Pagi yang
malas. Saya sengaja membenamkan tubuh lebih lama di atas kasur. Menghindari dinginnya
pagi, cahaya matahari dan janji bertemu di cfd. Biar saja saya ditinggal sebab
tak bisa dihubungi. Mereka akan tahu saya ketiduran. Entah mengapa terasa berat sekali mesti beranjak dari kasur di hari ini. Tapi selanjutnya, telinga
saya malah menangkap hal aneh. Dengan kesadaran tak penuh saya merasa sedang
berada di rumah, ketika tiba-tiba mendengar suara kunci khas rumah sedang
dibuka. Suaranya mirip. Disusul gerak
sapu menyapu halaman depan rumah. Sekilas, saya merasa ketika masih sekolah. Saya
membuka mata secepatnya, mendengarkan lagi dan tak ada apapun. Sudah pukul 07.00 ketika kesadaran benar-benar
terkumpul. Beberapa pesan masuk, menanyakan posisi saya. Satu pesan suara dari
adik saya yang sedang berada di Sidoarjo, memperdengarkan suara bayi 4 bulan
yang sudah bisa menjerit-jerit lucu. Phft... mereka.
Saya bergegas
menghilang dari sepi. Kerinduan seringkali menyiksa tiap kali tak ada suara
yang terdengar. Kosan ini lagi sepi. Mungkin manusianya masih tidur semua. Sandal
atau sepatunya masih berjejer di depan kamar atau mereka sedang pulang atau entahlah.
Saya hanya butuh mencari ramai, menuju kosan Diah yang sedang membuat sarapan
untuk kami bertiga, sebab tak jadi CFD. Ada Dita juga. Lantas, dengannya kami mengobrol
perihal sistem kampus yang makin aneh. Membandingkannya dengan kampus di
Thailand yang beberapa waktu lalu beruntung bisa ia singgahi untuk ‘main’
penelitian. Rasanya sudah lama tak mengobrol hal semacam ini, hal-hal di luar
skripsi dan tetek bngeknya yang menyisa gelisah. Meski sebetulnya, saya ndak suka membicarakan hal-hal berbau birokrasi. Sepet. Maka saya lebih suka banyak mendengar. Lalu berbicara mengenai mimpi-mimpi kami. Mimpi
gila, yang semakin hari terjengkal akibat nyekripsi. Timbul, tenggelam tanpa
kemajuan yang mungkin saja bisa dirogoh. Saya tak tahu kenapa hari ini penuh
dengan hal yang sentimentil. Padahal jelas ini hari minggu. Waktunya weekend.
Waktunya pikiranmu juga santai.
Hidup ini kan mesti seimbang. Diluar sentimentil yang datang, hal konyol terjadi juga. Selepas
Dita pulang, Diah teringat buah rambutan yang menggantung dekat dengan lantai
jemuran kosnya. Kami bergegas ke atas. Mencari apapun yang bisa digunakan
sebagai galah. Saya baru sadar, betapa maling memang punya banyak akal untuk
mencapai tujuan. Maka begitulah kami pagi tadi. Mengambil kayu bekas bangunan
yang berpaku dan sisa atap (entah apa namanya) bekas yang bisa digunakan
sebagai alas. Serupa dua anak kecil yang mencuri buah milik tetangganya, kami Cuma
tertawa menghakimi kekonyolan kami. Pohon ini, terletak di tanah lapang belakang
kosan Diah. Tidak ada satu rumahpun. Saya tanya pohon rambutan punya siapa,
Sak? Diah bilang punyanya Alloh. Saya tertawa lagi mendengar jawabannya. Lantas
menikmati buah rambutan yang merah-merah. Sebab perut saya nggak sakit,
sepertinya pohon itu memang benar punya Alloh. Hahahaha.
Siangnya saya
pulang. Menyulut niat untuk kembali mengerjakan skripsi. Lalu entah sebuah
kesialan atau mujur yang tak terhitung, teman saya menyodorkan sebuah novel Rembulan
Tenggelam di Wajahmu. Aduh, saya jelas gak kuasa menolaknya. Beberapa hari saya
butuh bacaan cetak, dan buku mitologi Yunani malah bikin mata saya perih. Entah
kenapa buku ini jadi tak masuk di akal saya. Lalu dari buku yang belum selesai
saya baca ini, beberapa kalimatnya di bab awal sudah bikin sembab. Saat sedang sentimentil
begini, semua hal mudah sekali saya bayangkan di pikiran. Semua sebab akibat
yang terjadi di dunia ini saling berkaitan antara satu manusia dengan manusia
lainnya, ia bilang begitu.
Saya berhenti mengurai
sentimentil hari ini. Beranjak menuju laptop dan kembali menyelesaikan bahasan yang
tertunda. Malamnya ngopi dengan seorang kawan melepas penat. Pulang kembali ke
kosan, bertemu sepi lagi sebab beberapa kamar telah tertutup.
Jember sedang tidak menyenangkan. Mestinya,
saya harus bisa menikmati penggarapan skripsi dan suasana Jember yang khas.
Tapi saya lagi kepalang rindu rumah dan terbentur janji pada diri sendiri untuk
tidak pulang sampai sidang. Sedang butuh charger untuk mengisi penuh. Mereka bilang
saya terlalu memaksakan diri, terlalu keras mencipta batasan. Dibawa santai
saja. Iya, saya santai kok meski masih saja kecanduan rindu. Ada kalanya saya
butuh keluar dari zona nyaman. Sebab saya paham seperti apa, makanya perlu
mencipta batasan-batasan itu untuk tak merasa nyaman sehingga perlu segera
menyelesaikannya. Saya jadi ingat cerita mas Deki waktu memutuskan tetap
bertahan pada kondisinya yang nggak nyaman. Saya jadi ikut-ikut. Hahaha. Jadi
biar saya menikmati kondisi ini. Hanya saja ada yang perlu diluruskan biar bisa
lebih menikmati masa-masa yang tinggal kurang dari lima jari. *kuatin ya Alloh
T.T
Lalu hidup punya selera humornya sendiri. Seringkali ditengah
sentimentil yang datang, Tuhan memberi hal-hal kecil yang mengundang senyum dan
sejenak melupakan penat. Hal-hal yang kemudian seringkali menguatkan. Seperti pedagang
nasi goreng di Jawa yang tingkahnya mengundang tawa malam ini. Atau senyum
pedagang kerupuk depan double way yang sering nangkring lebar di wajahnya setiap
bertatapan mata dengan saya. Lihat senyumnya saja saya jadi ikut senyum
bahagia. Haha. Atau senyum pak satpam di puslit yang bikin cerah sebab tulusnya
terasa sekali. Setiap sedang penat pada hal-hal di puslit, saya bakal tetap
tersenyum lebar setiap bertemu dengannya. Senyumnya itu teduh. Atau adanya pelangi
di sore hari yang juga Tuhan hadiahkan untuk saya ditengah sentimentil
perasaan. Hal-hal yang sepele sebenarnya. Tapi bukankah hal-hal yang seringkali
kita anggap sederhana belum tentu sederhana untuk orang lain. Maka begitulah
hidup yang manis ini, sesederhana sunggingan senyum. Maka benar saja lagunya Ike Nurjanah itu, senyumlah untuk semua orang, tapi hatimu jangan :D
Terimakasih ya Robb untuk banyak
hal. Mendadak saya ingin cepat menuliskan catatan paling akhir selama di
Jember. Mengenang semua kisah, juga titik balik yang terjadi. Hahaha.. sudah
ah, bobok yuk.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar