Jejak

Jejak

Senin, 09 Juni 2014

Aku Pulang

Share it Please
      Hari ini aku pulang. Hampir tak jauh beda dengan hari kepulanganku biasanya. Ketika tiba di stasiun Madiun, kutemui wajah bapak yang berseri-seri. Menggapai wajahku dan memberi ciuman hangatnya di kedua pipi. Juga ada Ilham, adek kecilku yang selalu saja membuat rindu, ia segera menggapai tanganku untuk digandeng terus. "Pulang nya (di rumah.red) yang lama ya mbak" ungkapan rindu yang sederhana. Sedang raut wajah bapak ku terlihat begitu menggembirakan. Aku senang, aku sangat tahu dia merindukan aku cukup lama. Apalagi ilham yang selalu saja menunjukkan kerinduannya secara berlebihan. Ia tak pernah mau jauh dari genggaman tanganku, juga seringkali mencium pipi ku dengan gemasnya. Kedua laki-laki ini memang sangat manis.
    Tapi sebiasa apapun suasana hangat yang aku rasakan, selalu saja ada hal-hal berbeda yang aku temukan. Ruas jalan yang terlihat sedikit asing. Ada banyak warung makan yang bertumbuh dipinggiran jalan. Suasana Pabrik Gula Redjo Agung yang tak terlihat sepi. Kata bapak, mereka mulai buka giling. Suara mesin yang biasanya tak terdengar, mulai meramaikan suasana jalan. Masih ada bekas-bekas perayaan yang dilakukan sebelum buka giling, seperti sebentuk banner ucapan selamat kepada peserta jalan santai yang diadakan oleh pihak pabrik gula RedjoAgung. Juga ada bekas-bekas plastik yang berceceran di pinggiran jalan, yang pastinya bekas warung-warung kecil yang tiba-tiba menjamur saat pesta perayaan buka giling pabrik gula di kota GADIS ini. Hari ini, di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku lebih banyak memperhatikan sekeliling.    
    Mungkin saja sedikit banyak ini efek dari buku yang baru saja ku baca saat berada diatas kereta. Sebuah buku sastra beraliran okultisme-Cerita Fantastik Perancis. Ada empat cerita yang dituliskan secara deskriptif, begitu detail dan menarik. Cerita fantastik asal Perancis, yang diterjemahkan oleh Apsanti Djokosujatno. Perhatian-perhatian detail yang diberikan penulis dalam ceritanya, cukup mempengaruhi pikiranku. Aku yang rasanya sudah cukup lama tak memperhatikan sekeliling, tiba-tiba saja semua berubah menjadi hal-hal yang menarik di mata ku. Kerutan di wajah bapak, tak urung juga jadi perhatian baru ku. bapak bertambah tua. badannya juga semakin kurus ketika ku rekatkan pelukanku di pinggangnya. Ada sebuah kesadaran, dunia kecil ku dulu sudah memudar dan rupanya hilang ditelan waktu. Di rumahpun, aku mulai menemukan banyak realitas asing di mataku. seperti toko ibu ku yang dirombak sedemikian rupa, kini tidak kutemukan lagi bak air permanen yang biasanya penuh berisi air untuk mnecuci piring. Hal asing lainnya yaitu tentang pohon mangga yang bahkan memiliki usia lebih tua dari rumahku, baru saja ditebang kemarin. Pikiranku langsung saja melayang pada suasana puasa di ahun-tahun sebelumnya. Almarhum pohon mangga di belakang rumah selalu saja berbuah lebat dan mais. jenis mangga manalagi. mangga yang selalu saja dibuat rujak serut kesukaan ku oleh ibu. dan kini dia menghilag, da tak akan kujumpai lagi di bulan puasa selanjutnya. aku belum tanya alasan bapak mengijinkan pohon itu di tebang. 
     Selain realitas diatas, beberapa planning asing juga mulai menggapai telingaku. Ibu berencana mengontrakan rumah ini ketika Mira telah lulus SMA. Alasannya begitus sederhana. rumah ini nantinya pun tak akan dihuni, karena mbak Lia, aku dan Mira yang nantinya akan berpencar masing-masing. Sedang bapak dan ibu ku memang tidak tidur dirumah. Mereka terlalu banyak tinggal di toko. suasana rumah ini memang muali berbeda. TErlebih aku yang sekarang lebih jarang pulang ketimbang mbak Lia. sebentar lagi mak Lia akan menikah. Mira yang akan bernjak naik kelas tiga. dan Ilham yang mau masuk TK. Dulu, ketika kami semua masih sekolah, selalu saja ada jeritan ditiap sudut. Hingga membuat tetangga di samping krii kanan ku menggeleng tak karuan. Juga mengundang marah ibu yang mendengar putri-putrinya bercanda keterlaluan. saat itu, ilham belum ada diantara kami. Ku pikir, waktu cepat sekali berlalu. kita mulai bertumbuh dewasa. serupa burung yang meninggalkan sarang. Tiba-tiba aku takut kehilangan masa-masa bahagia yang pernah kita enyam bersama. Rumah ini tak pernah jadi neraka, selalu saja bisa menyerupai istana yang begitu menyilaukan. Tapi setakut apapun aku menghadapi masa depan kelak, hal itu tetap saja terjadi. Aku tak bisa lagi permanen menggantungkan diri dalam kenyamanan rumah ini.  Namun ketika aku mulai lelah, kehabisan stok hati dan pikiran, aku selalu punya tempat untuk mengecharge.  Aku selalu butuh mereka, tempat aku pulang.

Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang. (Dimas Suryo)”
Leila S. Chudori, Pulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow Us

Follow The Author