu menjahilimu, berpura-pura menangis di depan kamar saat kita bercanda cepat-cepatan masuk kamar dan kamu menang. Kemudian aku berpura-pura menangis, dan kamu diam-diam membuka kunci dan keluar menengok ku. ahh.. banyak sekali yang kurindukan saat itu. Bahkan hingga saat ini. Kita mulai tumbuh dewasa ya mbak dan malah ketambahan anggota keluarga baru yang melengkapi kebahagiaan. Adik kecil itu menggemaskan dan selalu saja membuat kita rindu untuk pulang.
           Mbak, saat kita tumbuh dewasa ternyata hidup menjadi lebih rumit ya? Tidak seperti masa kecil kita yang penuh tawa atau sesekali menangis karena berebut makanan. Kamu mulai suka bercerita tentang dunia kerja di industri itu kejam. Kamu tumbuh menjadi sosok yang bertanggung jawab untuk keluarga. Dan tak pernah mengucapkan tidak untuk keluargamu. Kamu selalu saja jadi kakak yang baik. Tau kah? Aku selalu saja merasa beruntung memilikimu. Teman-teman ku juga sering mengatakan seperti itu. Ini bukan saja tentang materi yang mudah kamu berikan sat aku butuh (heehhe) ini tentang lainnya. Tentang perhatianmu, utamanya.
          Mbak, sudah hampir 21 tahun terlewati, saat kita menjalani kisah bersama. Dan kini aku mulai khawatir mbak. Aku pernah kembali merasa kehilangan sosokmu,  saat masa bahagiamu datang. Hari lamaran dan ketika cincin itu disematkan di jari manismu.  Saat itu aku benar-benar sadar, waktu kita memang sangat singkat. 21 tahun, dan sebelumnya kita terlalu banyak membuang waktu kebersamaan. Kamu yang terlalu banyak bermain bersama teman mu dan aku yang juga terlalu banyak acuh. Kita yang punya hidup masing-masing setelahnya, kamu bekerja, dan aku kuliah ditempat yang cukup jauh. Kita yang sangat jarang bertemu dirumah.  Saat kamu pulang, aku tak pulang dan begitu sebaliknya. Hanya benar-benar menikmati pertemuan saat lebaran.
Mbak, tulisan ini tak berarti apa-apa. Aku hanya berusaha mengenang kedekatan kita. Mungkin ulang tahun mu hari ini, menjadi ulang tahun terakhir mu saat murni menjadi milik keluarga kita. Kakak terbaikku. Tahun depan, saat ulang tahun mu kembali hadir,  sangat mungkin kamu sudah menjadi milik lelaki yang dengan hebatnya  bisa meluluhkan hati bapak yang keras. Di tahun-tahun sebelumnya, aku tak pernah memberikan hal yang spesial untukmu. Dan tahun ini pun sepertinya sama. Hanya saja  aku ingin kamu tahu, sebenarnya aku cukup takut kehilanganmu, sangat menyesali kebersamaan kita yang singkat, dan takut kamu berubah.
            Ah, aku bodoh ya? Masih saja seperti anak kecil yang suka menangis saat jauh dari rumah. Kamu ingat janjiku, saat semester satu dulu? Aku janji tak akan menangis lagi saat rindu. Kamu bilang seperti anak kecil. Tapi aku mengingkarinya mbak, hingga saat ini sebenarnya aku masih suka menangis diam-diam saat aku begitu rindu rumah kita yang membahagiakan. Terlebih memilikimu, kakak ku yang cantik. Akhirnya, ada yang ingin kuucapkan dengan tulus, doa ini berbeda dengan doa-doa ku yang sebelumnya. Semoga kamu bisa tumbuh menjadi istri yang baik dan sholeh, semoga dari rahimmu nanti lahir keponakan-keponakan ku yang lucu dan sholeh tentunya, hehehe dan membangun keluarga yang SaMaWa. Dan semua doa-doa baik lainnya yang tentu saja terbaik untukmu.
          Mbak, selamat ulang tahun. Maaf aku belum bisa menjadi adik yang baik. Tapi kamu selalu saja bisa jadi yang terbaik untukku.
Salam sayang ku :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author